Membayangkan Indonesia Baru Pasca-Covid-19
Indonesia pasca-Covid-19 merupakan momentum kritikal untuk merefleksikan kebijakan yang ada selama ini dan mereformasi kebijakan sehingga bisa mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih tahan bencana.
Penyebaran Coronavirus disease atau Covid-19 yang pertama kali ditemukan di Wuhan, China, sudah menunjukkan dampaknya pada perekonomian dunia, ketersediaan pangan, serta berbagai permasalahan sosial. Di tengah-tengah pandemi Covid-19, mari kita sejenak membayangkan suatu masa ketika pandemi ini sudah berakhir.
Efek Covid-19 akan tetap dirasakan jauh melampaui periode pandemi itu sendiri. Masyarakat akan mengetahui dua realitas kehidupan, yaitu sebelum dan sesudah Covid-19. Mantan Menteri Keuangan dan ekonom senior Chatib Basri dalam opininya (Kompas, 19 Maret 2020) mengutip bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa turun sebesar 1,3 persen hingga 4,7 persen dalam skenario yang parah.
Bukan hanya berdampak pada perekonomian makro, pengalaman Indonesia menghadapi Covid-19 juga akan membentuk sentimen dan perilaku masyarakat serta pemerintah. Kebijakan yang dibentuk untuk mengembalikan perekonomian dan untuk memperkuat ketahanan Indonesia dari ancaman bencana serupa harus bisa dipikirkan secara rasional, bukan hanya terbentuk akibat respons emosional sesaat akibat pandemi.
Bukan hanya berdampak pada perekonomian makro, pengalaman Indonesia menghadapi Covid-19 juga akan membentuk sentimen dan perilaku masyarakat serta pemerintah.
Keterbukaan ekonomi
Setelah pandemi Covid-19 reda, reaksi pertama yang kemungkinan besar muncul adalah instinguntuk mengisolasi Indonesia dari dunia global. Masyarakat akan membayangkan, seandainya saja Indonesia menutup diri dari orang asing dan perdagangan internasional, mungkin semua ini tidak akan terjadi.
Berita kedatangan tenaga kerja asing (TKA) asal China ke Sulawesi Tenggara langsung dikecam oleh masyarakat. Terlepas dari perdebatan terkait risiko kesehatan, para TKA ini tentu sudah melalui proses karantina dan lolos uji kesehatan, kecaman yang berakhir dengan unjuk rasa tersebut mengandung sentimen anti-asing yang didasari ketakutan bahwa orang asing datang membawa wabah dan membahayakan Indonesia. Hal ini memperparah sentimen Indonesia yang sebelumnya sudah negatif terhadap pekerja asing.
Baca juga : Pandemi dan Ekonomi
Survei yang dilansir oleh Yose Rizal Damuri dan Mari Pangestu (2018) menunjukkan, 76 persen responden melihat tenaga asing berbahaya atau sangat berbahaya. Sentimen ini bisa semakin negatif setelah krisis pandemi Covid-19 di Indonesia.
Perlu ada pemahaman bahwa krisis Covid-19 merupakan krisis transnasional yang dihadapi seluruh dunia. Masyarakat sebaiknya bekerja sama menghadapi krisis ini. Saling menyalahkan dan menuduh orang asing bukanlah sebuah solusi. Justru sebaliknya, kerja sama dunia sedang diuji dan kita perlu menunjukkan kesiapan untuk bergabung dalam kooperasi global.
Selain sentimen anti-orang asing, sentimen terhadap perdagangan juga akan terdisrupsi pascapandemi Covid-19. Covid-19 datang ketika dunia, termasuk Indonesia, masih berusaha keluar dari dampak perang dagang berkelanjutan. Ketika Covid-19 usai, ada risiko bahwa masyarakat dapat menjadi semakin skeptikal terhadap perdagangan dunia.
Untuk mengembalikan pertumbuhan ekonomi, peran Indonesia sebagai satu pemain dalam perekonomian global menjadi semakin esensial. Dalam buku Indonesia in the New World (2018), Arianto Patunru, Mari Pangestu, dan Chatib Basri menilai kebijakan Presiden Joko Widodo cenderung mengarah ke proteksionis. Meskipun Indonesia berupaya mengundang investasi asing dan mendorong ekspor, seperti yang bisa dilihat di RUU omnibus cipta kerja serta berbagai perjanjian dagang, kebijakan Indonesia pada umumnya sebenarnya masih proteksionis. Contohnya, kebijakan impor masih sangat restriktif dengan banyaknya non-tariff barriers dan hiper-regulasi yang menghambat.
Berdasarkan Global Index of Economic Openness 2019 yang dirilis oleh Legatum Institute, London, Indonesia berada di peringkat ke-68 dari 157 negara. Sementara itu, menurut penilaian World Bank, pada tahun 2018 Indonesia mendapat nilai 64,2 untuk Indeks Kebebasan Ekonomi. Indonesia berada di bawah negara tetangga, yaitu Malaysia (74,5) dan Thailand (67,5).
Penilaian-penilaian ini membuktikan bahwa Indonesia belum sepenuhnya mendukung keterbukaan ekonomi. Pasca-Covid-19, Indonesia harus menunjukkan perubahan untuk masuk kembali ke arena perekonomian global, bukan malah semakin menutup diri.
Pasca-Covid-19, Indonesia harus menunjukkan perubahan untuk masuk kembali ke arena perekonomian global, bukan malah semakin menutup diri.
Ketahanan bencana
Ketahanan bencana tidak bisa lepas dari isu keterbukaan ekonomi karena bencana semakin banyak bersifat transnasional. Berita yang beredar mengenai pembelian alat rapid test korona dari China yang terhambat izin Kementerian Kesehatan adalah buktinya. Sejak diajukan pada tanggal 10 Maret, izin baru keluar tanggal 19 Maret. Bayangkan, berapa banyak orang yang bisa diperiksa dalam sembilan hari mengurus izin itu!
Sudah menjadi rahasia umum bahwa birokrasi perizinan Indonesia sangat rumit dan panjang. Namun, masyarakat Indonesia terpukul keras oleh realitas ini selama pandemi Covid-19 karena rumitnya perizinan berdampak langsung pada kesehatan publik dan menghambat manajemen bencana. Demikian juga dengan masalah koordinasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang sempat keruh di fase awal bencana. Setelah melalui pengalaman ini, masyarakat Indonesia jadi bertanya-tanya, apakah memang peraturan yang selama ini katanya untuk melindungi masyarakat Indonesia benar-benar melindungi masyarakat Indonesia?
Setelah Covid-19 berlalu, Indonesia akan disadarkan bahwa kita masih membutuhkan negara lain. Sudah seharusnya kebijakan yang ada mampu memfasilitasi kebutuhan ini sehingga Indonesia bisa menikmati pertumbuhan ekonomi dan memperkuat ketahanan bencana.
Jaringan pengaman sosial
Selama pandemi Covid-19, terlihat jelas bahwa masyarakat berpenghasilan rendah adalah yang paling rentan terhadap kejutan bencana. Ketika Gubernur DKI Jakarta memerintahkan untuk mengurangi frekuensi pelayanan transportasi umum untuk mendukung imbauan menetap di rumah, terjadi antrean pengguna bus di beberapa halte. Banyak pekerja dan buruh yang sangat bergantung pada pendapatan dari pekerjaan sehari-hari. Begitu juga dengan tenaga kerja bebas, seperti pengemudi ojek online, yang mau tidak mau harus tetap beroperasi demi sesuap nasi.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, masih ada 24,79 juta orang Indonesia yang berada di bawah garis kemiskinan nasional. Sementara itu, menurut data Bank Dunia, 20,19 persen dari populasi lain rentan jatuh ke dalam kemiskinan. Orang-orang ini harus mengambil keputusan yang berat, tetap keluar dan mengambil risiko kesehatan yang besar demi menghidupi keluarga mereka. Pengambilan keputusan seperti itu tidak seharusnya dihadapi oleh siapa pun.
Baca juga : Kritik Menyelamatkan Pembangunan
Setelah pandemi Covid-19 berakhir, Indonesia akan menilai kembali struktur kebijakan kesejahteraan sosial. Indonesia sudah memiliki berbagai jenis bantuan sosial untuk masyarakat miskin, seperti bantuan pangan nontunai (BPNT), Program Keluarga Harapan (PKH), dan juga bantuan program Jaminan Kesehatan Nasional (BPJS) yang terbukti sangat esensial untuk masyarakat Indonesia. Namun, ternyata dampak dari program-program ini belum cukup untuk menghindarkan penerimanya dari risiko kehilangan mata pencarian.
Indonesia harus mengkaji kemungkinan untuk mengimplementasikan beberapa kebijakan baru, seperti asuransi tunakarya atau jaminan sosial lain yang siap membantu dalam keadaan bencana. Kebijakan perlindungan yang ada akan bergantung pada data yang lebih akurat terhadap situasi sosial ekonomi masyakarat Indonesia sehingga bisa ditargetkan secara tepat. Kebijakan juga perlu dirancang sehingga tidak memberi disinsentif untuk mencari kerja, tetapi hanya sebagai perlindungan minimal ketika kelompok rentan terkena kejutan bencana.
Ketahanan pangan
Ketika Covid-19 mulai menyebar, Indonesia juga sedang menghadapi krisis pada beberapa komoditas, seperti bawang putih, bawang bombai, dan gula. Hal ini sebenarnya dikarenakan keterlambatan pengurusan impor. Namun, kondisi ini diperparah oleh pandemi Covid-19 yang mengakibatkan kepanikan masyarakat dan melonjaknya permintaan.
Ketika Covid-19 mulai menyebar, Indonesia juga sedang menghadapi krisis pada beberapa komoditas.
Menurut pantauan Indeks Bulanan Rumah Tangga dari Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), harga bawang putih sudah naik sejak awal tahun dan mencapai Rp 74.600 per kilogram (kg) pada bulan Maret. Harga gula pun naik hampir dua kali lipat dari Rp 10.900 per kg pada bulan Februari menjadi Rp 18.750 per kg pada pertengahan Maret. Harga bawang bombai bahkan melebihi harga daging sapi, yaitu sekitar Rp 150.000 per kg. Kenaikan harga juga terjadi untuk komoditas lain, seperti ayam dan telur ayam.
Kenaikan harga akibat hambatan impor sungguh disayangkan. Padahal, ketika terjadi bencana, seperti pandemi Covid-19, ketahanan pangan menjadi prioritas utama, selain kesehatan publik. Untungnya, pemerintah telah menanggapi krisis ini dengan membebaskan persyaratan surat persetujuan impor (SPI) dan rekomendasi impor produk hortikultura (RIPH) untuk bawang putih dan bawang bombai secara temporer sebagai upaya menstabilkan harga.
Setelah Covid-19, krisis pangan akan menyadarkan masyarakat bahwa Indonesia belum mampu memenuhi kebutuhan pangannya sendiri. Reaksi masyarakat akan mendorong peningkatan produksi domestik yang biasanya diajukan dengan cara menutup perdagangan pangan. Akan banyak orang yang menganggap krisis ini sebagai bukti perlunya kedaulatan pangan supaya menghentikan ketergantungan kepada negara lain dan menghindari terjadinya krisis pangan serupa.
Reaksi spontan ini tidak mempertimbangkan realitas pertanian Indonesia yang memiliki berbagai macam tantangan, seperti lahan yang tidak mencukupi, iklim yang tidak tepat untuk menanam beberapa komoditas, dan berbagai macam tantangan pertanian lain. Hal ini dibahas oleh International Food Policy Research Institute (2018) dalam laporannya, ”Policies to Support Investment Requirements of Indonesia’s Food and Agriculture Development During 2020-2045”.
Baca juga : Menyelamatkan Pangan Kita
Pasca-Covid-19 menjadi momentum untuk mengubah paradigma ketahanan pangan Indonesia supaya mengikuti paradigma ketahanan pangan internasional yang dicanangkan Food and Agriculture Organization (FAO), yaitu bahwa semua orang, setiap saat, memiliki akses fisik dan ekonomi pada pangan yang cukup, aman, dan bergizi untuk memenuhi kebutuhan dan preferensi makanan mereka. Impor makanan masih diperlukan untuk memberi akses fisik dan ekonomi bagi semua orang, terutama orang-orang di bawah garis kemiskinan.
Tahun 2015, Bill Gates membawakan presentasi TED Talk yang mengingatkan bahwa kita belum siap untuk menghadapi krisis global terbesar berikutnya, yaitu epidemik. Pada tahun 2020, peringatan itu menjadi nyata dan memang benar, kita belum siap menghadapi krisis. Indonesia pasca-Covid-19 merupakan suatu momentum kritikal untuk merefleksikan kebijakan yang ada selama ini dan mereformasi kebijakan sehingga bisa mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih tahan bencana.
Felippa Ann Amanta, Center for Indonesian Policy Studies