Krisis pangan menjadi perhatian serius KTT G20 di Bali. Penyelesaian kasus ini juga harus dibarengi dengan upaya penghentian konflik Rusia-Ukraina.
Oleh
Rangga Eka Sakti
·4 menit baca
Sebagai dampak lanjutan dari perang Rusia-Ukraina, krisis pangan menjadi salah satu isu sentral dalam pertemuan puncak G20. Sebagai organisasi dengan natur lincah terhadap tantangan global, G20 cukup baik mendekati persoalan tersebut. Jika dibarengi dengan komitmen dan langkah strategis, bukan tidak mungkin persoalan krisis pangan bisa teratasi dengan relatif cepat.
Akibat dari perang Rusia-Ukraina terhadap situasi ekonomi global memang tak main-main. Selain krisis energi, pangan juga jadi salah satu aspek yang paling terdampak dari perseteruan tersebut.
Di Indonesia saja, misalnya, walau sudah mengalami sedikit penurunan, tingkat inflasi kelompok pengeluaran makanan, minuman, dan tembakau menjadi yang tertinggi kedua (6,76 persen y-o-y) setelah transportasi (16,03 persen y-o-y).
Krisis pangan menjadi salah satu isu sentral dalam pertemuan puncak G20.
Fenomena inflasi pangan ini juga dirasakan oleh sebagian besar negara lain di dunia. Bahkan, di negara Barat, tingkat inflasi pangan ini lebih tinggi dibandingkan dengan situasi di dalam negeri. Contohnya ialah inflasi pangan di AS yang mencapai angka 11 persen dan di Inggris yang menyentuh 14 persen.
Tak heran, penyelesaian krisis pangan menjadi agenda penting dalam pergelaran G20 kemarin. Hal ini pun tecermin dari Deklarasi Bali sebagai hasil persetujuan dari negara-negara yang terlibat dalam pertemuan tinggi itu. Di dalam deklarasi ini terdapat beberapa poin penting yang mencoba untuk menyelesaikan persoalan pangan tersebut.
Beberapa hal dalam krisis pangan ini berupaya didekati oleh G20. Secara umum, terdapat lima aspek yang ditekankan, yaitu stabilitas pasar, memberikan bantalan kepada masyarakat akibat kenaikan harga, memperkuat dialog antara produsen dan konsumen, meningkatkan perdagangan dan investasi untuk ketahanan pangan jangka panjang, serta mendukung sistem pangan dan pupuk yang memiliki ketahanan.
Dalam menghadapi krisis pangan, G20 bertolak dari modal institusional yang sebelumnya telah dimiliki. Bukan hanya melalui G20 di Bali, isu pangan ini sebetulnya telah beberapa kali menjadi ”bahan obrolan” lembaga tersebut. Sebelumnya, isu pangan ini termasuk dalam bagian dari upaya eradikasi kemiskinan dan kelaparan. Sebagai contohnya, di pergelaran tahun lalu, G20 menyepakati Deklarasi Matera.
Dalam deklarasi ini, para negara yang bertemu sepakat untuk bersama-sama mengupayakan solusi terkait ketahanan pangan, nutrisi, dan sistem pangan. Memang, di satu sisi, deklarasi ini tidak menawarkan sebuah kerangka kerja baru.
Namun, di sisi lain, deklarasi tersebut menjadi afirmasi bahwa para negara anggota berkomitmen untuk menjalankan program dari lembaga internasional lain, seperti Decade Action for SDGs milik PBB dan Tokyo Nutition di COP 26.
Selain Deklarasi Matera, ada juga upaya G20 sebelumnya yang disinggung dalam Deklarasi Bali, yakni Global Agriculture and Food Security Program.
Dalam inisiatif ini, G20 berupaya membangun sistem agrikultur serta pangan yang berkelanjutan dan berketahanan di negara dengan pendapatan rendah. Hal ini dilakukan melalui pemberian dukungan teknis dan finansial kepada petani dan UMKM agribisnis secara holistik dengan konsep ”farm to table”.
Sebagai organisasi yang berangkat dari isu ekonomi, pendekatan G20 untuk memitigasi krisis pangan ini juga tidak jauh dari dimensi tersebut. Tak heran, call to action yang secara implisit terkandung dalam Deklarasi Bali cukup banyak berfokus pada investasi, perapihan sistem informasi pasar, dan model perdagangan alternatif, seperti kerja sama selatan-selatan.
Tentu sulit untuk mengatasi persoalan krisis pangan tanpa berbicara tentang sumber utamanya, yakni krisis Rusia dan Ukraina. Sayangnya, G20 tampak bukan menjadi ruang yang tepat untuk membawa isu ini ke atas meja. Bahkan, pergelaran G20 tahun ini nyaris saja berantakan akibat kuatnya tarikan geopolitik di antara dua kubu yang berseteru.
Namun, bukan berarti forum ekonomi ini kemudian alpa dalam membahas krisis ini. Dengan penuh kehati-hatian, presidensi Indonesia mampu bermanuver dan menyinggung isu tersebut di dalam Deklarasi Bali. Salah satu celah untuk memasuki isu ini ialah melalui dampak pangan yang menyertainya.
Dalam Deklarasi Bali, konflik Rusia dan Ukraina didekati melalui penguatan dukungan terhadap inisiatif Black Sea Grain. Sebagai penjelasan, inisiatif ini merupakan upaya untuk mengamankan jalur perdagangan gandum dan bahan baku pupuk dari yang melewati Laut Hitam, tepatnya melalui Pelabuhan Odesa. Perjanjian yang dibrokeri oleh Turki ini menjadi salah satu tonggak untuk menyelamatkan supplai yang sempat terhenti akibat konflik.
Selain itu, Deklarasi Bali juga ikut mendukung program bantuan pupuk yang diinisiasi oleh Rusia yang digarap oleh World Food Programme. Lebih lanjut, deklarasi tersebut juga membentengi inisiatif lain, seperti Jalur Solidaritas UE yang menjamin koridor aman untuk jalur produksi dan distribusi produk agrikultur dari Ukraina. Dengan dua inisiatif ini, Black Sea Grain dan Jalur Solidaritas, tekanan pada rantai pasok pangan pun berangsur bisa dikurangi.
Pasalnya, Ukraina merupakan salah satu eksportir gandum terbesar di dunia. Dengan jumlah ekspor sekitar 45 juta ton senilai lebih dari 4 miliar dollar AS tahun 2020, negara ini menguasai sekitar 9 persen dari suplai gandum dunia. Bukan hanya itu, Ukraina juga jadi salah satu penyuplai bahan baku pupuk, seperti urea dan calcium ammonium nitrate.
Kontribusi Rusia, terutama dalam pupuk dan bahan bakunya, juga tak kalah besar. Berdasar data dari FAO pada 2020, Rusia menjadi eksportir utama amonia dengan jumlah sebesar 4,1 juta ton. Jumlah tersebut jauh mengungguli beberapa eksportir utama, seperti Belanda (374.000 ton) dan Jerman (371.000 ton).
Tentunya, pertemuan G20 di Bali lalu menjadi capaian penting yang cukup patut untuk diapresiasi. Komunike Bali tempo hari bisa menjadi acuan dalam aksi kolektif untuk segera mengatasi krisis pangan.
Meski demikian, komitmen yang tertuang dalam deklarasi ini perlu untuk diuji oleh waktu. Karena, walau bisa menjadi pijakan kebijakan domestik, dokumen komunike tidak bersifat mengikat. Terlebih lagi, tarikan kepentingan geopolitik masih akan terus tegang sampai waktu yang tak dapat ditentukan. (LITBANG KOMPAS)