Menakar Fundamental Menghadapi Tahun Resesi
Kiriman dampak dari potensi resesi AS, Inggris, dan Eropa, serta perlambatan ekonomi China, dapat memicu shock tak terduga jika terlalu percaya diri. Pemangku kepentingan negeri ini kiranya tak bisa mengabaikan hal ini .
"Keynes knew how to play the market better than almost anyone else living or dead.”
John Wasik
Mayoritas bangsa di pelbagai belahan dunia tengah bersiap menghadapi potensi resesi yang menurut banyak ekonom akan terjadi dalam 9-12 bulan ke depan.
Pandangan pun terbelah dengan data fundamental ekonomi yang sangat beragam, terutama soal seberapa parah koreksi siklus ekonomi kali ini. Sri Lanka, Lebanon, Suriname, Rusia, dan Zambia telah memulai tonggak bukti rentetan keruntuhan ekonomi. Setidaknya, lusinan negara mungkin akan menyusul akibat peningkatan biaya pinjaman, inflasi, dan utang.
Pemangku kepentingan negeri ini kiranya tak bisa mengabaikan ini atau mengaburkan dengan potret sekilas makro yang tampak kuat. Sebab, situasi kali ini cenderung berbeda dari sinyal krisis sebelumnya. Kiriman dampak dari potensi resesi AS, Inggris, dan Eropa, serta perlambatan ekonomi China, dapat memicu shock tak terduga jika terlalu percaya diri.
Belum lagi, ekonomi domestik sendiri sebenarnya sudah mengirim beberapa pesan yang mungkin belum dibaca oleh pemangku kepentingan terkait. Pesan itu sejatinya menyiratkan bank sentral dan pemerintah harus segera bertindak ketimbang hanya mulai memasang kuda-kuda.
Tuntutannya jelas, formulasi kebijakan sistematis, cepat, dan terukur serta mampu mengelola spekulasi pasar sebelum kian liar di tengah ketidakpastian yang terus meningkat. Mengecek pendarahan yang kemungkinan berimbas sistemis mutlak perlu segera dilakukan.
Pemangku kepentingan negeri ini kiranya tak bisa mengabaikan ini atau mengaburkan dengan potret sekilas makro yang tampak kuat.
Potret hitam putih pasar dan ekonomi
Terdapat rupa-rupa anomali yang mulai menampakkan diri di pasar dan riil ekonomi domestik. Dari reaksi fungsi pasar, tren pelemahan rupiah, hingga kenaikan credit default swap (CDS), dan volatilitas obligasi.
Tren pelemahan rupiah kali ini berbeda. Mengacu pada kurs transaksi BI, rupiah kini berada di kisaran Rp 15.700 terhadap dollar AS. Memang level tertingginya tahun ini masih di bawah Rp 16.000 dan mengacu historisnya dapat kembali menguat dengan cukup cepat.
Hanya saja, perlu disadari, berkali-kali rupiah tak berdaya bahkan ketika sejumlah mata uang menguat terhadap mata uang kuat (greenback). Oleh karena itu, rasanya bukan tidak mungkin bahwa mata uang garuda akan segera mencapai ekuilibrium baru di Rp 16.000.
Risiko kredit juga mengalami peningkatan. CDS yang merupakan proteksi apabila terjadi credit event sempat menyentuh level tertinggi 165,62 basis poin (bps) awal Oktober untuk tenor lima tahun. Dengan level CDS tenor lima tahun di 96,96 bps atau probabilitas gagal bayar (default) 1,62 persen, risiko kredit, fundamental ekonomi, dan kondisi pasar domestik bisa saja mengubah ini dengan cepat.
Kenaikan drastis tiba-tiba itu tercatat dari Februari ke Maret 2020, saat AS memasuki resesi. Kini, walaupun CDS terbilang lebih rendah dibandingkan Oktober, faktanya rupiah cukup jauh dari level awal tahun ini.
Sejalan dengan itu, volatilitas di pasar obligasi juga mulai menunjukkan gejala serius. Bloomberg mencatat harga obligasi perusahaan properti turun cukup signifikan sejak awal tahun. Agung Podomoro, Lippo Karawaci, dan LMIRT Capital mencatatkan harga di bawah 70 sen dollar AS. Ini menunjukkan adanya tekanan (distressed).
Bahkan, PT Kawasan Industri Jababeka telah diturunkan ke dalam teritori junk bond oleh Fitch Ratings. Tak hanya itu, imbal hasil (yield) obligasi pemerintah tenor 10 tahun juga sempat menyentuh 7,66 persen. Artinya, surat berharga negara (SBN) mengalami penurunan nilai yang berlangsung sudah setahun belakangan.
Tak ketinggalan, dana asing juga terus bergerak keluar (outflow). Merujuk data Kemenkeu, total kepemilikan investor asing lebih rendah Rp 13,22 triliun pada Oktober (Rp 717,04 triliun) dibandingkan bulan sebelumnya Rp730,26 triliun.
Tekanan sentimen global tampaknya juga telah merambah ke sektor ekonomi riil. Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang terjadi dari start up hingga tekstil menyiratkan bisnis telah mengalami pendarahan cukup lama tanpa sepengetahuan peramu kebijakan. Bisa dibayangkan akan semakin banyak yang muncul dengan agresif (hawkish)-nya The Fed melalui kenaikan suku bunga acuan dan pengetatan moneter (quantitative tightening/QT) lebih jauh.
Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang terjadi dari start up hingga tekstil menyiratkan bisnis telah mengalami pendarahan cukup lama tanpa sepengetahuan peramu kebijakan.
Agresifnya The Fed itu juga bisa membuat BI sendiri di belakang kurva untuk menyelesaikan perkara moneter karena gap suku bunga yang terlalu dekat. Fed Fund Rate kini di level 3,75-4,00 persen, sementara bunga acuan BI 5,25 persen. Kondisi ini bisa kian memperburuk nilai tukar rupiah.
Terlebih, inflasi yang masih akan terus meningkat. Bahkan, terbilang cukup cepat mengingat headline (inflasi utama) masih berada di 1,66 persen Oktober tahun lalu dan kini 5,71 persen year-on-year. Bukan hanya itu, inflasi inti juga mengalami tren peningkatan sepanjang tahun ini dari 1,84 pada Januari ke 3,31 di Oktober.
Dengan fenomena demikian, wajar jika spekulasi mulai tumbuh subur. Terutama mengingat ekonomi nasional yang hanya diuntungkan dengan kenaikan harga komoditas akibat persoalan geopolitik global dan disrupsi rantai pasok. Surplus neraca perdagangan Rp 42,52 miliar dollar AS, terutama ditopang oleh kinerja ekspor nonmigas yang bertumpu pada komoditas berbasis SDA seperti CPO dan batubara. Masalahnya, tahun depan bisa saja saturasi ini perlahan memudar.
Sejumlah sinyal itu diperparah dengan aktivitas di pasar domestik yang cukup mengkhawatirkan. Saat Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) mencatat pertumbuhan dramatis investor mencapai 10 juta, Otoritas Jasa Keuangan menampilkan tingkat literasi keuangan di bawah 50 persen.
Untuk pasar modal sendiri, tingkat literasi malah turun menjadi 4,11 persen tahun ini dibandingkan 4,40 persen pada 2016. Lebih jauh, mengacu pada data KSEI, investor pasar modal didominasi usia di bawah 30 tahun dan pendidikan sekolah menengah atas ke bawah.
Artinya, mayoritas belum mengalami siklus ekonomi dan dapat dibayangkan betapa dampak yang ditimbulkan jika QT berlangsung lebih jauh. Spekulasi bisa meledak kapan saja.
QT yang belum seberapa itu pun mungkin akan segera membuka fakta yang mengejutkan di pasar keuangan, mengingat inklusi keuangan (85,10 persen) yang cukup pesat tidak sejalan dengan literasinya (49,68 persen). Kemungkinan potensi sistemik juga bisa mengubah lanskap ekonomi secara spontan dan disruptif.
Relevansinya terkait dengan persoalan kerugian investasi ilegal yang terbilang cukup besar mencapai Rp 123 triliun lima tahun terakhir dan kerugian tekfin yang meningkat 780 persen sejak awal tahun. Aliran ini perlu diantisipasi sebelum QT melakukannya dengan cara yang menghancurkan.
Baca juga : Sepanjang 2022, Tenaga Administrasi Hingga Pemasaran Banyak Terdampak PHK
Baca juga : Efisiensi, Goto Pangkas Karyawan
Langkah antisipasi
Tantangan ekonomi yang kita hadapi ke depan terkait dengan sentimen global dan risiko domestik yang masih terus menguat. Kita perlu waspada.
Pertama, BI harus melakukan pengujian daya tahan kembali sesegera mungkin. Selain itu, dibutuhkan juga bauran sinergi moneter dan fiskal pemerintah agar tetap berada di depan kurva. Jika ada pendarahan di dalam sistem, segera bisa ditangani dengan tindak- an tegas. Lakukan perbandingan kondisi yang setara dan melibatkan faktor kompleksitas.
Kedua, pelaku di pasar modal semestinya turut mengakselerasi literasi keuangan daripada sekadar datang dengan rekomendasi jual-beli.
Ketiga, penting untuk membekali diri dengan pemahaman yang benar menyangkut keuangan dan mengontrol spekulasi personal berlebih. Datang ke penasihat keuangan yang tepat agar terhindar dari aktivitas yang merugikan diri sendiri dan orang lain.
Andi SuryadiInvestment Research Analyst di CIC