Ada atau tidak PPKM, sebaiknya kita tetap menjaga kesehatan dan menghindari diri dari tertular penyakit. Pengalaman pedih Covid-19 beri pelajaran, dampak penyakit ini dapat meluluh-lantakkan berbagai sendi kehidupan.
Oleh
TJANDRA YOGA ADITAMA
·6 menit baca
Di penghujung tahun, pada 21 Desember 2022, Dirjen Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus menyatakan, selama 2022, Covid -19 sudah menurun secara bermakna. Dirjen WHO juga berharap, keadaan gawat darurat (emergency) Covid-19 bisa dinyatakan berakhir pada 2023.
Sejak mencapai puncak di akhir Januari tahun ini, jumlah kematian mingguan Covid-19 di dunia sudah turun hampir 90 persen. Harapan tahun depan Covid-19 tak lagi menjadi kegawatdaruratan global (global health emergency), juga pernah disampaikan Dirjen WHO pada 14 Desember 2022 lalu, dengan melihat angka kematian mingguan yang berada di angka terendah sejak Maret 2020.
Apa kriteria untuk menyatakan pandemi berhenti, akan dibicarakan pada pertemuan Komite Darurat WHO, Januari 2023. Komite ini juga yang pada 30 Januari 2020 membuat rekomendasi agar Covid-19 —waktu itu masih disebut novel coronavirus (2019-nCoV)— dinyatakan sebagai keadaan “Public Health Emergency of International Concern” (kegawatdaruratan kesehatan masyarakat yang meresahkan dunia), sebelum akhirnya pada 11 Maret 2020 dinyatakan sebagai pandemi oleh Dirjen WHO.
Bagaimanapun optimisme kita tentang Covid-19 di 2023, tetap ada tantangan yang perlu diatasi. Surveilans, tes, dan pelacakan kasus tetap harus berjalan baik agar kita tahu persis situasi epidemiologi yang ada, termasuk perkembangan virusnya. Kita juga tetap harus meningkatkan cakupan vaksinasi, di Indonesia maupun dunia, secara keseluruhan.
Juga harus tetap dijaga pelayanan kesehatan yang optimal sehingga kasus tertangani dengan baik dan bila mungkin mencegah terjadinya kematian.
Untuk Indonesia, angka kasus dan kematian juga sudah turun. Jumlah kasus per hari, dalam rata-rata mingguan tertinggi tahun ini, terjadi pada 20 Februari 2022, yaitu 55.675 orang. Sementara, pada 20 Desember 2022 sebanyak 1.367 orang. Angka kematian per hari dalam rata-rata mingguan tertinggi tahun ini terjadi pada 9 Maret 2022, yakni 300 orang; dan angkanya pada 20 Desember 2022 menjadi 23 orang.
Data epidemiologi ini, ditambah data serologi dan aspek sosial-ekonomi kemasyarakatan lainnya, merupakan pertimbangan utama bagi pemerintah dalam mencabut Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM). Presiden Joko Widodo saat ini masih menunggu hasil kajian dari seluruh kementerian dan lembaga terkait. Bila kasus dan kematian serta indikator kesehatan masyarakat lain memang sudah mendukung, tentu saja berbagai bentuk kebijakan pelonggaran bisa dilakukan.
Untuk itu, perlu dipertimbangkan setidaknya dua hal. Pertama, kita tahu bahwa China yang juga baru melonggarkan aturannya, ternyata kemudian menghadapi kenaikan kasus dan kematian yang tinggi. Apa yang terjadi di China memang belum tentu terjadi juga di negara lain yang melonggarkan kebijakan, tetapi tetap perlu dianalisis dan jadi kewaspadaan bagi Indonesia sebelum melakukan pelonggaran. Kita bisa melakukan simulasi pada fasilitas pela- yanan kesehatan, untuk berjaga-jaga jika ternyata kasus di Indonesia juga naik.
Kedua, pada 20 Desember 2022, The New York Times menurunkan berita berjudul “It’s Time for New Yorkers to Mask Up Again, Mayor Adams Says”.
Isinya, Walikota New York Eric Adams kembali menganjurkan warganya untuk menggunakan masker pada keadaan tertentu, guna mengantisipasi kenaikan kasus akibat tiga penyakit: Covid-19, flu, infeksi RSV (respiratory syncytial virus) di musim libur dan musim dingin di AS. Kebijakan serupa juga mu- lai dipertimbangkan di kota-kota lain.
Kita bisa melakukan simulasi pada fasilitas pelayanan kesehatan, untuk berjaga-jaga jika ternyata kasus di Indonesia juga naik.
Sebagian pakar menyebut ketiga penyakit ini tripledemic atau triplendemic. Kita memang tak punya musim dingin, tapi kita punya libur Natal dan tahun baru (Nataru). Menurut Presiden Jokowi, ada potensi pergerakan 44 juta warga saat Nataru, dan kita semua harus hati-hati. Ini juga harus jadi bahan pertimbangan dalam penetapan kebijakan kesehatan akhir 2022 dan awal 2023.
Di luar kedua hal di atas, dan juga di luar bagaimana nanti keputusan terkait PPKM, yang perlu kita lakukan sebagai anggota masyarakat adalah memberi prioritas penting menjaga kesehatan kita, keluarga dan masyarakat. Pengalaman pedih Covid-19 memberi pelajaran, dampak penyakit ini benar-benar dapat meluluh-lantakkan berbagai sendi kehidupan, individu maupun masyarakat. Karena itu, ada atau tidak PPKM, marilah kita tetap menjaga kesehatan dan menghindari diri dari tertular penyakit.
Untuk pemakaian masker, penting tetap dianjurkan dipakai di ruang tertutup, termasuk bus dan kereta api Nataru, dan di ruang terbuka jika ada kerumunan yang berpotensi menularkan penyakit pernapasan termasuk Covid-19.
Kita juga tahu bahwa vaksinasi merupakan modalitas penting mencegah penyakit. KLB Polio di Aceh, terjadi antara lain karena rendahnya cakupan vaksinasi polio pada anak-anak. Untuk Covid -19, para lansia yang belum dapat vaksin penguat (booster) kedua, segeralah mendapatkannya. Demikian juga booster pertama untuk masyarakat luas yang cakupannya masih di bawah 30 persen.
Kebiasaan lain yang perlu terus dijaga tercantum di slogan CERDIK (Cek kesehatan berkala, Enyahkan asap rokok dan polusi lain, Rajin berolahraga, Diet yang seimbang, serta Kelola stres).
Pasca-pandemi
Kembali tentang Covid-19, tentu kita berharap agar di 2023 pandemi dapat berakhir. Dalam hal ini perlu diingat beberapa hal yang akan terjadi.
Virus SARS CoV2 penyebab Covid-19 masih akan tetap ada bersama kita walau pandemi sudah selesai nantinya. Jadi, masih mungkin akan ada orang yang jatuh sakit, meski keadaanya sudah lebih terkendali. Pengalaman pandemi sebelum ini akibat virus H1N1 yang sudah berakhir di 2010 menunjukkan, sampai sekarang, setelah lebih 10 tahun berlalu, virusnya masih ada bersama kita. Demikian pula dengan virus SARS CoV2.
Bukan tak mungkin akan ada varian atau sub varian baru muncul, yang tentunya kita harapkan tak akan berubah jadi ganas lagi.
Selain itu, masih akan ada berbagai pertanyaan tentang Covid-19. Kita, misalnya, belum sepenuhnya menguasasi tentang fenomena kasus “Long Covid”, bagaimana penanganannya, dan prognosis mereka ke depan. Kita juga masih perlu banyak belajar dalam menghadapi perubahan virus SARS CoV2. Bukan tak mungkin akan ada varian atau sub varian baru muncul, yang tentunya kita harapkan tak akan berubah jadi ganas lagi.
Bukan tak mungkin juga masih akan ada pertanyaan tentang efektivitas vaksin Covid-19 terhadap varian/sub varian baru serta apakah perlu ulangan vaksin dan atau ulangan booster, dan lain-lain.
Satu hal yang amat penting adalah bahwa ketika pandemi Covid-19 sudah selesai, maka kita perlu waspada dan secara serius mempersiapkan diri akan datangnya wabah dan atau pandemi lagi di masa datang. Kita tahu wabah dan pandemi akan ada lagi, hanya kita tidak tahu jenis penyakitnya dan kapan terjadi. Untuk itu, pola hidup sehat perlu jadi prioritas kehidupan kita.
Dari kacamata kebijakan publik, yang terbaik adalah mencegah wabah atau pandemi. Kalau toh tak bisa dicegah, harus tersedia sistem surveilans yang baik agar wabah/pandemi bisa dideteksi seawal mungkin agar jatuhnya korban bisa dikendalikan. Kalau kemudian ternyata wabah/pandemi terjadi, maka perlu ada jaminan bahwa fasilitas pelayanan kesehatan bisa menangani dengan baik. Semua ini perlu disiapkan dengan baik sejak sekarang. Jangan terlambat.
Tjandra Yoga AditamaDirektur Pasca Sarjana Universitas YARSI, Mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara, Mantan Dirjen Pengendalian Penyakit