Tantangan Investasi dan Urgensi Pertumbuhan Industri
Peranan vital investasi sangat menentukan keberhasilan pembangunan ekonomi negara. Untuk ini, penerimaan investasi harus berbanding lurus dengan penyerapan tenaga kerja.
Pembangunan nasional berkesinambungan melalui pertumbuhan ekonomi tinggi merupakan syarat utama untuk mengurangi kemiskinan dan ketimpangan. Ini meliputi peningkatan kualitas pendidikan, kesehatan, kesempatan kerja, serta kesejahteraan masyarakat.
Penanaman modal menjadi kritikal faktor penentu tingkat pendapatan domestik bruto (PDB). Arus investasi masuk (capital inflow) mendorong terciptanya barang modal baru sehingga menyerap faktor produksi (input), yakni penciptaan lapangan kerja yang pada akhirnya akan mengurangi pengangguran. Penambahan output produksi dan pendapatan baru pada faktor produksi akan menambah output nasional sehingga pertumbuhan PDB meningkat.
Presiden Joko Widodo telah mencangkan visi ekonomi Indonesia Emas 2045 yang menargetkan tingkat penerimaan PDB sebesar 7 triliun dollar AS. Indonesia diproyeksikan menjadi negara dengan perekonomian terbesar kelima dunia pada saat usia satu abad NKRI, menggusur dua negara industri maju Jerman dan Inggris.
Baca juga: Membayangkan Indonesia Baru Pasca-Covid-19
Lembaga konsultan internasional McKinsey & Company, Standard Chartered Bank, dan PricewaterhouseCoopers (PwC) meyakini Indonesia bakal masuk jajaran elite negara ekonomi besar dunia AS, China, Rusia, dan Jepang. Pembangunan infrastruktur berskala masif telah dilakukan dan reformasi birokrasi digencarkan untuk mendorong penerimaan investasi. Pandemi Covid-19 sempat memukul progres pertumbuhan ekonomi. Perang dan sentimen antar negara adidaya termuktahir turut menekan ekonomi domestik.
Dengan tingkat PDB sebesar 1,12 triliun dollar AS, sulit bagi Indonesia mencapai level pertumbuhan PDB 8-9 persen per tahun dalam rentang waktu 23 tahun. Indonesia pernah mengalami transformasi pembangunan industri sebelum krisis moneter melanda kawasan Asia Pasifik (1997-1998). Indonesia on the right track mengandalkan ekspor barang hasil industri pengolahan terutama produk tekstil, alas kaki dan elektronik. Setelah krismon, terlena bonanza komoditas (minyak sawit dan batubara) periode 2008-2013.
Dengan tingkat PDB sebesar 1,12 triliun dollar AS, sulit bagi Indonesia mencapai level pertumbuhan PDB 8-9 persen per tahun dalam rentang waktu 23 tahun.
Bonanza komoditas sangat mungkin membuat negara melupakan pembangunan industri. Ini wajib diwaspadai karena mengarah kepada gejala deindustrialisasi. Stagnasi dan penurunan kapasitas dan aktivitas industri tidak boleh dibiarkan. Deindustrialisasi terjadi apabila pertumbuhan PDB bisa saja meningkat, namun kontribusi dan pangsa pasar sektor industri merosot. Sebaliknya sektor jasa malah meningkat.
Efek buruk deindustrialisasi menyebabkan pelemahan daya saing dan posisi tawar negara dalam kancah persaingan global. Kemiskinan, keterbelakangan, dan stagflasi menjadi ancaman nyata deindustrialisasi. Stagflasi merupakan suatu kondisi stagnasi pertumbuhan PDB dibarengi inflasi tinggi. Rendahnya progres pembangunan industri wajib dihindari.
Peranan vital investasi sangat menentukan keberhasilan pembangunan ekonomi negara. Pembangunan industri membutuhkan pertumbuhan investasi. Indeks kemudahan berusaha (Ease of Doing Business/EoDB) menjadi indikator untuk melihat sejauh mana tingkat kemudahan dalam melakukan bisnis di suatu negara.
Beberapa indikator EoDB perlu mendapatkan perhatian khusus yaitu memulai usaha (starting a business), mendapatkan kredit (getting credit), perizinan mendirikan bangunan (dealing with construction permit), pendaftaran properti, pembayaran pajak, perdagangan lintas negara, dan penegakan kontrak (enforcing contract).
Peringkat EoDB Indonesia pada 2020 adalah 73 dari 190 negara, meningkat dibandingkan pada 2016 (106). Namun peringkat ini masih kalah dibandingkan Singapura (ranking 2), Malaysia (12), dan Thailand (21). Peringkat EoDB Indonesia masih jauh dari target Jokowi untuk masuk 40 besar dunia. Secara rata-rata skor indeks Indonesia tahun 2016-2020 adalah 64,7, di bawah Singapura (85,7), Malaysia (79,6), Thailand (76), dan Vietnam (66,4).
Baca juga: Setelah Berakhirnya Survei Kemudahan Berusaha
Percepatan pembangunan industri sangat vital dalam mendorong pertumbuhan sektor rill. Kebijakan memacu kembali industri (reindustrialisasi) berdampak positif terhadap pembukaan lapangan kerja dan usaha. Revolusi Industri 4.0 membuka peluang masif bagi semua anak bangsa untuk berkontribusi memajukan perekonomian nasional.
Struktur pertumbuhan ekonomi harus semakin produktif dalam mendukung kinerja ekspor. Sektor lapangan usaha dalam ekonomi Indonesia terbagi menjadi 17 sektor, yakni 3 sektor penghasil barang (industri pengolahan/manufaktur, pertanian, dan pertambangan) dan 14 sektor jasa, di antaranya informasi dan komunikasi, transportasi, perdagangan besar, dan jasa lainnya. Berdasarkan data BPS, periode 2021 sektor manufuktur dengan nilai Rp 3.266,9 triliun, berkonstribusi 19,25 persen terhadap PDB, terbesar dibandingkan 16 sektor lainnya. Mengungguli sektor pertanian Rp 2.253,84 triliun (13,28 persen), perdagangan besar dan eceran Rp 2.200,53 triliun (12,97 persen), dan konstruksi Rp 1.771,73 triliun (10,44 persen).
Pertumbuhan PDB Industri manufaktur selama pemerintahan Jokowi 2,39 (2021), minus 2,93 (2020), 3,80 (2019), 4,27 (2018), 4,29 (2017), 4,26 (2016) dan 4,33 (2015). Dalam periode dua dekade (2000-2021), pertumbuhan tertinggi sektor manufaktur terjadi pada 2004 (6,38 persen) dan terendah pada 2009 (2,21 persen) dan minus 2,93 persen (2020) akibat pandemi Ccovid-19.
Pertumbuhan PDB 2021 sebesar 3,69 persen. Pertumbuhan sektor penghasil barang, yakni manufaktur (2,39 persen); pertanian, kehutanan dan perikanan (1,84 persen); dan pertambangan (4 persen). Ketiga sektor tersebut berkonstribusi total sekitar 41,51 persen terhadap penerimaan PDB. Sektor jasa malah mengalami pertumbuhan melebihi rata-rata seperti informasi dan komunikasi (6,81 persen), dan jasa kesehatan (10,46 persen).
Harus terus dibenahi
Ada beberapa kritikal aspek yang harus terus dibenahi dalam percepatan pembangunan industri. Pertama, memacu kualitas penerimaan investasi. Penerimaan investasi harus lebih diarahkan ke sektor industri pengolahan yang padat karya. Kinerja penerimaan investasi sudah baik namun terdapat catatan kritis pembenahan. Kontribusi pembentukan modal tetap bruto/PMBT atau investasi terhadap PDB 2021 tercatat 31,01 persen. Menurun dibandingkan pada 2016 yang sebesar 32,58 persen, 2017 sebesar 32,16 persen, 2018 sebesar 32,29 persen, 2019 sebesar 32,35 persen, dan 2020 sebesar 31,73 persen.
Berdasarkan data BPKM, realisasi penerimaan investasi secara kumulatif Januari-Juni 2022 sebesar Rp 584,6 triliun (PMDN Rp 274,2 triliun dan PMA RP 310,4 triliun) dengan serapan tenaga kerja 639.547 orang. Investasi meningkat 32 persen yoy dan telah mencapai 48,7 persen dari target investasi 2022 (Rp 1.200 triliun). Realisasi investasi tahun 2021 mencapai Rp 901 triliun atau 100,1 persen dari target, meningkat 9 persen yoy dengan serapan tenaga kerja 1,2 juta orang.
Penerimaan investasi pada 2021 memang naik 39,5 persen dibandingkan pada 2015, sayangnya penyerapan tenaga kerja justru merosot 19 persen. Rasio antara jumlah pekerja terserap terhadap nominal investasi justru membesar dan tidak efisien. Periode Januari-Juni 2022 tercatat nilai investasi Rp 914 juta per tenaga kerja. Adapun per 2021 tercatat Rp 746 juta, Rp 714,5 juta (2020), Rp 783,1 juta (2019), Rp 751,3 juta (2018), Rp 588,9 juta (2017), Rp 440,1 juta (2016), dan Rp 379,9 juta (2015).
Penerimaan investasi pada 2021 memang naik 39,5 persen dibandingkan pada 2015, sayangnya penyerapan tenaga kerja justru merosot 19 persen.
Penerimaan investasi masih didominasi dalam bentuk aset bangunan hingga 80-90 persen. Investasi yang memacu produktivitas dan serapan tenaga kerja dalam bentuk mesin dan peralatan masih sekitar 10 persen. Peningkatan kualitas dan efisiensi investasi harus dipacu mendongkrak kinerja ekspor sektor manufaktur. Pemerintah wajib mendorong tercapainya utilitasi kapasitas produksi dunia industri hingga 90-95 persen sehingga investor akan datang dengan sendirinya.
Realisasi investasi semester I-2022 berdasarkan sektor terdiri atas jasa Rp 248,1 triliun (42,4 persen), manufaktur Rp 230,8 triliun (39,5 persen) dan pertambangan Rp 68,2 triliun (11,7 persen). Investasi sektor manufaktur pada 2016 tercatat Rp 335,8 triliun (54,8 persen) mengungguli sektor jasa Rp 188 triliun (30,7 persen). Sayangnya tahun setelah itu, investasi sektor jasa berbalik mendominasi. Komposisi investasi pada sektor manufaktur sebesar 26,7 persen (2019), 33 persen (2020), dan 36,1 persen (2021). Dibawah komposisi pada sektor jasa 57,5 persen (2019), dan 55,5 persen (2020), dan 49,1 persen (2021).
Kedua, peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) dan memajukan ekosistem riset dan inovasi berstandar internasional, inklusif dan berkolaboratif. Pembangunan kualitas SDM harus terus dipacu melalui pelatihan dan pengembangan daya inovasi, kritis dan beradaptasi dalam menghadapi era Industri 4.0. Konsep triple helix dalam industri harus memperkuat poros kerja sama solid di antara pemerintah, dunia industri dan akademia/peneliti. Riset dan iptek menjadi lokomotif kemajuan industri pada negara Jepang, Korea Selatan, dan Jerman.
Baca juga: Investasi Belum Maksimal Ciptakan Lapangan Kerja
Ketiga, fokus pembenahan problematika industrial yang masih menghambat. Indonesia harus keluar dari labirin persoalan klasik seperti tata kelola dan sistem terkait integrasi hulu-hilir industri, pungutan liar, ketersediaan data yang akurat, dan daya saing produk. Reformasi struktural industri yang belum tercakup dalam UU Cipta Kerja seperti permasalahan skill mismatch pekerja terhadap produktivitas, efisiensi rantai pasok dan logistik serta efisiensi rasio investasi modal terhadap output (ICOR) harus dituntaskan.
Prioritas pembangunan industri melalui diversifikasi manufaktur, memperluas wilayah pusat pertumbuhan industri secara merata dan berkesinambungan serta mendorong pertumbuhan UMKM. Pembangunan wilayah kawasan ekonomi khusus (KEK) seperti KEK Mandalika, Bitung, dan Morotai sangat tepat untuk memacu potensi industri daerah sehingga mendongkrak pertumbuhan industri nasional. Pembangunan infrastruktur pendukung harus disertai dengan terjalinnya sinkronisasi dengan program pembangunan bisnis, investasi dan industri yang berkolaborasi antar daerah.
Terakhir, meruntuhkan egosentrisme sektoral antar kementerian dan lembaga. Semua pemangku kepentingan wajib dalam satu koridor arah visi yang sama dalam memacu kinerja investasi dan industri. Tanggung jawab investasi dan pembangunan industri tidak hanya pada kementerian investasi dan perindustrian. Reformasi birokrasi menjadi harga mati dan wajib dievaluasi secara berkala.
Santo Rizal Samuelson, Ekonom; Analis Ekonomi dan Keuangan; Pemerhati Ekonomi dan Politik Indonesia