Faktor Geopolitik dan Resesi Global 2023
Selain berbagai langkah antisipasi menghadapi sejumlah tantangan, pemerintah perlu memperkuat komunikasi publiknya terkait ancaman resesi global. Masyarakat dan rumah tangga dapat diimbau agar tetap optimistis.
Perekonomian dunia diperkirakan mengalami kelesuan pada 2023 dengan perkiraan pertumbuhan ekonomi global berkisar 2,2-2,7 persen (OECD, IMF). Deklarasi pemimpin dunia pada forum G20 di Bali, November lalu, menunjukkan kekhawatiran yang sama.
Hal itu yang tecermin di antaranya dari kesepahaman untuk kembali memperkuat skema kerja sama multilateral, menjaga kebijakan makroekonomi yang fleksibel, memperkuat ketahanan pangan dan energi, mendorong perdagangan dan investasi, serta mempercepat pencapaian sasaran pembangunan berkelanjutan.
Kesuksesan perhelatan G20 masih menyisakan jalan panjang agar berbagai kesepahaman tersebut diterjemahkan menjadi aksi yang konkret.
Bukan tidak mungkin ancaman resesi global pada akhirnya mendorong setiap negara mengambil kebijakan yang bersifat self-interest dan berlawanan dengan semangat deklarasi.
Baca juga : Merajut Kerja Sama di Tengah Rivalitas
Baca juga : Kenapa Geopolitik Penting bagi Para Pelaku Pasar Keuangan?
Perang Rusia-Ukraina
Di titik ini Indonesia perlu secara saksama mengantisipasi berbagai faktor yang dapat memengaruhi resesi tahun depan.
Beberapa isu ekonomi dan geopolitik yang perlu mendapat perhatian adalah kemungkinan berkepanjangannya perang Rusia-Ukraina, meningkatnya proteksionisme, kebijakan moneter ketat Amerika Serikat, serta kebijakan China yang agresif, baik dalam isu Taiwan maupun perbatasan di Laut China Selatan.
Pertama, dalam hal konflik Rusia-Ukraina, Indonesia harus siap dengan skenario perang yang berkepanjangan.
Pada saat invasi dimulai Februari lalu, tak sedikit analis yang salah memperkirakan Rusia hanya mengincar perang singkat untuk segera mencari soft landing yang menguntungkan posisi ekonomi dan politiknya.
Akan tetapi, pada saat ini tampaknya Rusia sudah mencapai point of no return, tidak akan menghentikan invasi secara sepihak tanpa mencapai tujuan utamanya menjadikan Ukraina sebagai negara yang secara politik netral.
Berlanjutnya perang akan memberikan tekanan kepada Indonesia dari sisi pangan. Impor gandum Indonesia yang seperempatnya dipasok dari Ukraina sebelum perang memang dapat ditutup oleh pasokan dari Australia, India, dan Kanada.
Akan tetapi, harga gandum dan jagung dunia kembali melonjak setelah Rusia menolak membuka akses ekspor pangan Ukraina di Laut Hitam.
Melihat rentannya kondisi pangan dunia terhadap gejolak produksi, harga, dan transportasi, pemerintah perlu mempertimbangkan 2023 sebagai tahun kebangkitan sumber pangan lokal. Catatan LIPI-BRIN menunjukkan, Indonesia memiliki 77 sumber karbohidrat potensial, baik yang berbasis biji-bijian maupun umbi-umbian.
Dari jalur energi, meskipun tidak mengimpor minyak dan gas langsung dari Rusia dan Ukraina, Indonesia dapat terdampak jika harga energi dunia kembali meningkat seperti pada pertengahan 2022.
Asumsi inflasi 3,6 persen dalam RAPBN 2023 dapat terlampaui dengan konsekuensi perlu adanya persiapan jika alokasi jaring pengaman sosial sebesar Rp 479,1 triliun dan subsidi energi Rp 211,9 triliun tidak mencukupi. Inflasi juga dapat ditekan jika pemerintah konsisten dengan agenda penguatan konektivitas antardaerah.
Kelanjutan pembangunan infrastruktur transportasi, penyempurnaan sistem logistik nasional, pelibatan BUMN kluster jasa logistik dalam pengiriman produk pertanian dan bahan baku industri, serta dukungan bagi start up logistik, terutama yang berperan sebagai agregator di daerah-daerah sentra produksi.
Melihat rentannya kondisi pangan dunia terhadap gejolak produksi, harga, dan transportasi, pemerintah perlu mempertimbangkan 2023 sebagai tahun kebangkitan sumber pangan lokal.
Di tengah krisis ini, terdapat peluang impor minyak murah Rusia, peningkatan permintaan minyak nabati dan permintaan batubara Indonesia dari negara-negara Uni Eropa. Meskipun demikian, windfall dari komoditas ini tidak boleh menghentikan upaya peningkatan nilai tambah mineral.
Selain itu, kembali digunakannya batubara untuk pembangkit energi di Uni Eropa adalah kesempatan yang baik bagi Indonesia untuk menyerukan transisi energi yang adil dan terjangkau, yang memastikan tidak ada pihak yang tertinggal dan dirugikan, sebagaimana juga tertuang dalam deklarasi G20 lalu.
Proteksionisme
Kedua, kecenderungan proteksionisme dalam perdagangan internasional juga diperkirakan akan terus berlangsung.
Tren penurunan hambatan tarif negara maju dari 5 persen pada 1990-an menjadi kurang dari 3 persen pada akhir dekade 2010-an terhenti dengan perang dagang AS-China pada awal 2018.
Di sisi lain, hambatan nontarif justru berkembang sangat cepat, baik dalam bentuk hambatan teknis dan standar maupun nonteknis dan administratif. Pandemi Covid-19 pada awal 2020 bahkan memunculkan hambatan ekspor untuk menjamin kecukupan pasokan dalam negeri.
Proteksionisme ini juga berdampak pada perubahan pola rantai nilai global (GVC) untuk mengembalikan produksi ke negara asal (reshoring), ke negara yang dekat (nearshoring), atau negara yang lebih mudah dipengaruhi kebijakan perdagangannya (friend-shoring).
Terhadap gejala de-globalisasi ini, Indonesia dapat menempuh beberapa langkah antisipasi, yaitu memaksimalkan berbagai perjanjian perdagangan bebas yang telah disepakati.
Selain itu, mengembangkan perjanjian bilateral baru untuk memperluas negara mitra dagang serta memperkuat skema kerja sama regional ASEAN dan Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (Regional Comprehensive Economic Partnership/RCEP).
Untuk menembus pasar negara maju, pemerintah perlu memfokuskan pada kerja sama peningkatan kapasitas laboratorium dan badan karantina agar standar Indonesia dapat diakui oleh negara tujuan.
Kebijakan uang ketat AS
Ketiga, meskipun inflasi AS diperkirakan telah melewati masa puncaknya, masih terdapat kemungkinan The Fed akan meneruskan kebijakan uang ketatnya pada 2023.
Bagi Indonesia terdapat risiko pelarian modal (capital flight), yang pada gilirannya dapat melemahkan nilai tukar rupiah dan meningkatkan harga input impor.
Untuk kepastian dunia usaha, rupiah perlu dijaga bukan saja pada besaran nilai tukarnya, melainkan juga fluktuasinya.
Diperlukan komitmen menjaga stabilitas nilai tukar di kisaran Rp 15.000 per dollar AS, yang tentu juga memerlukan kesiapan cadangan devisa.
Baca juga : Ketidakpastian Global dan Respons Kebijakan
Selain itu, Indonesia harus terus memperbaiki iklim investasi, terutama pada tingkat implementasi di lapangan, seperti harmonisasi regulasi pemerintah pusat dan daerah.
Fokus promosi juga sebaiknya tak hanya pada calon investor baru, tetapi juga bagaimana investor yang telah beroperasi menggunakan keuntungan operasionalnya untuk melakukan ekspansi bisnis di Indonesia.
Pendalaman pasar keuangan, terutama dalam denominasi valuta asing, serta peraturan tentang devisa ekspor dan repatriasi dividen perlu ditinjau kembali efektivitasnya.
Manuver teritorial China
Keempat, perlu diwaspadai agresivitas teritorial China, baik dalam kaitan dengan isu Taiwan maupun sengketa perbatasan di Laut China selatan.
Taiwan adalah produsen semikonduktor utama dunia sehingga gangguan terhadap produksi dan pengiriman akan memperparah kelangkaan yang telah terjadi sejak pertengahan 2022. Ini akan berdampak pada industri otomotif, elektronika, dan permesinan Indonesia.
ilustrasi
Komunikasi publik
Selain berbagai langkah antisipasi tersebut, pemerintah juga perlu memperkuat komunikasi publiknya terkait ancaman resesi global.
Di dalam negeri, seruan kepada publik untuk mewaspadai resesi memerlukan arahan yang lebih operasional tentang langkah apa saja yang perlu dikakukan masyarakat.
Dunia usaha bisa diarahkan agar tak mengurangi produksi, persediaan, dan tenaga kerja, tentu dengan komitmen pemerintah untuk terus memperbaiki iklim usaha yang berpihak ke industri domestik dan prioritas belanja pemerintah untuk produk dalam negeri.
Masyarakat dan rumah tangga dapat diimbau agar tetap optimistis, tidak khawatir untuk melakukan investasi dan konsumsi, serta tidak ragu untuk mengajukan pinjaman untuk membuka atau mengembangkan usaha.
Demikian pula di panggung internasional, seruan Indonesia tentang ancaman resesi dapat lebih lugas mengarah pada komitmen negara-negara besar dalam hal akses pasar, investasi, pencegahan konflik bersenjata, bantuan untuk transisi energi yang adil, pembangunan berkelanjutan, dan pengembangan teknologi digital.
Keberhasilan Indonesia dalam menggelar KTT G20 merupakan modal kuat untuk menindaklanjuti substansi deklarasi pada tingkat lembaga internasional, bilateral, dan regional maupun membawanya untuk tetap relevan dalam kepresidenan India pada 2023.
Mohamad Dian RevindoPeneliti LPEM FEB Universitas Indonesia