Perguruan tinggi semakin dituntut berkontribusi memecahkan masalah bangsa seperti krisis pangan. Dukungan inovasi dan riset perguruan tinggi diharapkan bisa mengatasi persoalan itu.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebanyak 10 perguruan tinggi berkolabrasi dalam Konsorsium Patriot Pangan bersama Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi untuk merespons tantangan global krisis pangan. Lewat konsorsium ini, tiap perguruan tinggi bakal mengintervensi ekosistem pangan di berbagai wilayah mulai dari hulu hingga hilir dengan teknologi di bidang peternakan, pangan, gizi, perikanan serta dari berbagai sisi baik produksi, pengolahan, hingga konsumsi.
Ketua Konsorsium Patriot Pangan Arif Satria, Selasa (22/11/2022), mengatakan, perguruan tinggi dituntut berperan dalam mengatasi krisis pangan akibat perubahan iklim ataupun disrupsi global. Hasil rapat terbatas Mendikbudristek dan sejumlah menteri bersama Presiden meyakini perguruan tinggi mempunyai peran dalam mendukung ketahanan dan kedaulatan pangan Indonesia.
”Jadi, perguruan tinggi diminta membangun barisan dan memperkuat usaha guna mewujudkan ketahanan dan kedaulatan pangan,” ujar Arif.
Peluncuran dana padanan (matching fund) Patriot Pangan Kampus Merdeka 2022 dilakukan di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta pada 14 November lalu. Sejumlah inovator dari berbagai fakultas di UGM memaparkan program untuk mendukung ketahanan dan kedaulatan pangan. Dosen Fakultas Kedokteran Hewan UGM Agung Budiyanto menawarkan aplikasi teknologi reproduksi veteriner yang dapat menyinkronisasi birahi sapi jabres sehingga bisa panen masal 1.000 ekor pedet.
”Nanti pedet sapi jabres ini disebarkan ke seluruh Indonesia sehingga bisa mengatasi kebutuhan daging sapi yang selama ini baru terpenuhi 30-40 persen dari dalam negeri,” kata Agung.
Sapi jabres atau singkatan dari sapi jawa-brebes yang secara turun-temurun dipelihara oleh masyarakat di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, ini merupakan plasma nuftah Indonesia yang harus dilestarikan. Sapi jenis ini memiliki daya adaptasi yang tinggi dan dalam hidupnya bisa bunting rata-rata hingga 14 kali.
Ada juga aplikasi Mandala alias membawa kembali gizi ke dalam piring dengan makanan lokal untuk mencegah malanutrisi dari dosen Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan UGM Siti Helmayati. Program ini mendukung pemanfaatan keragaman pangan lokal menjadi makanan masyarakat. Diversifikasi gizi di piring masyarakat dengan pangan lokal dapat meningkatkan gizi dan mengatasi tengkes (stunting).
Arif menjelaskan, program matching fund Patriot Pangan merupakan konsorsium 10 PTN, yaitu Universitas Syiah Kuala, Universitas Negeri Gorontalo, Universitas Tanjungpura, Universitas Pattimura, Institut Pertanian Bogor, Universitas Gajah Mada, Universitas Mulawarman, Universitas Sutan Ageng Tirtayasa, Universitas Mataram, dan Universitas Negeri Lampung.
Program ini bertujuan mendukung upaya kedaulatan pangan pemerintah melalui penelitian ataupun pendampingan kepada masyarakat. Program ini juga merupakan mandat dari Ditjen Diktiristek kepada 10 universitas. Setelah ini, menyusul sembilan universitas lain. ”Kami berharap nanti bertambah lagi perguruan tinggi yang terlibat,” kata Arif.
Transdisipliner
Sementara itu, Wakil Rektor Bidang Sumber Daya Manusia dan Keuangan UGM Supriyadi mengatakan, ketahanan dan kedaulatan pangan merupakan metodologi sistem yang bisa menjamin ketercukupan pangan masyarakat. Pengetahuan terhadap tata kelola persoalan pangan tidak semata berada dalam problem teknis pengetahuan pangan, tetapi juga keterbukaan para ilmuwan untuk saling bekerja sama secara inter dan transdisipliner untuk memastikan bahwa semua tawaran solusi bersifat komprehensif.
”Tentunya mencakup semua aspek fisik, sosial, budaya dan ekonomi. Untuk itu, UGM saat ini membawakan delapan subprogram yang mewakili aspek subkedaulatan pangan,” kata Supriyadi.
Adapun kedelapan subprogram tersebut adalah adanya ketersediaan pangan, baik nabati dan hewani, yang mencukupi. Kemudian, keterjangkauan pangan yang didukung teknologi terkini untuk memastikan ketersediaan pangan dengan kualitas terbaik dan dapat diakses kapan pun dalam jangka waktu yang cukup hingga suplai berikutnya tersedia melalui sejumlah subprogram.
Sekretaris Rektor UGM yang juga sebagai Ketua Kedaireka Patriot Pangan UGM Wirastuti Widyatmanti menyatakan, terdapat beberapa aspek dukungan dari UGM. Antara lain, penelitian metode ring pit sistem budidaya tebu kedelai (Bule), kajian penyimpanan dingin produk hortikultura menggunakan cold storage untuk ketersediaan bahan hewani, dan panen massal 1.000 pedet dan induksi kebuntingan sapi jabres dari tim Fakultas Kedokteran Hewan.
”Melalui subprogram ini kami berharap program Kedaireka Patriot Pangan dapat menjadi panutan implementasi proses pendidikan dan pengetahuan dan menjadi data riset, inovasi tepat guna, serta pembiayaan yang efektif untuk mudah diimplementasikan dan menjadi bagian dari pemberdayaan masyarakat,” tutur Wirastuti.
Ke depannya, tambah Wirastuti, hasil-hasil dari Konsorsium Program Patriot Pangan dapat dijadikan dasar pengambilan keputusan dan kebijakan pemerintah dalam mewujudkan kedaulatan pangan nasional.
Sementara itu, Arif mengatakan realitas ancaman global krisis pangan memang nyata. Ada 193 juta orang di 53 negara yang mengalami krisis pangan. Kondisi ini dipicu variabilitas iklim dan disrupsi baru dari Perang Ukraina-Rusia.
Sekitar 207 juta ton gandum tertahan di kedua negara yang sedang berperang tersebut. Padahal, sekitar 30 persen perdagangan gandum dunia berasal dari kedua negara. Akibatnya, stok tertahan dan persediaan gandum berkurang sehingga harga naik dan berdampak pada banyak pihak, termasuk Indonesia.
Selain itu, harga pupuk juga meningkat karena bahan bakunya juga berasal dari kedua negara tersebut. Demikian pula harga energi. ”Ada kosa kata baru di Eropa saat ini, yakni kelaparan. Padahal, Eropa besar dan maju, serta establish. Namun, adanya disrupsi jadi membawa masalah,” kata Arif.
Menurut Arif, Indonesia perlu merespons tantangan global dan melihat apa yang terjadi saat ini menjadi peluang untuk memperkuat pangan lokal. Indonesia harus percaya diri mengembangkan produk substitusi impor. Terdapat lahan sagu lima juta hektar dengan hasil panen 40 ton/hektar. Sebagai contoh, IPB sudah bisa membuat beras dan mi dari sagu. Bahan lain yang juga bisa dimanfaatkan, yakni sukun, ganyong, sorgum, singkong, jagung.
”Hikmahnya, ini momentum bagi Indonesia untuk mandiri dengan pangan lokal. Kalau program ini menggeliat, di hulu atau di desa, kesejahteraan petani meningkat. Daya tarik desa pun meningkat sehingga regenerasi petani bisa terjadi,” kata Arif.
Selain peningkatan produksi, perlu diperhatikan juga soal keamanan pangan. Pertanian ramah lingkungan perlu didorong. Demikian pula butuh dukungan untuk mengatasi kehilangan makanan dan sampah makanan. Bedasarkan data Badan Pangan Dunia (FAO), Indonesia menghasikan sampah makanan nomor dua terbesar di dunia setelah Arab Saudi.