Ketidakpastian Global dan Respons Kebijakan
Situasi memang tak mudah. Kita berdiri di depan dunia yang cemas. Ketidakpastian membuat kita gelisah. Begitu banyak hal yang tak kita mengerti atau bisa kita kendalikan. Namun, Indonesia bukan tanpa harapan.

Ilustrasi
Kita berdiri di depan dunia yang cemas. Orang bergumam dalam ketidakpastian. Kita memandang tahun 2023 dengan waswas.
Apakah Krisis Finansial Global (Global Financial Crisis/ GFC) 2008 akan berulang? Mungkin tidak.
Setidaknya, pertumbuhan ekonomi dunia saat ini lebih baik dibandingkan 2008-2009.
Tengok data ini: pertumbuhan ekonomi dunia tahun 2008 tercatat 2,1 persen, lalu mengalami kontraksi (minus 1,3 persen) tahun 2009 saat terjadi GFC. Bandingkan dengan saat ini, ekonomi dunia diperkirakan tumbuh 3,2 persen (2022) dan 2,7 persen (2023).
Senada dengan itu, Guru Besar Ekonomi di Harvard Kennedy School, Larry Summers, mengatakan resesi kali ini tak akan seburuk tahun 2008. Namun, bukan berarti kita tak perlu waspada. Ketidakpastian masih begitu tinggi.
The Fed, misalnya, berada dalam situasi serba salah. Di satu sisi, suku bunga harus dinaikkan untuk mengatasi inflasi, tetapi di sisi lain kenaikan bunga yang terlalu agresif akan mendorong Amerika Serikat ke dalam jurang resesi.
Bagaimana menarik garis yang adil di antara keduanya? Memang ada sedikit harapan. Risalah pertemuan Federal Open Market Committee (FOMC) yang dirilis akhir November lalu memperkirakan bahwa kenaikan bunga ke depan mungkin tak seagresif kenaikan bunga sebelumnya. Ini pertanda baik, tetapi kita tetap harus waspada. Mengapa?
Baca juga : Resesi Global dan Pilihan Kebijakan
Baca juga : Terancam Resesi Global, Ekonomi Digital RI Tetap Tumbuh Pesat
Ketidakpastian
Saya jadi teringat Kurva Beveridge (Beveridge Curve). Di tahun 1958 ekonom dan politisi Inggris, William Beveridge, memperkenalkan sebuah konsep yang kemudian dikenal dengan nama Kurva Beveridge.
Ia menunjukkan ada hubungan terbalik antara lowongan pekerjaan (job vacancy) dan tingkat pengangguran. Semakin tinggi lowongan pekerjaan, semakin rendah tingkat pengangguran dan sebaliknya.
Menariknya, studi yang dilakukan Blanchard, Domash, dan Summers (2022) menunjukkan: Kurva Beveridge bergerak ke atas (shifting outward). Artinya: lowongan pekerjaan yang tersedia jauh lebih besar dibandingkan pencari kerja. Ada kelebihan permintaan.
Mengapa bisa begitu? Mungkin karena keterampilan pelamar tak sesuai dengan lowongan yang ada. Akibatnya lowongan yang ada tetap tak terisi.
Penyebabnya: terjadinya pergeseran permintaan dari pekerjaan yang membutuhkan kehadiran fisik kepada pekerjaan yang dapat dilakukan secara daring/online (remote). Selain itu, bisa jadi karena relokasi, di mana pekerja yang dibutuhkan justru pindah ke tempat lain.
Kesenjangan ini membuat adanya kelebihan permintaan di pasar tenaga kerja. Bisa dibayangkan, opsi untuk mencari pekerja yang memiliki keterampilan yang cocok menjadi terbatas. Kenaikan upah jadi lebih tinggi. Inflasi meningkat. Implikasinya: untuk mengatasi inflasi, dibutuhkan tingkat pengangguran yang jauh lebih besar.

ilustrasi
Itu sebabnya mantan Menteri Keuangan AS Larry Summers mengatakan bahwa inflasi di AS akan bertahan relatif panjang dan dibutuhkan kebijakan The Fed yang agresif untuk menaikkan bunga. Summers menyebut kita berhadapan dengan dua sisi risiko (two sided risks): inflasi dan resesi.
Namun, harapan lain muncul dari Jerman dan Eropa. Kekhawatiran akan krisis energi yang dipicu oleh dibatasinya pasokan gas oleh Rusia ke Jerman dan negara Eropa sedikit dapat teratasi. Jerman mampu melakukan penghematan energi gas sampai seperlima. Negara Eropa, termasuk Jerman, mampu menjaga persediaan gas sampai 95 persen—lebih tinggi dari target sebesar 80 persen pada awal November 2022.
Akibatnya, harga gas mengalami penurunan. Begitu juga harga batubara. Karena itu, kekhawatiran bahwa ekonomi Jerman akan runtuh akibat krisis energi tampaknya dalam jangka pendek tak terjadi. Indeks industri di Jerman mulai meningkat bulan September.
Sayangnya, terlalu pagi untuk menyimpulkan risiko krisis energi sepenuhnya berakhir.
Risiko berikutnya yang akan muncul adalah risiko fiskal akibat subsidi energi yang besar. Begitu juga tekanan inflasi.
Hal lain yang harus diperhatikan adalah bahwa penurunan harga komoditas dan energi mungkin lebih cepat dari perkiraan awal.
Posisi Indonesia
Dengan perkembangan seperti ini, bagaimana posisi Indonesia? Kebijakan apa yang perlu dilakukan? Mungkin ada beberapa hal yang perlu diperhatikan di sini.
Pertama, seperti tulisan saya di harian ini (10/10/2022), probabilitas resesi di Indonesia relatif kecil. Memang pertumbuhan ekonomi Indonesia akan melambat, tetapi bukan resesi.
Tahun 2009—yang mungkin lebih berat dari saat ini—Indonesia masih mampu tumbuh 4,6 persen, ketiga paling tinggi di antara negara G20. Probabilitas resesi seharusnya rendah. Namun, kita memang melihat gejala perlambatan ekonomi.
Pertumbuhan ekspor Indonesia (antartahun) pada Oktober 2022 tercatat 12,3 persen, lebih lambat dibandingkan bulan-bulan sebelumnya. Dugaan saya: perlambatan ekspor akan mulai terjadi triwulan IV-2022 atau awal 2023. Pertumbuhan impor barang modal, yang merupakan cerminan kebutuhan investasi, mulai mengalami perlambatan.
Senjang waktu antara impor barang modal dan investasi biasanya sekitar enam bulan. Mudahnya: apabila pembelian mesin atau barang modal sudah mulai berkurang, investasi dalam enam bulan ke depan akan menurun.
Hal lain yang harus diperhatikan adalah bahwa penurunan harga komoditas dan energi mungkin lebih cepat dari perkiraan awal. Jika Jerman mampu mengendalikan kebutuhan gasnya, kebutuhan untuk batubara akan mengalami penurunan. Akibatnya, ekspor batubara kita akan menurun, lebih rendah dari perkiraan awal.

Untungnya, seperti saya tulis dalam risalah saya terdahulu: kita diuntungkan oleh kurang terintegrasinya kita pada ekonomi global—sesuatu yang sebetulnya tak kita inginkan.
Tentu kita harus adil: integrasi yang terbatas pada ekonomi global membuat kita juga nantinya akan pulih lebih lambat ketika ekonomi global pulih. Hal ini tecermin dari perbandingan pertumbuhan ekonomi Indonesia terhadap beberapa negara ASEAN.
Pertumbuhan ekonomi kita yang sebesar 5,7 persen tentu sebuah prestasi yang baik. Kita tumbuh lebih tinggi dibandingkan Singapura dan Thailand yang tumbuh masing-masing 4,4 persen dan 2,5 persen. Namun, pertumbuhan ekonomi kita di bawah Malaysia, Vietnam, dan Filipina yang sebesar 14,2 persen, 13,7 persen, dan 7,6 persen.
Kedua, jika sektor eksternal mengalami pelemahan, mau tidak mau kita harus bertumpu kepada domestik. Dibutuhkan kebijakan kontra-siklus. Sayangnya ruang itu terbatas. Basri dan Sumartono (akan terbit) menunjukkan bahwa Bank Indonesia juga berada dalam situasi yang dilematis karena harus menjaga inflasi dan sekaligus nilai tukar.
Kenaikan bunga di AS dan tekanan inflasi membuat Bank Indonesia harus menaikkan bunga karena dua alasan: untuk menekan inflasi dan untuk menjaga paritas dengan tingkat bunga The Fed.
Karena itu, BI mau tak mau harus menjaga inflasi sekaligus nilai tukar. Ini situasi yang dilematis. Tak mudah.
Di satu sisi, apabila tingkat bunga dinaikkan, investasi akan terpukul, ekonomi melambat. Di sisi lain, apabila BI tidak menaikkan bunga, arus modal akan kembali pulang ke AS, rupiah akan melemah.
Ekonom Rudiger Dornbusch memperkenalkan apa yang disebut exchange rate overshooting. Mudahnya, depresiasi nilai tukar bisa lebih dalam dari seharusnya. Alasannya: karena sektor keuangan bereaksi lebih cepat dibandingkan sektor riil. Oleh karena itu, bisa terjadi nilai tukar jatuh lebih dalam dari yang seharusnya.
Exchange rate overshoot ini memiliki dampak pada ekspektasi nilai tukar. Trauma terhadap Krisis Finansial Asia (Asian Financial Crisis) 1998—walau tak terlalu menakutkan—masih ada. Selain itu, pelemahan nilai tukar rupiah dapat menimbulkan balance sheet effects (efek neraca).
Maksudnya, pelemahan rupiah akan membuat beban utang dalam mata uang dollar AS meningkat. Selain itu, pelemahan rupiah akan membuat biaya modal (capital expenditure) menjadi lebih mahal—karena berasal dari impor—sedangkan penerimaannya dalam rupiah.
Akibatnya, terjadi ketidaksesuaian dalam mata uang untuk penerimaan dan pengeluaran (currency mis-match). Neraca perusahaan akan tertekan, perusahaan mengalami kontraksi, atau menunda investasinya.

ilustrasi
Itu sebabnya, pelemahan nilai tukar rupiah yang terlalu dalam (jika BI tak menaikkan bunga) dapat menimbulkan balance sheet effect dan juga kepanikan pasar. Karena itu, BI mau tak mau harus menjaga inflasi sekaligus nilai tukar. Ini situasi yang dilematis. Tak mudah.
Namun, perlu dicatat: depresiasi rupiah sampai saat ini (yang sebesar 10-11 persen) masih relatif rendah dibandingkan mata uang lain seperti ringgit Malaysia, won Korea, yen Jepang, yuan China, peso Argentina, dan lira Turki.
Selain itu, porsi utang jangka pendek dalam mata uang asing relatif kecil sebenarnya. Karena itu, mungkin masih ada ruang bagi BI untuk membiarkan rupiah sedikit melemah sehingga kenaikan bunga tak perlu terlalu agresif.
Namun, seperti tulisan saya terdahulu, BI tetap harus menjalankan kombinasi kebijakan: menaikkan bunga, menggunakan instrumen makroprudensial dan nilai tukar. Tak bisa hanya menggunakan satu instrumen. Dibutuhkan bauran kebijakan (policy mix).
Ketiga, dalam situasi kebijakan moneter yang dilematis, peran fiskal menjadi amat penting. Sayangnya, juga ada keterbatasan di sini.
Potensi penurunan harga komoditas dan energi seperti yang dibahas di atas memiliki implikasi pada penerimaan negara. Proyeksi Bank Dunia (2022) menunjukkan harga komoditas dan energi tahun 2023 memang akan lebih rendah dibandingkan 2022, tetapi tetap lebih tinggi dibandingkan 2021.
Potensi penurunan harga komoditas dan energi seperti yang dibahas di atas memiliki implikasi pada penerimaan negara.
Artinya, rezeki nomplok (windfall income) dari energi dan komoditas seperti tahun 2022 mungkin tak terulang. Penerimaan negara 2023 akan lebih rendah dibandingkan 2022.
Undang-undang mengamanatkan defisit anggaran harus kembali di bawah 3 persen tahun 2023. Untuk mencapai itu, jika penerimaan melambat, belanja harus ditekan. Padahal, sebenarnya kita membutuhkan ekspansi fiskal. Yang terjadi justru kontraksi.
Perbaikan kualitas belanja
Dengan kendala seperti ini, pemerintah mau tidak mau harus fokus kepada perbaikan kualitas belanja dan upaya peningkatan penerimaan negara, tanpa menaikkan tarif pajak.
Dari sisi belanja, prioritas harus diberikan untuk perlindungan sosial seperti bantuan langsung tunai, Program Keluarga Harapan, program padat karya tunai, sarana kesehatan, dan dukungan UMKM. Alokasi belanja yang tidak mendesak dapat ditunda terlebih dahulu.
Dari sisi penerimaan, salah satu langkah yang bisa diambil adalah melihat kembali seberapa efektif pemberian insentif pajak selama ini. Insentif yang tak efektif dapat dihilangkan.
Rasio dari tax expenditure (insentif pajak) kita terhadap PDB sudah cukup besar (lebih dari 1,5 persen dari PDB). Berikan insentif hanya untuk yang bermanfaat. Selain itu, upaya peningkatan pajak dapat dilakukan melalui perbaikan administrasi tanpa perlu menaikkan tarif.
Risalah Felix, Hanna, Olken, dan saya di American Economic Review (2021) menunjukkan bahwa langkah untuk memindahkan pelayanan badan usaha dari Kantor Pajak Pratama ke Kantor Pajak Madya seperti mulai diterapkan oleh Direktorat Jenderal Pajak sejak 2021 akan membantu menambah penerimaan pajak.

ilustrasi
Instrumen lain yang perlu dijajaki adalah pajak untuk energi tak terbarukan, menaikkan pajak karbon, yang diimbangi dengan membangun carbon market agar pemulihan bisa lebih hijau. Tentu ini harus dilakukan secara bertahap sehingga perusahaan mampu melakukan penyesuaian.
Jika penerimaan pajak bisa dinaikkan, ruang fiskal akan bisa diperluas. Ada ruang untuk mendorong daya beli.
Situasi memang tak mudah. Kita berdiri di depan dunia yang cemas. Ketidakpastian membuat kita gelisah. Begitu banyak hal yang tak kita mengerti atau bisa kita kendalikan.
Musim dingin mungkin datang. Namun, Indonesia bukan tanpa harapan. Saya jadi ingat apa yang ditulis Albert Camus, ”In the depth of winter, I finally learned that within me there lay an invincible summer.” Saya kira, Camus benar.
Muhamad Chatib BasriPengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia

Muhamad Chatib Basri