Guna menahan devisa hasil ekspor lebih lama di dalam negeri, Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia menjajaki insentif moneter serta fiskal.
Oleh
Redaksi
·3 menit baca
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO (TOK)
Aktivitas bongkar muat peti kemas berlangsung di New Priok Container Terminal (NPCT) 1, Jakarta Utara, 10 November 2022. Cadangan devisa justru menyusut saat Indonesia menikmati rezeki nomplok dari lonjakan permintaan dan harga komoditas di pasar global.
Meski menguat lagi ke 143 miliar dollar AS pada November 2022, dan cukup untuk 5,9 bulan kebutuhan impor, cadangan devisa RI sempat turun tujuh bulan berturut-turut.
Penyusutan cadangan devisa Indonesia di tengah lonjakan ekspor—hingga mencapai rekor tertinggi pada 2022, dengan surplus neraca perdagangan 30 bulan berturut-turut—itu memicu kegusaran Presiden Joko Widodo, terutama ketika rupiah pun melemah, menembus Rp 15.000 per dollar AS.
Dari sana kemudian muncul desakan Presiden kepada BI agar membuat mekanisme yang bisa menahan lebih lama devisa hasil ekspor (DHE) di dalam negeri, guna mendukung stabilitas makroekonomi dan stabilitas nilai tukar. Banyak DHE itu kini disinyalir parkir di luar negeri.
IRMA TAMBUNAN
Pekerja memindahkan tandan buah segar (TBS) sawit ke truk besar untuk dibawa ke pabrik pengolahan, di Muaro Jambi, Jambi, 9 November 2022. Sawit merupakan komoditas ekspor andalan Indonesia.
Peraturan Pemerintah No 1/2019 mewajibkan DHE direpatriasi ke dalam negeri dan disimpan di rekening khusus. Selama ini juga sudah ada sistem yang memantau arus DHE dengan menggunakan dokumen bea cukai, tetapi tak ada mekanisme untuk menahan dana itu tetap di dalam negeri.
Akibatnya, cadangan devisa justru menyusut di saat Indonesia menikmati rezeki nomplok dari lonjakan permintaan dan harga komoditas di pasar global. Menipisnya valas juga dipicu pelarian modal keluar dari negara berkembang (termasuk Indonesia), menyusul kenaikan agresif suku bunga di AS dalam rangka menekan inflasi. Sepanjang triwulan III-2022 saja, arus modal keluar dari Indonesia mencapai 2,1 miliar dollar AS.
Instruksi Presiden sempat memunculkan spekulasi kontrol devisa, tetapi hal ini ditepis BI dan Kemenkeu. Kemenkeu menegaskan, langkah yang akan ditempuh lebih ke memperbaiki operasionalisasi internal bersama BI dalam rangka pemantauan arus DHE dan memperketat kembali sanksi kepada eksportir yang tidak menyimpan DHE-nya di dalam negeri.
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Karyawan menunjukkan uang rupiah dan dollar AS di tempat penukaran valuta asing PT Valuta Artha Mas, ITC Kuningan, Jakarta, Oktober 2022. Eksportir diminta mengonversi devisa hasil ekspor (DHE) ke dalam mata uang lokal rupiah dan menahannya di dalam negeri.
Guna menahan DHE lebih lama di dalam negeri, Kemenkeu/BI menjajaki insentif moneter dan fiskal. Hal ini meliputi mekanisme suku bunga yang lebih menarik dan insentif pajak dalam bentuk keringanan pajak bunga dari deposito DHE dalam valas yang ditempatkan di dalam negeri.
Kalangan ekonom mengusulkan diterapkannya opsi kebijakan yang mengharuskan eksportir mengonversi DHE ke dalam mata uang lokal (rupiah) dan menahannya di dalam negeri, sebagaimana diterapkan Malaysia dan Thailand.
Menawarkan suku bunga simpanan valas yang lebih menarik di dalam negeri juga bisa dijajaki. Ini mengingat selain karena volatilitas rupiah yang terlalu tinggi, alasan eksportir memarkir DHE di luar negeri adalah suku bunga di luar negeri jauh lebih kompetitif dibandingkan di dalam negeri.
Opsi lain, memberikan kemudahan kepada bank nasional menerbitkan obligasi dalam valas, memperdalam instrumen keuangan, memberikan jaminan selisih kurs kepada eksportir/importir.
Dukungan dan kerja sama kalangan eksportir—terutama eksportir komoditas sumber daya alam dan tambang yang sudah menikmati keuntungan masif dari booming komoditas— barangkali juga dibutuhkan, karena pada akhirnya stabilitas ekonomi makro Indonesia dan rupiah yang stabil serta kuat menjadi kepentingan kita bersama.