Pele dan Paus Benediktus XVI, serta sejumlah tokoh dunia, terus memperjuangkan perdamaian dunia. Namun, yang nyata ditunjukkan oleh keduanya adalah sikap tahu diri.
Oleh
Redaksi
·3 menit baca
Akhir tahun 2022, dan awal tahun 2023, ditandai dengan kepergian dua tokoh besar di dunia ini. Pele dan Paus Benediktus XVI pada akhir tahun lalu berpulang.
Kelahiran dan kematian menjadi dua peristiwa yang harus dialami manusia, seperti juga kisah datang dan pergi. Setelah dijalani 365 hari, setahun pun berlalu, pergi menjadi kenangan. Tahun baru datang, menyertai perjalanan hidup manusia. Selama setahun, jutaan kelahiran dan jutaan kematian pun silih berganti hadir di dunia ini.
Edson Arantes do Nascimento alias Pele (82), pesepak bola asal Brasil, Kamis (29/12/2022) waktu setempat atau Jumat (30/12/2022) dini hari di Indonesia, wafat di Rumah Sakit Albert Einstein, Sao Paulo, Brasil, tempatnya dirawat sebulan terakhir. Dia pergi dengan meninggalkan banyak jasa yang dikenang warga Brasil dan dunia. Semasa hidupnya, Pele tak hanya menghadirkan wajah baru sepak bola modern, tetapi menjadi ikon budaya global yang menginisiasi gerakan sosial untuk menghadirkan dunia yang lebih baik pula.
Lahir pada 23 Oktober 1940, Pele tidak hanya dikenal karena prestasinya. Ia menjadi satu-satunya pesepak bola di dunia ini yang pernah meraih tiga gelar Piala Dunia, tentu saja bersama tim nasional Brasil, selain meraih sejumlah prestasi lain. Pele menjadi contoh atlet yang konsisten dan disiplin membangun dirinya dari bawah, nyaris tanpa kontroversi, serta mencintai profesinya setulus hati. Ia juga dikenal sebagai pembawa pesan perdamaian dan tak lelah mendorong penghentian perang.
Sabtu (31/12/2022) pukul 09.34, atau Sabtu sore di Indonesia, Paus Emeritus Benediktus XVI wafat di Biara Mater Ecclesiae, Vatikan, dalam usia 95 tahun. Lahir dengan nama Joseph Aloisius Ratzinger pada April 1927 di Bavaria (Jerman), ia tahun 1941 dipaksa keluar dari seminari untuk bergabung dengan barisan Pemuda Hitler dan menjadi tentara. Tahun 1945, ia mundur dari ketentaraan dan melanjutkan pendidikan pastor.
Paus Benediktus XVI disiplin menempa diri dan mencintai profesinya. Dia juga berusaha mengembangkan penghargaan atas kemanusiaan dan perdamaian dunia, antara lain melalui pesan yang ditulis pada 8 Desember 2006 dengan judul ”The Human Person, the Heart of Peace”. Manusia menjadi jantung dan yang menentukan terjadinya perdamaian dunia.
Filsuf Stoa Romawi, Marcus Tullius Cicero (106-43 Sebelum Masehi), mengingatkan, ”Vita enim mortuorum in memoria vivorum est posita (Kehidupan orang mati ditempatkan dalam ingatan orang hidup).” Kepergian Pele dan Paus Benediktus XVI untuk selamanya tak cukup ditangisi dan dikenang, tetapi manusia di dunia perlu juga melihat keteladanan mereka. Apalagi, tahun 2022 masih ditandai pandemi Covid-19, konflik di sejumlah negara, serta krisis energi dan pangan yang bisa berlanjut pada tahun 2023 ini.
Pele dan Paus Benediktus XVI, serta sejumlah tokoh dunia, terus memperjuangkan perdamaian dunia. Namun, yang nyata ditunjukkan oleh keduanya adalah sikap tahu diri. Tahun 2013, Paus Benediktus XVI mengundurkan diri demi kemaslahatan gereja dan dunia. Jika semua pemimpin di dunia ini memiliki sikap tahu diri, dunia nan damai pastilah bisa terwujud.