Buruh Indonesia dan Krisis Global
Pertumbuhan ekonomi Indonesia salah satu yang tertinggi di dunia. Banyak anggapan hal itu akibat fondasi ekonomi yang kokoh, dan program bantuan sosial. Jarang yang mengaitkan dengan daya tahan hidup pekerja yang tinggi.
Walau ada ancaman krisis ekonomi tahun 2023, masa krisis tidak selalu tentang masalah, tetapi juga mengenai peluang.
Seperti disebutkan OECD (2019), economic crises are historically times of industrial renewal. Perusahaan yang terbiasa boros dan tidak inovatif memang akan dihukum bangkrut lebih awal, tetapi perusahaan yang dinamis akan bertahan dan bertumbuh.
Ini disebut creative destruction. Kehancuran yang melahirkan mesin penggerak efisiensi jangka panjang pada pasar ekonomi, dan selanjutnya bisa membalikkan situasi krisis ke ekonomi dengan fondasi kuat. Pengalaman negara yang tergabung di OECD membuktikan terjadinya peningkatan efisiensi perusahaan setelah krisis. Juga tercipta model bisnis baru dengan teknologi baru dengan biaya produksi efisien.
Contoh nyata bisa dilihat dari kemunculan berbagai perusahaan penerbangan biaya rendah (budget airlines) yang justru muncul dan berkembang di masa krisis, saat pemain lama yang tak efisien bangkrut atau mundur, dan membuka peluang pasar kepada pemain baru yang lebih efisien dan inovatif.
Termasuk pertumbuhan bisnis daring (online), yang berkembang pesat di masa krisis akibat pandemi Covid-19.
Untuk kasus Indonesia, sebenarnya masalahnya lebih sederhana dibanding negara OECD karena di sana keberlanjutan pertumbuhan ekonomi harus dengan inovasi, efisiensi, dan produktivitas. Di negara kita, sekalipun syarat tadi penting, pertumbuhan ekonomi bisa tetap bagus karena mesin pertumbuhan ekonomi disumbang konsumsi. Meningkatkan konsumsi adalah satu-satunya harapan untuk mencegah Indonesia terhindar krisis.
Baca juga : Dunia Butuh Kebersamaan Hadapi Tantangan Ketenagakerjaan
Secara ringkas, jika ingin selamat, pemerintah dan swasta harus terus membelanjakan uang untuk mempertahankan konsumsi. Pemerintah bisa terus melanjutkan program bantuan sosial seperti di masa pandemi, misalnya program Bantuan Langsung Tunai (BLT), subsidi BBM, sembako, dan Program Keluarga Harapan (PKH).
Uangnya dari mana? Tentu saja pinjaman luar negeri jangka menengah atau panjang. Tetapi, yang penting kita bisa aman dulu saat krisis. Toh pembayaran bisa dilakukan setelah krisis berakhir.
Kemampuan bertahan hidup
Sejak krisis ekonomi 1998, Indonesia kerap dilanda krisis yang bersumber dari krisis ekonomi global. Tapi, Indonesia selalu lolos dari perangkap krisis berkepanjangan. Beda dengan negara lain yang mengambil waktu pemulihan lama, bahkan ada yang gagal keluar dari krisis, seperti Venezuela dan Sri Langka.
Krisis pandemi menjadi bukti terakhir Indonesia menjadi salah satu dari sedikit negara yang lebih cepat pulih.
Bahkan, di masa krisis, pertumbuhan ekonomi Indonesia salah satu yang tertinggi di dunia. Banyak yang menganggap ini akibat dari kekuatan fondasi dasar makroekonomi Indonesia yang kokoh. Ada juga yang berpendapat, hal itu karena program bantuan sosial masif Presiden Joko Widodo.
Namun, tak banyak yang mengaitkan- nya dengan kemampuan bertahan hidup pekerja Indonesia yang sangat tinggi. Mungkin akibat sering menghadapi kemiskinan, pekerja Indonesia tak pernah susah beradaptasi dengan kemiskinan lama yang pernah dilaluinya. Ditambah dengan masih bekerjanya mesin kebudayaan kita dalam hal saling menolong.
Faktor ini sering menjadi stabilitator otomatis ekonomi saat menghadapi masalah. Di OECD, alat pemulihan otomatiknya dikenal sebagai perlindungan jaminan sosial karena hampir seluruh negara itu sudah mendekati pencapaian cakupan 100 persen jaminan sosial.
Di Indonesia, saat krisis muncul, rakyat tak langsung menggugat atau mendemo pemerintah, tetapi hal pertama yang dilakukan adalah meminta bantuan ke teman, tetangga, keluarga, dan lembaga sosial (arisan) untuk kebutuhan hidup. Dari pengalaman empirik pekerja Indonesia selama puluhan tahun, ditemukan berbagai fakta kehebatan pekerja melakukan mitigasi saat krisis muncul.
Pekerja Indonesia seolah memiliki naluri menyesuaikan diri yang hebat. Selalu ada ide mendapatkan pendapatan alternatif atau pendapatan tambahan jika pekerja dirumahkan atau terkena pemutusan hubungan kerja (PHK).
Beberapa kemampuan bertahan itu, antara lain, pertama, bisa berpindah profesi secara cepat sekalipun umumnya ke sektor kerja tanpa keahlian (unskilled work). Kedua, kemampuan bertahan hidup walau dengan pendapatan kecil.
Pekerja Indonesia seolah memiliki naluri menyesuaikan diri yang hebat.
Mungkin akibat struktur pekerja Indonesia 58 persen adalah informal, dan 25-30 persen pekerja rentan (non-standard forms of employment/NSE), sejak awal pekerja Indonesia memahami ada potensi kerentanan masa depan yang dihadapi sehingga secara intuisi mereka sudah memiliki rencana cadangan hidup apabila krisis melanda.
Akibatnya, ketika pemerintahan Jokowi meluncurkan program bansos untuk korban PHK, walau hanya Rp 600.000, dampaknya terasa signifikan karena menjadi pelengkap ketahanan ekonomi rakyat. Berbagai modus mitigasi yang sering dipakai pekerja apabila terkena PHK: mencari kerja di sektor informal; bisnis rumahan bersama keluarga; mengurangi biaya hidup dengan mengirim keluarga sementara ke kampung; menjadi pekerja ojek; bekerja di pasar dan pelabuhan dan di keramaian.
Ada juga yang mencoba peruntungan menjadi pekerja migran. Intinya tanpa Bantuan Subsidi Gaji/Bantuan Subsidi Upah (BSU) pemerintah, pekerja Indonesia bisa mencari penghidupan sendiri, dan bisa beradaptasi hidup secara minimalis (subsisten). Inilah yang tak bisa ditiru masyarakat di negara maju atau OECD. Kemungkinan hal itu akibat mereka sudah terlalu biasa nyaman dengan sistem negara kesejahteraan.
Namun, pola adaptasi di atas umumnya hanya berlaku bagi generasi X (lahir pada 1977-1994). Jika Gen X terkena PHK, mereka akan berusaha untuk kembali kerja di perusahaan formal. Sementara apabila Gen milenial atau Z (1997-2012) terkena PHK, mereka tak tertarik kerja dalam relasi kerja yang terikat. Mereka lebih suka sistem kerja fleksibel, tanpa ikatan kerja formal. Jadi, mitigasi kelompok milenial beda dengan generasi pendahulunya.
Gen Z adalah generasi dengan proporsi penduduk terbanyak Indonesia, berdasarkan Sensus Penduduk 2020, yaitu 27,94 persen dari total penduduk Indonesia (BPS, 2021). Inilah generasi kreatif atau digital native (Pineda, 2020), yang tumbuh bersamaan dengan perkembangan teknologi digital. Mereka bekerja bukan untuk mendapatkan uang, tetapi untuk mengikuti passion.
Bahkan, sebagian besar lebih memilih berhenti bekerja daripada tak bahagia di tempat kerja. Akibat perilaku ini, generasi milenial tak suka meniti karier di satu kantor atau profesi secara berkesinambungan. Mereka suka eksplorasi ke bidang lain yang baru dan trendi. Hal ini terutama didorong gencarnya tekanan konten-konten di media sosial yang selalu memamerkan kesuksesan orang-orang yang masih sangat muda sehingga menjadikan milenial tertekan secara psikologis untuk cepat sukses dengan mencoba segala cara untuk sukses secara cepat.
Pekerjaan yang dipandang lambat dan membosankan akan ditinggalkan. Mereka ingin melakukan segala sesuatunya dengan cepat, tidak berbelit-belit, serta tidak bertele-tele.
Sistem jejaring milenial yang kuat membuat mereka bisa belajar dengan cepat kepada mentor tepat yang dipilih sendiri.
Dua generasi dengan dua solusi
Dengan latar belakang generasi Y dan Z di atas, solusi pekerjaan untuk pekerja Indonesia tidak boleh dengan skenario umum, tetapi harus dengan dua skenario solusi. Untuk generasi yang meminati pekerjaan formal mungkin lebih relevan diberikan pelatihan kerja ahli dan up-skill supaya bisa ditampung di pasar kerja yang baru.
Sementara generasi milenial cenderung tidak suka pendekatan pelatihan formal, tetapi lebih menyukai adanya fasilitas ekonomi yang murah, mudah, dan cepat bisa masuk bisnis. Ini selaras dengan area kerja mereka di sektor digital, yang mayoritas di usaha rintisan (start-up) pembuat konten (content creator), influencer, dan digital marketing.
Mereka akan mencari pekerjaannya sendiri tanpa perlu dilatih. Sistem jejaring milenial yang kuat membuat mereka bisa belajar dengan cepat kepada mentor tepat yang dipilih sendiri. Ini seperti digambarkan Shoshana Zuboff dalam pengantar bukunya, The Age of Surveillance Capitalism, dengan mengatakan, ”Kita akan lebih banyak kerja untuk mesin cerdas, atau kita memiliki orang cerdas di sekitar mesin.”
Jadi sangat beda dengan pelatihan di balai latihan kerja (BLK) yang mayoritas tidak bisa digunakan di pasar kerja setelah dilatih beberapa bulan.
Kecenderungan generasi milenial tak suka pekerjaan formal terikat dalam beberapa hal telah mendisrupsi teori perlindungan kerja abad ke-20 tentang pentingnya hubungan kerja industrial untuk memberikan jaminan kehidupan yang lebih baik pada pelaku industri; pemerintah, pengusaha dan pekerja.
Dalam dua dekade terakhir, bentuk kerja fleksibel menjadi bentuk yang paling umum digunakan di seluruh dunia.
Sesuai data Organisasi Buruh Internasional (ILO), fleksibilitas pasar kerja itu termasuk pekerja sementara; pekerja paruh waktu; pekerja harian; pekerja dengan beberapa majikan, dan pekerja dengan hubungan kerja terselubung.
Sistem ini ditentang habis serikat buruh karena terbukti telah mendegradasi kehidupan buruh menjadi tak layak. Sementara pengusaha mengatakan, sistem kerja fleksibel adalah sebuah keniscayaan dalam globalisasi ekonomi.
Masalahnya, sistem kerja employment standards dengan ciri terjadinya hubungan kerja yang diatur oleh undang-undang tidak selaras dengan kebutuhan ekonomi globalisasi yang membutuhkan rekrutmen cepat dan pergantian pekerja cepat dan murah.
Model kerja standar semakin cepat menghilang dengan munculnya jenis pekerja platform dengan bisnis daring (online). Pasar kerja makin tak terorganisasi. Sesuai data internasional, bentuk kerja fleksibel biasanya berada di sektor jasa. Umumnya di hotel dan restoran, perdagangan besar dan ritel (8-34 persen), diikuti industri manufaktur (6-16 persen) dan konstruksi (15-30 persen).
Sekalipun buruk dalam banyak hal, sistem kerja fleksibel punya kelebihan. Beberapa hal positif yang disumbangkan sistem ini adalah membuka kesempatan kerja yang luas, memberikan pengalaman kerja ke pemula untuk memasuki pasar kerja, bisa bekerja dari rumah, serta terjadi pengurangan biaya produksi dan penurunan pengangguran.
Sekalipun buruk dalam banyak hal, sistem kerja fleksibel punya kelebihan.
Beberapa ahli juga menyebut efek positif sistem fleksibilitas ini. Bahkan, Haidt (2006) secara ekstrem mengatakan, mempertahankan pekerja rentan dan jam kerja rentan berkontribusi pada penurunan jumlah pengangguran. Kesempatan yang diciptakan sistem ini terlalu besar untuk disia-siakan.
Kalaupun ada ketimpangannya, lebih baik dicari solusinya ketimbang memberangus idenya dan menolak sistem ini bertumbuh. Beberapa sisi negatif yang dimunculkan sistem fleksibel ini—misalnya penurunan upah, absennya jaminan sosial, karier, dan perlindungan kerja—harus dikompensasi dengan menciptakan pasar kerja yang inklusif.
Prinsip setiap orang berhak mendapat pekerjaan yang layak harus dikedepankan, sebagaimana juga target pencapaian jaminan sosial semesta (universal coverages); pembenahan kurikulum pendidikan sekolah; peningkatan produktivitas, dan penurunan angka pengangguran. Kunci untuk mencegah terjadi kekacauan di masa depan adalah membuat sistem ekonomi yang menawarkan kesempatan yang sama untuk semua orang, inklusif, dan pada saat yang sama fokus pada kerja sama penyelamatan bumi dan energi.
Rekson Siaban Analis Indonesia Labor Institue