Pangan Dunia dan Indonesia 2023
Dunia dipersepsikan mengalami krisis pangan akut yang terus berlanjut hingga 2023. Pada pertemuan G20, ketahanan pangan dunia jadi salah satu agenda penting. Lalu, siapa yang diuntungkan dengan isu krisis pangan ini?
Sejak awal pandemi Covid-19 tahun 2020, dunia dipersepsikan seolah-olah mengalami krisis pangan akut yang terus berlanjut hingga 2023 dan setelahnya.
Pada pertemuan G20, ketahanan pangan dunia jadi salah satu agenda terpenting. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati bahkan menyatakan ketidakpastian ekonomi global membuat krisis pangan tahun depan kian berat.
Pada kesempatan yang sama, Sekjen PBB Antonio Guterres juga menyatakan dunia sedang menuju ”a ranging food catastrophe”. Ancaman krisis pangan global pertama kali disampaikan Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) dan 15 lembaga internasional lain, April 2020. Indonesia merespons pernyataan FAO dengan meluncurkan program pertanian skala besar, food estate.
Hanya berselang sebulan setelah pernyataan FAO, harga pangan dunia mulai naik, padahal Januari-Mei 2020 indeks harga pangan dunia justru turun dari 102,5 ke 91,1. Kenaikan tertinggi terjadi pada harga minyak nabati, tetapi pada periode yang sama semua jenis pangan lain ikut naik, yaitu serealia (biji-bijian), produk susu, daging, dan gula.
Baca juga : Mencermati Upaya G20 Menghadapi Krisis Pangan
Baca juga : Perguruan Tinggi Diajak Jadi Patriot Pangan
Menurut definisinya, krisis pangan global terjadi jika laju kelaparan dan kekurangan gizi meningkat tajam pada tingkat global (Timmer, 2010). Definisi ini berbeda dengan krisis pangan karena kelaparan kronis meski sangat mungkin terjadi di antara populasi yang sebelumnya telah menderita kelaparan dan kekurangan gizi dalam jangka waktu lama.
Krisis pangan global terjadi apabila terdapat perubahan besar penawaran atau permintaan atas pangan yang menyebabkan lonjakan harga yang tinggi dalam waktu pendek. Penyebab utama krisis pangan global adalah penurunan produksi pangan yang tinggi.
Dunia pernah mengalami tiga krisis pangan global, yaitu 1972-1974, 2007- 2008, dan 2011. Pada 1972, produksi biji-bijian dunia turun hampir 40 juta ton, padahal sebelumnya terus meningkat rata-rata 28 juta ton per tahun.
Stok pangan dunia turun 10 persen, diikuti lonjakan harga yang sangat tinggi. Tahun 1973 produksi biji-bijian dunia membaik, tapi tahun 1974 turun lagi 50 juta ton.
Saat krisis pangan 2007-2008, produksi biji-bijian dunia turun hanya 1,4 persen, tetapi harga pangan untuk beberapa komoditas justru melonjak, bahkan lebih dari 100 persen. New England Complex Systems Institute, Cambridge, AS, menganalisis peristiwa krisis pangan global tahun 2007-2008.
Dari semua aspek yang dianalisis, lonjakan harga yang sangat tinggi saat itu tak terkait penurunan produksi, tetapi lebih karena spekulasi pangan.
Kecenderungan kenaikan harga disebabkan konversi jagung ke etanol di AS dan Eropa. Pada 2010, produksi serealia dunia turun 1,9 persen, diikuti penurunan tajam 14,1 persen pada 2011.
Harga pangan kemudian melonjak tinggi, menyebabkan kerusuhan besar dan puluhan ribu orang meninggal di 15 negara. Peristiwa ini diikuti dengan tumbangnya berbagai rezim di Timur Tengah dan Afrika Utara—dikenal sebagai Arab Spring—serta memunculkan problem pengungsian terbesar setelah Perang Dunia II.
Penyebab utama krisis pangan global adalah penurunan produksi pangan yang tinggi.
Isu krisis pangan, siapa untung?
Ketika isu krisis pangan dimunculkan di 2020, produksi serealia (biji-bijian) dunia justru mencapai rekor tertingginya 3.093 juta ton (USDA, 2020) dan nisbah stock-to-use di awal tahun berada di posisi sangat aman 30,9 persen (FAO Maret 2020). Dengan demikian, tak ada alasan krisis pangan terjadi di 2020.
Produksi serealia dunia kemudian mencetak rekor lagi di posisi 3.148 juta ton pada 2021. Produksi serealia 2022 diperkirakan turun 1,4 persen. Penyebabnya terutama karena turunnya produksi biji-bijian kasar, seperti jagung (1,8 persen) dan beras (2,4 persen) (FAO, Oktober 2022).
Penurunan produksi kedua komoditas diimbangi kenaikan produksi gandum 1,0 persen dan kedelai 11,0 persen (USDA, Juli 2022). Nisbah stock-to-use juga di posisi sangat baik, di atas 25 persen, yakni 30,9 persen 2021/2022.
Isu krisis pangan telah meningkatkan harga pangan dunia yang cukup tinggi selama Mei 2020-Maret 2022. Tiada bulan tanpa kenaikan harga pangan kecuali Juni, Juli, dan Desember 2021. Pemain-pemain pangan global sudah barang tentu sangat diuntungkan dengan dimunculkannya isu krisis pangan dunia oleh lembaga-lembaga internasional.
ilustrasi
Berkaca dari krisis pangan ”artifisial” 2007-2008, di mana kenaikan harga pangan dunia menyebabkan penderitaan masyarakat di 36 negara, sebagian justru menikmati keuntungan luar biasa besar. Siapa yang menikmati keuntungan itu? Sekitar 90 persen perdagangan pangan dunia dikuasai hanya oleh lima perusahaan multinasional milik negara maju.
Amerika Utara dan Eropa memproduksi 64,6 persen serealia yang diperdagangkan di dunia. Sebesar 89,9 persen pangan yang diperdagangkan itu diimpor oleh negara berkembang di Asia, Afrika, dan Amerika Latin (Agarwald, 2014).
Saat terjadi krisis pangan ”artifisial” 2007-2008, keuntungan pedagang pangan dunia melonjak 55-189 persen, perusahaan benih dan herbisida 21- 54 persen, dan pupuk 186-1.200 persen (Angus 2008, Guzman 2008).
Dengan demikian, penulis mempertanyakan pernyataan FAO dan lembaga dunia lain yang diamini para pejabat Indonesia dan negara-negara lain. Atas maksud apa pernyataan itu dikeluarkan dan untuk kepentingan siapa.
Dengan demikian, harga beras dunia diperkirakan mengalami kenaikan.
Situasi pangan 2023
Setelah guncangan harga serealia yang terjadi akibat perang Rusia-Ukraina dan larangan ekspor gandum oleh India, indeks harga pangan dunia mulai turun sejak April 2022 hingga saat ini. Harga serealia sempat turun April, tetapi naik kembali Mei dan turun relatif tajam dan kembali ke angka sebelum perang pada Agustus 2022. Harga daging dan produk susu mulai turun Juni 2022, sedangkan gula turun sejak April 2022.
Produksi gandum 2022/2023 diperkirakan meningkat karena iklim yang mendukung di Australia, peningkatan produksi di UE, Kanada, AS, dan Rusia yang menyebabkan harga gandum akan terus mengalami pelemahan. Produksi gandum di Argentina berpotensi turun tajam, sedangkan di Brasil meningkat. Produksi gandum dunia 2022/2023 naik dari 779,4 juta ton ke 782,7 juta ton.
Produksi beras dunia di 2022/2023 diperkirakan turun dari 515,1 juta ton menjadi 503,7 juta ton karena penurunan produksi di Pakistan, Nigeria, dan Sri Lanka. Stok beras global diperkirakan juga menurun terutama karena penurunan stok di India, Indonesia, dan Vietnam. Dengan demikian, harga beras dunia diperkirakan mengalami kenaikan.
Seperti beras, produksi jagung 2022/2023 diperkirakan juga turun dari 1.271,5 juta ton menjadi 1.168,4 juta ton karena penurunan areal tanam di UE, Afrika Utara, Filipina, dan Nigeria, tetapi diimbangi peningkatan produksi di AS.
Produksi kedelai 2022/2023 diperkirakan melonjak dari 355,6 juta ton menjadi 391,0 juta ton. Secara umum situasi pangan dunia di 2022/2023 tergolong aman. Penurunan produksi di beberapa komoditas penting diimbangi kenaikan produksi di komoditas lainnya. Dengan demikian, krisis pangan 2023 diperkirakan juga tidak akan terjadi.
Bagaimana situasi pangan di Indonesia? Untuk komoditas dengan ketergantungan impor tinggi, seperti gandum, bawang putih, produk susu, kedelai, gula, dan daging, harga akan cenderung stabil, bahkan berpotensi turun di 2023. Situasi beras 2023 perlu perhatian khusus. Produksi riil berdasarkan panen yang sudah ada pada Januari-September 2022 diperkirakan 45,43 juta ton gabah kering giling (GKG), turun 0,19 persen dibandingkan periode sama 2021 (BPS Oktober 2022).
Untuk produksi padi 2022 (Januari-Desember) diperkirakan 55,67 juta ton GKG dan beras 32,07 juta ton atau masing-masing meningkat 2,31 persen dan 2,29 persen. Dengan demikian, peningkatan produksi padi dan beras nasional 2022 sangat tergantung hasil panen pada Oktober-Desember 2022.
Sayangnya, produksi padi di triwulan IV terganggu oleh panen di musim hujan yang menurunkan produksi dan kualitas gabah. Berdasarkan survei Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia, harga gabah turun pada Oktober dibandingkan September 2022 di sentra-sentra produksi yang menunjukkan kualitas gabah yang menurun. Jika ini berlanjut, kemungkinan kenaikan produksi padi di 2022 tak akan terjadi sesuai harapan.
Marilah bersama-sama kita wujudkan petani berdaulat, mandiri, sejahtera.
Harga beras akan terus mengalami kenaikan hingga Februari 2023 karena adanya lonjakan harga gabah kering panen (GKP) dari Rp 3.944/kg pada Juni menjadi Rp 4.783, Rp 5.057, Rp 5.288, dan Rp 5.179 pada Juli, Agustus, September, dan Oktober 2022 (survei bulanan AB2TI di 47 sentra produksi).
Meski kenaikan harga beras tak bisa dihindari dan intervensi harga sulit dilakukan akibat cadangan beras pemerintah sangat rendah, secara umum hingga Januari 2023 stok yang ada di masyarakat masih mencukupi walau terbatas. Impor tak akan ada manfaatnya karena beras impor akan masuk justru ketika petani masuk panen raya. Jika ini dilakukan, sungguh menyakitkan bagi petani padi karena akan kian menekan harga gabah dan beras saat panen raya.
Musim tanam padi pertama dilakukan justru ketika La Nina mencapai puncaknya (November 2022-Januari 2023) sehingga ada potensi gagal tanam akibat banjir di berbagai tempat. Iklim akan mengarah ke normal Mei-Juli dan mulai Agustus 2023 kemungkinan El Nino (iklim kering berkepanjangan) akan terjadi (NCEP September 2022). Ini harus betul-betul diwaspadai karena berpotensi menurunkan produksi di 2023.
Dengan demikian, tantangan berat menanti di 2023, tetapi ini bisa kita atasi bersama jika pemerintah benar-benar fokus untuk meningkatkan kesejahteraan petani. Dengan kesejahteraan meningkat, produksi pangan meningkat. Marilah bersama-sama kita wujudkan petani berdaulat, mandiri, sejahtera.
Dwi Andreas Santosa, Kepala Biotech Center IPB University, Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI)