Dana desa berperan penting dalam pembangunan desa, tetapi pengelolaan dana desa yang tidak transparan berpotensi menggerus modal sosial, aset penting dalam menggerakkan warga desa untuk berperan aktif membangun desanya.
Oleh
SIWI NUGRAHENI
·4 menit baca
Tahun 2003, ketika melakukan penelitian di pelosok Jambi, saya mendapati seorang penduduk desa setempat ”curhat” tentang ketidakpercayaannya kepada kepala desa. Ia bercerita bahwa rasa tidak percaya itu berawal ketika desa menerima bantuan dana dari luar. Ia curiga pengelolaan dana tersebut tidak seperti yang diharapkan.
Hari-hari ini cerita tentang perpecahan warga desa yang berawal dari dana desa juga beberapa kali mampir di telinga saya. Hubungan antarwarga yang semula sangat kompak kini menjadi renggang. Tidak jarang akhirnya terjadi konflik antarwarga desa.
Dana desa sebagai salah satu bentuk modal finansial sangat diperlukan untuk membangun wilayah perdesaan. Di sisi lain, apabila tidak dikelola dengan baik, dana desa memiliki potensi merusak jenis modal penting lainnya, yaitu modal sosial. Dalam beberapa kasus, retaknya hubungan antarwarga desa (biasanya antarpejabat atau mantan pejabat pemerintahan desa) juga dapat menghambat pencairan dana desa selanjutnya.
Modal sosial memiliki fungsi menjembatani ( bridging) dan mempersatukan ( bonding); mendorong tindakan dan kerja sama yang saling menguntungkan.
Tidak ada kesepakatan para ahli dalam mendefinisikan modal sosial. Barangkali karena modal sosial adalah area pembahasan tiga cabang ilmu: sosiologi, politik, dan ekonomi. Di tulisan ini saya mengambil definisi modal sosial yang dikemukakan oleh Robert D Putnam (2001, Bowling Alone: the collapse and revival of American Community).
Menurut Putnam (2001), modal sosial merujuk pada sifat-sifat yang ada pada hubungan antarmanusia di dalam organisasi sosial, seperti jaringan, norma-norma yang disepakati (misalnya norma ketersalingan, atau reciprocity), serta adanya kepercayaan (trustworthiness).
Modal sosial memiliki fungsi menjembatani (bridging) dan mempersatukan (bonding); mendorong tindakan dan kerja sama yang saling menguntungkan.
Pembangunan perdesaan sebagai upaya meningkatkan kesejahteraan warga desa perlu modal kekompakan antarpara pelakunya, yaitu warga desa, pemerintah (baik pemerintah lokal maupun tingkat di atasnya), serta pihak-pihak lain yang berkaitan.
Pembangunan perdesaan juga menuntut adanya collective action, kerja kolaboratif, atau gotong royong. Di sinilah peran penting modal sosial.
Kerusakan modal sosial
Modal sosial dalam sebuah komunitas bersifat dinamis, dapat berubah seiring waktu. Massoda Bano (2012, Breakdown in Pakistan: how aid is eroding institutions of collective action) menggambarkan bagaimana tradisi dan semangat bekerja sama antarwarga di beberapa wilayah di Pakistan yang sudah berusia puluhan, bahkan ratusan tahun, rusak ketika wilayah tersebut menerima bantuan keuangan dari luar.
Hal ini bukan hanya terjadi di Pakistan yang memang menjadi lokasi penelitiannya. Bano menyatakan bahwa masalah bubarnya suasana kolaboratif setelah adanya bantuan finansial bukanlah hal yang unik. Ia mengutip hasil studi sejenis yang ditemukan peneliti lain, seperti yang terjadi di Bolivia dan terjadi pula di Aceh pada masa pemulihan bencana pascatsunami tahun 2004.
Kekompakan antarwarga memudar; saling percaya berganti menjadi saling curiga; kehendak bekerja sama berganti menjadi sikap masa bodoh; partisipasi sukarela berganti menjadi bekerja karena motivasi mendapatkan imbalan.
Modal finansial telah berdampak menurunkan kualitas modal sosial masyarakat setempat. Kekompakan antarwarga memudar; saling percaya berganti menjadi saling curiga; kehendak bekerja sama berganti menjadi sikap masa bodoh; partisipasi sukarela berganti menjadi bekerja karena motivasi mendapatkan imbalan.
Salah satu penyebab kerusakan modal sosial adalah hilangnya kepercayaan antaranggota masyarakat. Trust issue ini antara lain disebabkan oleh tindakan pilih kasih yang tidak transparan.
Dalam kasus dana desa, misalnya, tindakan kepala desa yang menunjuk saudara atau kerabatnya menjadi kepala badan usaha milik (BUM) Desa secara tidak transparan dapat menimbulkan kecurigaan dan iri penduduk lain.
Bano (2012) menyoroti faktor lain, yaitu berubahnya motivasi para pemimpin lokal yang mengelola penggunaan dana bantuan. Ia menyebut para pemimpin lokal ini sebagai inisiator. Semula mereka bekerja secara sukarela. Hal ini merupakan motivasi yang ideal, menurut Bano.
Namun, ketika mereka bekerja berkaitan dengan pengelolaan dana bantuan dan digaji dengan jumlah yang besar, maka motivasi mereka adalah insentif finansial tersebut. Justru inilah yang merusak modal sosial, menimbulkan iri penduduk lain, dan mengikis kesukarelaan bekerja sama.
Transparansi dan informalitas
Transparansi adalah satu-satunya cara untuk mengikis kecurigaan dan memulihkan kepercayaan. Pengangkatan pejabat di desa, terutama yang berkaitan dengan pengelolaan uang, harus berdasarkan sistem yang ditentukan dan disepakati bersama. Kemudian dilakukan dengan konsisten dan transparan.
Bano (2012) mengusulkan hal lain, yaitu menjauhi hal-hal yang sifatnya formal. Ia merujuk pada awal mula kekompakan warga yang terbentuk secara alamiah, mengalir dari suasana yang bersifat informal. Formalitas akan mengesankan ”kekakuan”, yang justru memisahkan hubungan antarindividu.
Basis informalitas memerlukan pengamatan yang lebih saksama pada kehidupan sosial di desa, untuk memetakan siapa yang menjadi tokoh informal yang dihormati di wilayah tersebut.
Basis informalitas memerlukan pengamatan yang lebih saksama pada kehidupan sosial di desa, untuk memetakan siapa yang menjadi tokoh informal yang dihormati di wilayah tersebut. Mereka biasanya dari golongan pemuka adat, pemuka agama, atau guru.
Pengelolaan dana desa yang melibatkan para sesepuh desa diharapkan dapat mengurangi kecurigaan. Apabila usia menjadikan para tokoh desa tersebut tidak lincah lagi dalam bekerja, dan oleh karenanya dipandang dapat menghambat pekerjaan, menempatkan para sesepuh desa sebagai penasihat adalah salah satu jalan tengah.
Dana desa berperan penting dalam pembangunan desa, tetapi pengelolaan dana desa yang tidak transparan dapat berpotensi menggerus modal sosial, aset penting dalam menggerakkan warga desa untuk berperan aktif dalam pembangunan wilayahnya.
Pengelolaan yang bersifat informal adalah cara tambahan untuk mengembalikan modal sosial yang tergerus. Transparansi dan informalitas pengelolaan dana desa diharapkan dapat meningkatkan efektivitas pemanfaatan dana desa.