Paus Benediktus XVI: Manusia Adalah Jantung Perdamaian
“Saya yakin, rasa hormat terhadap pribadi manusia mendorong terwujudnya perdamaian, dan dalam membangun perdamaian, fondasi diletakkan pada humanisme integral yang otentik," tulis Paus Benediktus XVI
Saat petang diliputi mendung, dan waktu bergulir menuju pengujung tahun, Sabtu (31/12/2022) tersiar kabar duka dari Vatikan, Paus Emeritus Benediktus XVI wafat. Usai sudah perziarahannya di dunia, purna pula perutusannya sebagai pemimpin gereja dan dunia. Meski demikian, pesan-pesannya tetap terngiang, salah satunya pesan Paus Benediktus XVI dalam peringatan Hari Perdamaian Dunia yang dirilis pada 1 Januari 2007.
Dalam pesan yang ditulis pada 8 Desember 2006 itu Paus Benediktus XVI memberi judul The Human Person, The Heart of Peace. Sebagaimana diunggah dalam laman resmi Vatikan, vatican.va, Paus sungguh berharap para pemimpin dunia, dan semua umat manusia, siapapun dia, digerakkan oleh kehendak baik untuk menghadirkan perdamaian bagi seluruh umat manusia.
“Saya yakin, rasa hormat terhadap pribadi manusia mendorong terwujudnya perdamaian, dan dalam membangun perdamaian, fondasi diletakkan pada humanisme integral yang otentik. Dengan cara ini, masa depan yang damai dapat disiapkan untuk generasi mendatang,” tulis Paus Benediktus XVI.
Pribadi manusia dan perdamaian, lanjut Paus adalah hadiah sekaligus tugas. Paus lantas mengutip satu ayat dalam Kitab Suci, dari Kejadian 1:27 yaitu “Allah menciptakan manusia menurut citraNya, menurut citraNya diciptakanNya mereka; laki-laki dan perempuan”.
Menurut Paus, sebagai seorang yang diciptakan menurut gambar atau citra Allah, setiap manusia memiliki martabat sebagai seorang pribadi; dia bukan hanya sesuatu, tetapi seseorang, yang mampu mengenal diri sendiri, menguasai diri, memberikan diri secara bebas dan masuk ke dalam persekutuan dengan orang lain. Pada saat yang sama, setiap orang dipanggil, oleh rahmat, ke dalam perjanjian dengan Sang Pencipta, dipanggil untuk memberikan kepadanya tanggapan iman dan kasih yang tidak dapat diberikan oleh makhluk lain.
Baca juga: Kehilangan Besar Umat Katolik, Paus Emeritus Benediktus XVI Meninggal
Menurut Paus, dalam perspektif itu, seorang manusia dapat memahami tugas yang dipercayakan kepadanya untuk mendewasakan kemampuannya dalam mencintai dan berkontribusi pada kemajuan dunia, memperbaruinya dalam keadilan dan perdamaian.
Dalam banyak kesempatan lain, Paus sering mengajak umat untuk mempromosikan perdamaian. Paus kerap mengingatkan agar dunia menyudahi perselisihan dan perang. Paus Fransiskus, penerusnya pun demikian. Terakhir pada perayaan Natal lalu, Minggu (25/12/2022) kembali menyerukan agar perang diakhiri, khususnya perang di Ukraina. Paus juga mengajak umat untuk mengingat dan memperhatikan warga di negara-negara lain yang tengah menghadapi kesulitan dan konflik.
Saat menyampaikan pesan dan berkatnya—Urbi et Orbi, Untuk Kota (Roma) dan Dunia—pada Minggu (25/12/2022) di Basilika Santo Petrus, Paus Fransiskus mendesak diakhirinya penggunaan ”makanan sebagai senjata” perang. Ia menegaskan, perang menempatkan banyak orang dalam risiko kelaparan dan dampaknya sangat dirasakan di wilayah Tanduk Afrika hingga Afghanistan.
Baca juga: Paus Kembali Serukan Diakhirinya Perang
Dalam kesempatan itu Paus mengajak umat untuk mengingat dan memperhatikan warga di negara-negara lain yang tengah menghadapi kesulitan dan konflik. Paus menyebut Afghanistan, Yaman, Suriah, Lebanon, Haiti, dan Myanmar serta konflik di Israel-Palestina. Lagi-lagi itu menegaskan pesan Benediktus XVI, bahwa manusia adalah jantung dari perdamaian.
Bagi dunia, perdamaian adalah berkah, anugerah dari Tuhan. Namun pada saat yang sama - untuk mewujudkannya - hal itu adalah bagian dari tugas manusia. Tidak ada mahluk lain di dunia yang dapat turut membangun perdamaian selain manusia. Di dunia, manusia lah satu-satunya mahluk yang dapat berkontribusi pada kemajuan dan perdamaian dunia. Turut mewujudkan perdamaian adalah upaya atau tanggapan pribadi manusia untuk konsisten pada rencana Allah, diantaranya membangun harmoni dan penyelamatan.Pembentukan
Paus Benediktus XVI lahir di Marktl am Inn, Bavaria pada 16 April 1927 dengan nama Joseph Ratzinger. Ayahnya adalah seorang polisi yang berasal dari keluarga petani tradisional. Saat remaja, Ratzinger menghabiskannya di Traunstein, sebuah kota kecil di perbatasan Austria. Masa muda Ratzinger tidaklah mudah.
Ia pernah melihat pastor parokinya dipukuli Nazi sesaat sebelum memimpin misa. Ia mengalami pula suasana permusuhan yang sengit terhadap Gereja Katolik yang ada di Jerman pada saat itu.
Merujuk pada Encyclopaedia Britannica disebutkan, Ratzinger berusia enam tahun ketika Nazi mengambil alih kekuasaan di Jerman, yaitu pada tahun 1933. Orang tuanya, yang beragama Katolik memusuhi rezim tersebut.
Ratzinger masuk seminari pada tahun 1939, namun pada tahun 1941 dia dipaksa untuk bergabung dengan barisan Pemuda Hitler, dan pada tahun 1943 dia direkrut menjadi tentara Jerman. Ratzinger pernah ditugaskan pada unit antipesawat di Bavaria sebelum dikirim ke Hongaria untuk memasang jebakan tank pada tahun 1945. Dia mundur pada April 1945 dan ditangkap oleh tentara Amerika dan ditahan.
Baca juga: Paus: Agama Bukan Alat Kekuasaan
Setelah perang usai, Ratzinger melanjutkan pendidikannya di seminari. Dari tahun 1946 hingga 1951, ia belajar di Universitas Munich dan sekolah tinggi filsafat dan teologi di Freising. Bersama dengan saudaranya Georg, dia ditahbiskan sebagai imam pada tanggal 29 Juni 1951 di Katedral di Freising.
Pada tahun 1953 dia mendapat gelar doktor dalam bidang teologi di Universitas Munich dengan tesis berjudul: "Umat dan Rumah Tuhan dalam Doktrin Gereja Santo Agustinus". Setelah mendapatkan lisensi mengajar pada tahun 1957, ia mengajar dogma dan teologi di sekolah tinggi filsafat dan teologi di Freising hingga tahun 1959, kemudian pindah ke Universitas Bonn pada tahun tahun 1959–1969 dan juga mengajar di universitas di Münster pada tahun 1963–1966 dan di Tübingen pada 1966-1969 atas undangan teolog Hans Küng. Pada tahun 1969, Ratzinger pindah ke Universitas Regensburg, di mana dia kemudian menjadi Dekan dan Wakil Rektor.
Dari tahun 1962 hingga 1965, Ratzinger hadir dalam empat sesi Konsili Vatikan II sebagai kepala penasihat teologis untuk Uskup Agung Cologne, Kardinal Josef Frings. Dia menjalani pengalaman ini sebagai konfirmasi atas panggilannya sendiri, yang dia definisikan sebagai "teologis". Tulisan-tulisannya yang rinci menjadi titik referensi bagi umat Katolik dan terutama bagi mereka yang terlibat dalam studi teologis tingkat lanjut.
Di tengah pergulatan akademik itu, pada 24 Maret 1977, Paus Paulus VI mengangkatnya menjadi Uskup Agung München und Freising. Dan pada 28 Mei 1997, Ratzinger ditahbiskan menjadi Uskup. Ia memilih moto "Rekan Sekerja dalam Kebenaran". Paus Paulus VI mengangkatnya sebagai Kardinal dalam Konsistori tanggal 27 Juni 1977.
Baca juga: Paus Fransiskus Serukan Agama Cegah Peperangan
Sepeninggal Paus Paulus VI, penggantinya, Paus Yohanes Paulus II pada 25 November 1981 mengangkat Ratzinger menjadi Prefek Kongregasi Ajaran Iman. Ia juga menjadi Presiden Komisi Kitab Suci dan Komisi Teologi Internasional Kepausan. Perannya sebagai Presiden Komisi Penyusunan Katekismus Gereja Katolik dan kerja keras selama enam tahun (1986-1992) adalah salah satu dari banyak pencapaiannya yang luar biasa. Di tengah-tengah perutusan sebagai ‘penjaga’ dogma Gereja, pada 15 Februari 1982, Ratzinger memutuskan mengundurkan diri dari jabatan pastoralnya sebagai Uskup Agung Munich dan Freising.
Paus dan Ratzinger memiliki sejarah yang sama, keduanya hidup di bawah rezim totaliter, dan pandangan mereka tentang gereja pada dasarnya sama. Tak heran bila selama lebih dari dua dekade, Ratzinger menjadi penasihat terdekat Paus Yohanes Paulus II.
Menurut Britannica, sebagai prefek Kongregasi untuk Ajaran Iman - kantor Vatikan yang bertanggung jawab untuk melestarikan doktrin Katolik - Ratzinger mendapatkan reputasi sebagai seorang garis keras. Dia mengecam keras teologi pembebasan dan menekan teolog yang lebih liberal seperti Leonardo Boff dari Brasil dan Charles Curran dari Amerika. Terlepas dari reputasinya, bahkan pengkritiknya yang paling keras pun mengakui kecerdasan dan kemampuannya untuk membahas masalah kontroversial dalam semangat yang objektif dan tidak memihak.
Dialah Paus pertama yang meminta maaf atas kasus pelecehan seksual oleh sejumlah imam katolik. Ia dengan terbuka mengungkapkan penyesalan yang mendalam dan bertemu langsung dengan para korban.
Baca juga: Warga Asli Kanada Temui Paus Fransiskus soal Dugaan Genosida Anak-anak
Sepeninggal Paus Emeritus Benediktus XVI, Konferensi Waligereja Kanada mengenangnya atas sikapnya itu. “Sebagai orang Kanada, kami sangat berterima kasih atas usahanya untuk menyembuhkan luka masa lalu kami,” kata para Uskup dalam sebuah pernyataan.
“Dia secara terbuka mengakui momok pelecehan oleh para imam, meminta maaf untuk itu, dan memperkuat proses Gereja untuk menanggapi tuduhan, termasuk memfasilitasi penuntutan atau penangguhan dari klerus yang dianggap bertanggung jawab atas pelecehan,” kata pernyataan itu.
Pada tahun 2009, Paus Benediktus XVI mengundang delegasi Kanada, yang terdiri dari perwakilan komunitas Pribumi, Keuskupan Katolik, dan komunitas religius di seluruh Kanada, ke pertemuan pribadi di bulan April untuk membahas pengalaman mereka tentang sekolah asrama. “Selama pertemuan ini, Paus mendengarkan cerita mereka dan mengungkapkan penyesalan dan kesedihannya atas kesedihan yang diderita banyak orang Pribumi dalam sistem sekolah perumahan,” kata pernyataan itu.
Penulis biografi, Peter Seewald mengatakan bahwa Benediktus adalah orang yang rendah hati. Meskipun berada di kalangan tertinggi, Ratzinger yang telah dipilih menjadi Paus (Paus Benediktus XVI), tetap menjadi pribadi yang sangat rendah hati. “Ia orang yang hangat,” kata Seewald pada Kantor Berita AFP, Juni 2020.
(AP/AFP/Reuters)