China dan Timur Tengah yang Berubah
Dalam KTT China-Arab Teluk, Beijing mengungkapkan keinginannya memperdalam hubungannya dengan kawasan itu karena memandangnya sangat strategis bagi masa depan energi China. China menjalin kerjasama dengan Liga Arab.
Di tengah hubungan Arab Saudi dan Amerika Serikat yang “merosot”, Arab Saudi justru menjamu secara mewah Presiden China Xi Jinping yang melakukan kunjungan tiga hari (7-9 Desember) ke Riyadh.
Presiden Xi berada di Riyadh untuk menghadiri tiga pertemuan puncak atau konferensi tingkat tinggi (KTT) sekaligus: KTT China-Saudi, KTT China-Arab Teluk, dan KTT China-Arab.
Dalam kunjungan Presiden AS Joe Biden ke Saudi pada Juli lalu —juga untuk menghadiri KTT AS-Arab— Saudi tidak menjamu Biden semewah yang dilakukannya terhadap Xi.
Dalam kunjungan itu, Biden meminta Saudi memompa lebih banyak minyak ke pasar global untuk mengganti sebagian minyak Rusia yang hilang di Eropa sekaligus menurunkan harganya di pasar dunia. Secara mengejutkan, dua bulan kemudian, OPEC+ di mana Rusia ada -lah anggotanya, justru memotong produksinya hingga 2 juta barel per hari (bph) untuk menaikkan harga minyak dunia.
Dengan Saudi, China menandatangani 46 kesepakatan dan nota kesepahaman ( memorandum of understanding/MoU) dengan nilai awal 30 miliar dollar AS.
China dan Arab
Di Riyadh, Xi memperluas jaringan kerja sama dengan negara-negara Arab. Dengan Saudi, China menandatangani 46 kesepakatan dan nota kesepahaman (memorandum of understanding/MoU) dengan nilai awal 30 miliar dollar AS.
Xi dan Raja Saudi Salman bin Abdulaziz al-Saud menandatangani Perjanjian Kemitraan Strategis Komprehensif. Kedua negara menekankan pentingnya melanjutkan langkah kerja sama di seluruh bidang serta menggapai cakrawala baru dan menjanjikan.
Mereka memiliki keinginan dan visi yang sama untuk mengharmoniskan visi masa depan kedua negara: Visi Arab Saudi 2030 dan visi China dengan Prakarsa Sabuk dan Jalan (Belt and Road Initiatives/BRI).
Salah satu kesepakatan yang membuat AS gusar adalah kerja sama yang melibatkan perusahaan teknologi Huawei Technologies China. Sebelumnya, AS telah mengingatkan sekutunya di Teluk tentang risiko kerja sama dengan Huawei atas kekhawatiran terjadinya penyadapan. Huawei berpartisipasi di pembangunan jaringan 5G di sebagian besar negara Arab Teluk.
Sikap mereka yang tidak menggubris keprihatinan AS itu menunjukkan mereka sedang mencari keseimbangan baru menghadapi perubahan geopolitik global terkait perang Ukraina dan pergeseran prioritas politik luar negeri AS dari Timur Tengah ke Indo-Pasifik untuk menjawab tantangan China yang semakin agresif dan asertif di kawasan.
Dalam KTT China-Arab Teluk, Beijing mengungkapkan keinginannya memperdalam hubungannya dengan kawasan itu karena memandangnya sangat strategis bagi masa depan energi China. Dengan 20 anggota Liga Arab, China menandatangani perjanjian kerja sama dalam kerangka BRI.
Kedua pihak telah melaksanakan lebih dari 200 proyek kerja sama berskala besar di bidang energi, infrastruktur, dan bidang lainnya. Proyek-proyek itu merupakan jalur penting bagi negara-negara Arab untuk mencapai tujuan pembangunan mereka.
Baca juga : Ekspansi China ke Arab dan Pergeseran Pusat Kepemimpinan Kawasan ke Riyadh
Perubahan geopolitik
Invasi Rusia ke Ukraina dan munculnya China sebagai pemain global, mengubah geopolitik secara mendasar. Negara-negara Timur Tengah yang ingin melepaskan diri dari hegemoni Barat menginginkan tatanan dunia yang multipolar.
Karena itu, menyesuaikan diri dengan dunia yang berubah merupakan keniscayaan. Hal itu dapat dilihat dari netralitas semua negara Arab —kecuali Suriah dan Kuwait— terhadap perang Rusia-Ukraina dan bagaimana mereka menyambut presiden China.
Bahkan, tak ada satu pun negara Timur Tengah yang mempersoalkan perlakuan Beijing terhadap etnis Muslim Uighur ketika AS dan Uni Eropa mengecam tindakan Beijing menghilangkan identitas agama dan budaya Uighur.
Terkait hegemoni Barat, Saudi dan Mesir malah akan bergabung dengan BRICS (Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan), mengikuti langkah Turki dan Iran. Saudi, Mesir, dan Turki merupakan sekutu AS di Timur Tengah.
Dengan demikian, tindakan mereka menampar AS. BRICS – yang dimotori Rusia dan China – merupakan organisasi kerja sama ekonomi untuk melepaskan diri dari pembiayaan pembangunan negara-negara Barat.
Perang Rusia-Ukraina membawa dampak besar pada ekonomi global, setelah sebelumnya dihantam pandemi Covid-19. Lembaga-lembaga ekonomi internasional memprediksi tahun depan dunia akan memasuki resesi. Negara-negara Arab produsen minyak dan gas akan muncul sebagai kekuatan baru karena ketergantungan Barat dan China atas energinya kian besar.
Pada saat yang sama, kemampuan ekonomi Barat untuk membantu lebih dari seratus negara miskin dan berkembang yang terpukul hebat akibat perang Ukraina-Rusia dan resesi dunia makin terbatas. Ini berdampak pada kemerosotan pengaruh mereka.
Ketika negara-negara Timur Tengah melihat melemahnya AS dan Barat serta fenomena kebangkitan China, ada kebutuhan mereka untuk memperluas akses ekonomi dan politik ke berbagai penjuru sebagai kompensasi atas berkurangnya akses politik dan ekonomi mereka terhadap Barat.
Tak heran, Turki dan Iran telah melamar untuk menjadi anggota Organisasi Kerja Sama Shanghai (SCO) – terdiri dari negara-negara Asia Tengah, India, Pakistan, serta China dan Rusia sebagai pelopor.
Dalam KTT SCO di Uzbekistan pada pertengahan September lalu, Presiden Rusia Vladimir Putin mengatakan perang Ukraina bertujuan menciptakan tatanan dunia yang multipolar. Sementara Xi menegaskan keinginan negaranya menjadi negara adidaya.
Lamaran Turki (anggota NATO) dan Iran menjadi anggota BRICS dan SCO dengan jelas menunjukkan respons mereka atas melemahnya kekuatan Barat.
Lamaran Turki (anggota NATO) dan Iran menjadi anggota BRICS dan SCO dengan jelas menunjukkan respons mereka atas melemahnya kekuatan Barat. Kendati memasok Ukraina dengan drone dan menolak invasi Rusia ke tetangganya itu, Turki menjalin hubungan baik dengan Rusia.
Ankara memang butuh Moskwa dalam mencari penyelesaian diplomatik atas isu Suriah. Rusia mendukung rezim Bashar al-Assad, sementara Ankara mendukung kaum oposisi bersenjata. Di luar itu, Ankara kecewa pada AS yang membangun dan mempersenjatai kelompok Kurdi Suriah (YPG) untuk memerangi Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS).
Turki menganggap YPG sebagai kepanjangan tangan PKK, kelompok Kurdi-Turki, yang sejak 1984 mengangkat senjata melawan Ankara.
Sementara, Iran tak punya pilihan lain untuk bertahan (survive) kecuali menguatkan hubungannya dengan Rusia dan China ketika prospek hubungan baiknya dengan AS dan Barat tetap suram. Memang Presiden Joe Biden ingin memulihkan kesepakatan nuklir Iran – nama resminya Rencana Aksi Komprehensif Bersama (JCPOA) – untuk mencegah Iran membuat bom nuklir di masa depan.
JCPOA mengharuskan Iran membatasi program nuklirnya dengan imbalan Teheran bebas mengekspor energinya ke pasar global. Perundingan pemulihan JCPOA telah dimulai April 2021. Namun, Juni 2022 perundingan terhenti total karena baik Iran maupun AS tak dapat memberi konsesi lebih jauh untuk mencapai kesepakatan.
Di tengah kesulitan ekonomi dan isolasi internasional, Rusia dan China mengulurkan tangan untuk kerja sama ekonomi. Tahun lalu, China bahkan menandatangani kesepakatan dengan Iran di mana Beijing berkomitmen membeli minyak Iran hingga 25 tahun ke depan.
Di tengah kesulitan ekonomi dan isolasi internasional, Rusia dan China mengulurkan tangan untuk kerja sama ekonomi.
Respons AS
Kebijakan OPEC+ menaikkan produksi minyaknya dikecam AS. Biden melihat keputusan OPEC+ itu mengindikasikan Saudi berpihak pada Rusia dalam invasinya ke Ukraina.
Maklum, sejak Moskwa menyerbu tetangganya itu pada Februari, NATO berusaha keras mereduksi pendapatan luar negeri Rusia melalui ekspor energinya guna melemahkan kemampuan perangnya.
Lebih jauh, Biden melihat kebijakan Saudi bertujuan mengalahkan Demokrat (partainya Biden) dalam pemilu sela di AS pada awal November sehingga pemerintahan Biden akan melemah. Bagaimanapun, OPEC+ dan Liga Arab mendukung posisi Saudi.
Terkait berkumpulnya para pemimpin Arab di sekeliling Xi, AS memperingatkan bahwa upaya China memperbesar pengaruh di Timur Tengah tidak bagus bagi aturan internasional. Peringatan ini pun diabaikan negara-negara Arab.
Selain isu geopolitik, menguatnya hubungan Arab dengan China tak dapat dilepaskan dari netralitas China dalam urusan dalam negeri negara lain. Berbeda dengan AS yang rewel dengan demokrasi dan pelanggaran HAM, China menghormati kebijakan tiap negara dan mengobral bantuan dan pinjaman tanpa mengaitkannya dengan isu demokrasi dan HAM.
Hal ini disambut negara-negara Timur Tengah yang tidak satu pun berkeinginan membangun sistem demokrasi.
Tunisia, satu-satunya negara Arab yang menerapkan demokrasi sejak 2012, kini masuk kembali ke sistem otoritarian ketika Presiden Kais Saied pada Juli tahun lalu mengambil alih kekuasaan melalui dekrit sete- lah membekukan parlemen, menangkap tokoh oposisi, dan mengamandemen konstitusi.
Presiden Erdogan pun kian otoritarian. Tentu saja AS masih menjadi kekuatan ekonomi dan militer penting bagi negara Arab dan belum dapat digantikan oleh China. Faktanya, Saudi, Uni Emirat Arab (UEA), Qatar, Bahrain, Yordania, dan Turki, masih menampung pangkalan dan personel militer AS di negara mereka. Apa yang dilakukan negara Timur Tengah dengan merangkul Rusia dan China hanyalah upaya merespons erosi kekuatan AS di kawasan dan kesadaran akan kian pentingnya peran China di panggung global.
AS mungkin tak bisa mencegah perubahan sikap negara- negara Arab, tapi ia bisa menahan laju kemerosotan pengaruhnya dengan menyesuaikan kebijakannya dengan aspirasi negara-negara kawasan. Salah satunya terkait isu Palestina.
Smith Alhadar Penasihat The Indonesian Society for Middle East Studies (ISMES)