Ekspansi China ke Arab dan Pergeseran Pusat Kepemimpinan Kawasan ke Riyadh
Kunjungan Presiden China Xi Jinping ke Arab Saudi tak hanya menandai pergeseran kebijakan luar negeri Arab Saudi. Peristiwa itu juga menguatkan bergesernya kepemimpinan dunia Arab dari Mesir ke Arab Saudi.
Oleh
MUSTHAFA ABD RAHMAN, DARI KAIRO, MESIR
·5 menit baca
Kunjungan Presiden China Xi Jinping ke Arab Saudi pada 8-9 Desember lalu atas undangan Raja Arab Saudi Salman bin Abdulaziz al-Saud terus menjadi perhatian media massa di dunia Arab sampai saat ini. Raja Salman tidak hanya mengundang Presiden Xi, tetapi juga mengundang semua pemimpin Arab Teluk dan sejumlah pemimpin Arab lain ke Arab Saudi.
Maka, digelarlah tiga pertemuan puncak di kota Riyadh, Arab Saudi, yaitu pertemuan puncak China-Arab Saudi, China-Negara Arab Teluk, dan China-dunia Arab. Berkat tiga pertemuan puncak tersebut, muncul pesan kuat bahwa Arab Saudi kini sedang memimpin dunia Arab. Muncul juga pesan lain bahwa kota Riyadh saat ini menjadi pusat keputusan dunia Arab.
Dari peristiwa tersebut, terjadi semacam pergeseran kepemimpinan dunia Arab dari Mesir ke Arab Saudi atau dari kota Kairo ke kota Riyadh. Hal ini bisa terjadi tidak terlepas akibat meletusnya musim semi Arab tahun 2010-2011 yang melanda Mesir dan menumbangkan rezim Presiden Hosni Mubarak.
Akibat arus gelombang musim semi Arab itu, Mesir menjadi lemah. Gonjang-ganjing politik dan ekonomi menerpa Mesir. Saat itulah, kepemimpinan dunia Arab beralih ke kawasan Arab Teluk, khususnya Arab Saudi, yang lebih menikmati stabilitas politik dan ekonomi.
Tak ayal lagi, Arab Saudi dan kawasan Arab Teluk kini menjadi pusat harapan kemajuan dunia Arab pada saat belahan dunia Arab lain mengalami keterpurukan luar biasa akibat perang saudara serta krisis politik dan ekonomi yang berlarut-larut.
Keputusan Raja Salman mengundang Presiden Xi ke Riyadh tentu penuh dengan misi politik dan ekonomi baik bagi Arab Saudi maupun dunia Arab. Dalam konteks politik, Raja Salman dan putra mahkotanya, Pangeran Mohammed bin Salman (MBS), ingin membangun kebijakan politik luar negeri Arab Saudi yang berimbang antara kekuatan-kekuatan raksasa internasional, khususnya antara AS dan China.
Selama ini, Arab Saudi dikenal sebagai sahabat klasik AS di Timur Tengah. Arab Saudi sangat berutang budi kepada AS. Perusahaan minyak AS, California-Arabian Standard Company (CASOC), adalah pihak yang menemukan sumber minyak pertama tahun 1933 di Distrik Al-Ahsa, Arab Saudi timur. Penemuan sumber minyak pertama pada tahun tersebut menjadi cikal bakal kejayaan negara Arab Saudi sampai saat ini.
Sebaliknya, AS juga sangat tergantung pada Arab Saudi untuk pengadaan minyak bagi industri AS. Begitu pula, Arab Saudi sangat tergantung kepada AS untuk keamanan negeri dan kawasan Arab Teluk. AS pun menjadi pemasok utama persenjataan bagi militer Arab Saudi sampai saat ini.
Hubungan timbal balik saling membutuhkan itu membuat AS-Arab Saudi membangun kemitraan strategis di kawasan Timur Tengah selama beberapa dekade terakhir ini.
Namun, penemuan sumber minyak serpih di AS dalam beberapa tahun terakhir ini membuat ketergantungan AS terhadap minyak dari Arab Saudi berkurang. Impor minyak AS dari Arab Saudi pun terus berkurang.
Sebaliknya, China kini menjadi importir minyak terbesar dari Arab Saudi. China saat ini mengimpor minyak lebih dari 3 juta barel per hari dari Arab Saudi dan negara Arab Teluk lain. Neraca perdagangan China dengan Arab Saudi dan negara Arab Teluk (Kuwait, Qatar, Bahrain, Oman, dan Uni Emirat Arab/UEA) pada tahun 2019 mencapai 190 miliar dollar AS. China kini menjadi mitra dagang terbesar Arab Saudi dan negara Arab Teluk lain. Adapun neraca perdagangan China-Arab Saudi tahun 2021 mencapai sekitar 67 miliar dollar AS.
Impor senjata Arab Saudi dari China meningkat 386 persen. Impor senjata UEA dari China juga meningkat 169 persen dalam beberapa tahun terakhir ini. Kepala Pusat Riset Teluk Abdul Aziz bin Usman bin Saqer mengatakan bahwa hubungan China-Arab Saudi semakin memiliki nilai strategis mengingat hubungan perdagangan kedua negara semakin berkembang.
Menurut Saqer, Arab Saudi semakin melihat China sebagai mitra strategis mengingat China merupakan kekuatan ekonomi terbesar kedua setelah AS. Selain itu, Arab Saudi dan China sama-sama anggota G20.
Arab Saudi juga melihat impor minyak China dari Arab Saudi terus mengalami kenaikan rata-rata sekitar 9 persen per tahun. Karena itu, sangat wajar jika Arab Saudi semakin melirik China sebagai mitra strategisnya, khususnya dalam perdagangan.
Arab Saudi pun memandang China menjadi bagian strategis dalam menyukseskan megaproyek Visi Arab Saudi 2030 yang diluncurkan oleh MBS pada April 2016. Maka, semakin sering pejabat tinggi Arab Saudi berkunjung ke China dalam beberapa tahun terakhir ini. Raja Salman telah mengunjungi China pada Februari 2017. Putra Mahkota MBS juga mengunjungi China pada Februari 2019.
Kunjungan Xi ke Riyadh pada awal Desember lalu merupakan balasan atas kunjungan Raja Salman ke China pada tahun 2017 dan kunjungan MBS ke China pada tahun 2019.
Adapun hubungan China-dunia Arab juga terus berkembang. Neraca perdagangan China-Dunia Arab pada tahun 2021 mencapai 330 miliar dollar AS.
Seusai pertemuan puncak China-dunia Arab di Riyadh pada 9 Desember lalu, dicanangkan bahwa neraca perdagangan China-dunia Arab bisa mencapai 400 miliar dollar AS dalam lima tahun mendatang. Dunia Arab melihat China sebagai mitra strategis. China telah menghibahkan sebanyak 340 juta vaksin Covid-19 ke negara-negara Arab selama tahun 2020 dan 2021.
Sebaliknya, China pun melihat dunia Arab dan kawasan Timur Tengah sebagai kawasan yang sangat vital. Di mata Beijing, di kawasan dunia Arab terdapat tiga jalur transportasi yang sangat strategis bagi perdagangan China, yakni Selat Hormuz di Teluk Persia, Bab al-Mandeb di Laut Merah, dan Terusan Suez di Mesir.
China juga melihat gerakan reformasi di sejumlah negara Arab, seperti di Arab Saudi, Mesir, UEA, Qatar, Bahrain, dan Oman, sebagai peluang besar untuk bisa berpartisipasi dalam membantu pendanaan proses reformasi tersebut. China, misalnya, turut ambil bagian dalam mendanai pembangunan ibu kota baru Mesir. Sindikat perbankan China mengucurkan dana sebanyak 3,3 miliar dollar AS untuk pembangunan pusat distrik bisnis dan keuangan di ibu kota baru Mesir.
Karena itu, kunjungan Xi Jinping ke Arab Saudi pada awal Desember lalu bisa disebut sebagai gerakan makin kuatnya pengaruh China di Arab Saudi dan dunia Arab.