Legitnya pertumbuhan ekonomi dari buah durian berwujud nilai ekspor hilirisasi nikel bisa terus dinikmati, meski bukan lagi durian runtuh pelarangan ekspor bijih nikel. Hilirisasi nikel bisa tetap dilanjutkan.
Oleh
KARTINI LARAS MAKMUR
·6 menit baca
Sejak kebijakan hilirisasi diterapkan, Indonesia mendapat durian runtuh dari ekspor nikel. Kementerian Perdagangan memprediksi, nilai lonjakan ekspor nikel akan mencapai lebih dari delapan kali lipat. Saat penyetopan ekspor bijih nikel dimulai pada 2017-2018, nilai ekspor hanya sekitar 3 miliar dollar AS. Di pengujung 2022 ini, ekspor nikel yang sudah dihilirisasi mencapai lebih dari 27 miliar dollar AS.
Rupanya, durian runtuh itu bukan hanya dicicipi Indonesia. China telah lebih dahulu menikmatinya dari sektor industri molybdenum yang merupakan bahan baku logam campuran. Sebagai dampak pengetatan ekspor mineral mentah, nilai molybdenum yang telah diolah naik 120 persen.
Alat pembangunan ekonomi
Kebijakan ekspor tambang mentah memang diyakini menjadi alat pembangunan ekonomi. Paradigma ini juga telah dimanifestasikan oleh beberapa negara lain sebelumnya. Sebut saja China, India, Afrika Selatan, Rusia, dan Argentina.
Pada 2011, China membuat Rencana Nasional Dua Puluh Tahunan. Di dalamnya termasuk upaya penguatan industri dalam negeri, termasuk besi dan baja. Implementasinya, antara lain, melalui kebijakan strategis yang berujung pada pengetatan ekspor mineral mentah.
Di tahun yang sama, India juga membuat Kebijakan Manufaktur Nasional untuk memacu pertumbuhan ekonominya dengan membatasi ekspor mineral. Pada 2013, kebijakan peningkatan ekspor mineral dalam bentuk barang bernilai tambah menjadi bagian Rencana Aksi Industri Nasional Afrika Selatan.
Dari kacamata teori ekonomi standar, pengetatan ekspor mineral mentah diproyeksikan dapat menjaga stabilitas suplai di dalam negeri. Tak kalah penting, memberikan insentif bagi industri hilir sehingga diversifikasi ekonomi tercapai melalui pergeseran rantai nilai. Karena itu, kebijakan tersebut sering dijadikan sebagai sarana pembangunan ekonomi.
Selain pembangunan ekonomi, pelestarian lingkungan juga menjadi justifikasi. Tentu karena mineral merupakan energi yang tidak dapat diperbarui sehingga perlu dijaga kelestariannya. Selain itu, dampak lingkungan dari eksploitasi dan eksplorasi tambang juga perlu diantisipasi walaupun justifikasi pelestarian lingkungan ini masih banyak diperdebatkan.
Mengancam negara maju
Akibat pembatasan ekspor, terjadilah pergeseran rantai nilai. Produsen di negara pengekspor merugi akibat turunnya harga di dalam negeri. Namun, umumnya perusahaan di sektor hulu merupakan milik asing atau memiliki afiliasi multinasional.
Di sisi lain, industri pengolahan justru menikmati kondisi yang terjadi. Keuntungan pun bergeser dari sektor produksi tambang mentah ke industri pengolahan. Pendapatan negara juga ikut bertambah karena nilai pajak ekpor yang didapatkan dari barang yang telah diolah ikut meningkat.
Telah banyak riset yang membuktikan bahwa memang nilai ekspor barang olahan yang lebih tinggi berdampak positif pada pertumbuhan ekonomi. Sebab, harga produk yang telah mengalami proses hilirisasi biasanya lebih tinggi dan tidak berfluktuasi sebanyak komoditas primer. Selain itu, produk olahan juga dapat digunakan di dalam negeri selain diekspor. Tenaga kerja juga mendapatkan keterampilan baru untuk melakukan pengolahan.
Menurut negara industri, akses yang terbatas terhadap sumber daya alam juga merupakan bentuk ketidakadilan yang merugikan. Sebab, harga di level global akan sangat terdampak dari pembatasan ekspor.
Di sisi lain, hal itu ancaman bagi negara-negara maju yang banyak mengimpor barang tambang untuk sokongan industrinya. Jauh ke belakang sejak era 1970-an, saat pengetatan ekspor mulai dilakukan, negara-negara maju menilai kebijakan itu membawa keuntungan bagi negara pengekspor seperti Indonesia dengan menimbulkan kerugian bagi negara pengimpor. Dalam bahasa Krugman dan Obstfels, ”beggar-thy-neighbour” policy.
Menurut negara industri, akses yang terbatas terhadap sumber daya alam juga merupakan bentuk ketidakadilan yang merugikan. Sebab, harga di level global akan sangat terdampak dari pembatasan ekspor. Pembatasan ekspor membuat harga barang mentah dalam negeri menjadi lebih murah sehingga menguntungkan industri hilir. Hal itu dinilai negara pengimpor merupakan bentuk subsidi de facto kepada industri hilir domestik.
Bertentangan dengan hukum internasional
Tak heran jika kebijakan pengetatan ekspor mineral mentah banyak digugat negara-negara maju di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Mereka menilai hal itu bertentangan dengan prinsip perdagangan bebas, sekaligus mencederai keadilan akses terhadap sumber daya alam. Hal ini yang juga tecermin dari langkah hukum Uni Eropa terhadap Indonesia.
Dua kebijakan Pemerintah Indonesia berupa larangan ekspor bijih nikel dan kewajiban hilirisasi di dalam negeri membuat gemas Uni Eropa. Tidaklah mengherankan lantaran dalam neraca perdagangan kedua negara di tahun 2020, tercatat dari 20,6 miliar euro, lebih dari 13 miliar euro atau hampir 65 persen merupakan impor barang dari Indonesia. Antara lain, nikel yang merupakan bahan baku industri stainless steel di Eropa.
Pada 2019 Uni Eropa mengajukan gugatan ke WTO terhadap dua kebijakan terkait bijih nikel Indonesia. Uni Eropa menilai kebijakan itu bertentangan dengan beberapa aturan dalam General Agreement on Tariffs and Trade (GATT 1994), yaitu Pasal XI Ayat 1 yang mengatur pembatasan kuantitatif dan Pasal X Ayat 1 GATT 1994 terkait kewajiban memublikasikan kebijakan larangan ekspor. Selain itu, bertentangan dengan skema yang tertuang dalam Pasal 3.1 huruf b dalam Agreement on Subsidies and Countervailing Measures (SCM).
Kemudian, pada 30 November 2022 Majelis Badan Penyelesaian Sengketa WTO mengumumkan keputusannya. Gugatan Uni Eropa dikabulkan. Keputusan tersebut sejatinya bukan sebuah kejutan, berkaca dari keputusan WTO dalam kasus-kasus terdahulu. Sebelum Indonesia digugat Uni Eropa, ada empat kasus serupa yang menyeret tiga negara, yakni Jepang, Argentina, dan China.
Menariknya, dalam kasus-kasus tersebut pembangunan ekonomi bukan justifikasi kuat yang bisa diterima hakim untuk membatasi ekspor tambang. Bahkan, dalam kasus China-Raw Materials, berkurangnya pasokan dalam negeri, meskipun dinilai telah sejalan dengan ketentuan Pasal XI Ayat 2 huruf a GATT 1994, tetap bukan alasan yang bisa diterima untuk membatasi ekspor tambang. Sebab, pasokan tambang tidak hanya berkurang untuk sementara waktu, tetapi terus-menerus.
Dalam kasus terkait barang tambang, WTO senantiasa menerapkan penafsiran karet terhadap aturan pembatasan ekspor. Pembatasan kuantitatif diartikan sebagai tindakan-tindakan pemerintah yang berujung pada pembatasan ekspor. Tindakan itu bukan hanya kebijakan de jure. Dalam kasus Jepang, bahkan imbauan yang bersifat de facto pun termasuk. Penafsiran atas batasan ekspor juga sangat luas karena bukan hanya bersifat aktual, melainkan juga potensial.
Terus berlanjut
Langkah Pemerintah Indonesia mengajukan banding atas putusan WTO patut diapresiasi. Namun, dari kasus-kasus terdahulu dan diskursus panjang terkait larangan ekspor tambang mentah, pemangku kepentingan di Indonesia juga perlu menyadari hal lain. Ada hal yang tak kalah penting untuk diperhatikan, yakni kesadaran industri nasional untuk terus melakukan hilirisasi dan mengkespor barang bernilai tambah.
Sebagai negara yang mengandalkan ekspor tambang sebagai salah satu penyokong APBN, peningkatan struktur perdagangan dan ekspor bisa menjadi sarana untuk mengurangi kerapuhan siklus harga barang mentah. Karena itu, proyek hilirisasi nikel menjadi feronikel dan nickel pig iron (NPI) perlu terus dilanjutkan untuk menyuplai industri pembuatan baja maupun baterai dalam negeri.
Jadi, kalaupun putusan majelis banding WTO kembali mengalahkan Indonesia dan membuat Indonesia harus menggugurkan regulasi larangan impor bijih nikel, proyek hilirisasi tak terhenti. Legitnya pertumbuhan ekonomi dari buah durian berwujud nilai ekspor hilirisasi nikel sejatinya bisa terus dinikmati, meskipun bukan lagi durian runtuh pelarangan ekspor bijih nikel.
Kartini Laras Makmur, Mahasiswa Doktoral University of Warwick, Inggris; Dosen Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia