Sangat disayangkan, kekurangcermatan dalam memahami UUD 1945 dan putusan MK telah menjadikan perbaikan UU Cipta Kerja menjadi tidak berkepastian hukum kembali.
Oleh
BAYU DWI ANGGONO
·4 menit baca
Fungsi konstitusi sebagai rujukan penyelesaian masalah ketatanegaraan tengah diuji.
Dua hari jelang tutup tahun 2022, diterbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang atau Perppu No 2/2022 tentang Cipta Kerja. Hadirnya perppu ini memancing ragam reaksi karena dinilai tak sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No 91/PUU-XVIII/2020 yang menghendaki perbaikan pembentukan UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja dilakukan dengan mekanisme pembentukan UU biasa.
Putusan MK dalam uji formil UU Cipta Kerja menyatakan pembentukan UU Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945. Penyebabnya, metode omnibus dalam penyusunan UU Cipta Kerja belum diatur dalam UU No 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3). Selain juga bertentangan dengan asas keterbukaan karena tidak memberikan ruang partisipasi kepada masyarakat secara bermakna (meaningful participation).
UU yang cacat formil seharusnya tidak punya kekuatan mengikat/tidak berlaku. MK menyatakan, UU Cipta Kerja tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang ”tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan”. Pertimbangannya, untuk menghindari ketidakpastian hukum karena telah banyak dikeluarkan peraturan pelaksana yang diimplementasikan di tataran praktik.
Putusan MK juga memberikan rambu-rambu perbaikan pembentukan UU Cipta Kerja. UU P3 harus mengatur tentang dapat digunakannya metode omnibus dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Kemudian UU P3 digunakan untuk memperbaiki UU Cipta Kerja dengan memenuhi asas keterbukaan. Perbaikan juga dapat dilakukan pada substansi yang menjadi keberatan dari kelompok masyarakat.
Mendadak perppu
Terhadap putusan MK, Presiden Joko Widodo menyatakan menghormati dan akan melaksanakan dengan memerintahkan kepada para menteri terkait untuk segera menindaklanjuti secepat-cepatnya. Langkah tindak lanjut tecermin saat pemerintah bersama DPR menyepakati skema perbaikan, yaitu revisi UU P3 diputuskan menjadi pintu masuknya.
Hasilnya, lahir Perubahan Kedua UU P3 melalui UU No 13/2022 yang di Pasal 64 Ayat (1a) mengatur penyusunan rancangan peraturan perundang-undangan dapat menggunakan metode omnibus.
Setelah lahirnya UU No 13/2022, pemerintah menargetkan perbaikan UU Cipta Kerja bisa selesai 2022, dengan juga akan melibatkan partisipasi publik. Dimulai dengan menyiapkan naskah akademik dan RUU sebelum nantinya diajukan ke DPR. Sosialisasi di beberapa kota juga dilakukan pemerintah melalui Satuan Tugas Percepatan Sosialisasi UU Cipta Kerja (Setneg.go.id, 28/10/2022).
Melihat langkah perbaikan UU Cipta Kerja, dapat dikatakan pemerintah sudah berada di jalur sebagaimana maksud putusan MK. Namun, mendadak terbit Perppu Cipta Kerja dengan pertimbangan adanya kondisi kegentingan memaksa, terutama penurunan pertumbuhan ekonomi dunia dan kenaikan inflasi.
Perppu dimaksudkan untuk mengganti UU Cipta Kerja. Isinya merupakan materi dari UU Cipta Kerja, sekaligus menambahkan beberapa materi baru.
Melihat langkah perbaikan UU Cipta Kerja, dapat dikatakan pemerintah sudah berada di jalur sebagaimana maksud putusan MK.
Jalan terjal perbaikan
Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden sesuai Pasal 22E Ayat (1) UUD 1945 memiliki kewenangan menetapkan perppu. Namun, untuk Perppu Cipta Kerja, kewenangan itu tak otonom mengingat UU ini merupakan UU dengan status inkonstitusional bersyarat yang berdasarkan putusan MK wajib diperbaiki pembentukannya melalui prosedur pembentukan UU biasa.
Maksud putusan MK memberikan jangka waktu dua tahun untuk melakukan perbaikan adalah karena waktu itu dianggap cukup untuk membentuk landasan hukum bagi adopsi metode omnibus, sekaligus dilakukannya perbaikan UU Cipta Kerja guna memenuhi metode yang pasti serta keterpenuhan asas keterbukaan.
Perppu menjadi rasional dibentuk andai kata putusan MK memerintahkan supaya langsung memperbaiki UU Cipta Kerja tanpa adanya jangka waktu, dan sekaligus selama belum diperbaiki UU Cipta Kerja dinyatakan tidak berlaku.
Perintah perbaikan tanpa jangka waktu akan menjadikan syarat dapat dibentuknya perppu di Putusan MK 138/ PUU-VII/2009 terpenuhi. Yakni: kebutuhan mendesak menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan UU, UU yang dibutuhkan belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, dan kekosongan hukum tak bisa diatasi dengan membuat UU secara prosedur biasa.
Jika pemerintah ingin melaksanakan putusan MK, maka pilihannya adalah perbaikan melalui pembentukan UU dan bukan dengan perppu. Putusan MK jelas memerintahkan perbaikan UU Cipta Kerja dilakukan dengan menyertakan partisipasi publik yang lebih bermakna.
Pasal 96 UU No 13/2022 mengatur bagaimana pelaksanaan partisipasi bermakna, yaitu setiap naskah akademik dan/atau rancangan peraturan perundang-undangan bisa diakses dengan mudah oleh masyarakat, kemudian pembentuk melakukan kegiatan konsultasi publik (rapat dengar pendapat umum, kunjungan kerja, dan/atau kegiatan lainnya) yang hasilnya menjadi bahan pertimbangan dalam penyusunan dan pembahasan rancangan peraturan perundang-undangan. Pembentukan perppu jelas tak dapat memenuhi ketentuan partisipasi bermakna dimaksud.
Sangat disayangkan, kekurangcermatan dalam memahami UUD 1945 dan putusan MK telah menjadikan perbaikan UU Cipta Kerja menjadi tidak berkepastian hukum kembali.
Sangat disayangkan, kekurangcermatan dalam memahami UUD 1945 dan putusan MK telah menjadikan perbaikan UU Cipta Kerja menjadi tidak berkepastian hukum kembali. Pilihan pembentukan Perppu Cipta Kerja yang mendasarkan pada Pasal 22 UUD 1945 tanpa melihat Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945 perihal sifat putusan final dan mengikat MK telah menciptakan ruang pengujian Perppu Cipta Kerja ke MK.
Akhirnya, jalan mulus perbaikan UU Cipta Kerja yang telah disiapkan sejak lama oleh pemerintah kini menjadi jalan terjal dan berliku.
Bayu Dwi Anggono Guru Besar Ilmu Perundang-undangan Fakultas Hukum Universitas Jember, Sekjen Pengurus Pusat APHTN-HAN