RUU Kesehatan Sapu Jagat Ditolak
RUU Kesehatan yang beredar saat ini menimbulkan arus penolakan secara masif dari sejumlah organisasi profesi kesehatan. Ada apa sebenarnya di balik penyusunan RUU Kesehatan yang bersifat sapu jagat ini?

Ilustrasi
Dalam beberapa pekan terakhir, ruang publik diramaikan dengan munculnya suatu RUU kesehatan yang disusun menggunakan metode omnibus law.
Omnibus berasal dari bahasa Latin yang artinya ’segalanya’. Rasanya belum lepas dari ingatan kita dalam beberapa tahun terakhir terjadi kegaduhan dan unjuk rasa terkait lahirnya Undang-Undang Cipta Kerja yang menggunakan metode omnibus, bahkan berakhir sampai gugatan ke Mahkamah Konstitusi.
Sekarang, di tengah situasi pandemi Covid-19 yang belum kunjung usai—bahkan meningkat di beberapa daerah—muncul lagi suatu RUU kesehatan disusun dengan metode omnibus. RUU ini menggabungkan beberapa muatan dan materi, menambah atau memodifikasi pasal-pasal atau muatan baru dari beberapa UU yang sedang berlaku.
Dapat dipastikan alasan pemerintah atau DPR untuk menggabungkan beberapa UU profesi dan kesehatan menjadi satu UU sapu jagat adalah karena beberapa UU tentang profesi dan kesehatan yang berlaku saat ini dianggap tak berjalan efektif sehingga diperlukan penyederhanaan menjadi satu UU saja.
Baca juga : RUU Kesehatan, Antara Esensi dan Urgensi
Baca juga : Urgensi RUU Omnibus Law Kesehatan Dipertanyakan
Tidak jelas
Setidaknya ada 15 UU terkait profesi dan kesehatan yang digabung jadi satu UU. Tentu saja ada juga pasal-pasal dengan muatan yang baru dan perubahan atau pencabutan materi muatan dari peraturan perundang-undangan yang telah berlaku. UU itu antara lain UU No 29/2004 tentang Praktik Kedokteran, UU No 38/2014 tentang Keperawatan, UU No 4/2019 tentang Kebidanan, UU No 36/2014 tentang Tenaga Kesehatan, UU Karantina dan Wabah, UU BPJS, serta beberapa UU terkait kesehatan lainnya.
Namun, tak jelas benar bagian mana dari UU yang ada yang tumpang tindih atau dianggap berbelit-belit dan panjang. Lantas mengapa harus dirancang UU ”sapu jagat” kesehatan? Ada apa sebenarnya di balik penyusunan RUU Kesehatan yang bersifat sapu jagat ini?
Berbagai pihak berspekulasi RUU ini dibuat untuk mempermudah investasi asing di bidang kesehatan dan mempermudah dokter dan tenaga kesehatan (nakes) asing masuk ke negeri ini. Terkait hal ini, muncul pula isu seakan-akan dokter Indonesia takut akan kehadiran dokter asing di negeri ini.

Ilustrasi
Ada juga yang mengatakan RUU ini disusun karena organisasi profesi seperti Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI) posisinya terlalu kuat sehingga sering kali menghambat dalam beberapa kebijakan pemerintah. Contohnya, dalam pembukaan fakultas kedokteran (FK), program studi (prodi) pendidikan spesialis di perguruan tinggi (PT), dan lain-lain.
Tanpa bermaksud untuk membela, penulis dapat memastikan bahwa semua hal di atas sama sekali tidak benar.
Dokter asing yang masuk ke negeri ini juga tak menjadi masalah sepanjang jelas kompetensi dan kualifikasinya, memiliki keahlian dan kualifikasi tertentu yang kita perlukan dan tak kita punyai di dalam negeri. Bahkan, dokter-dokter kita dapat belajar dan menambah keterampilan dan pengalaman dari dokter asing.
Dalam pengaturan MRA (mutual recognition arrangement) di tingkat masyarakat ekonomi ASEAN (MEA) telah disepakati bahwa dalam hal mobilisasi tenaga dokter di setiap negara, harus mengikuti regulasi lokal negara masing-masing. Untuk Indonesia telah diatur Permenkes No 14/2022 dan evaluasi kompetensinya diatur dalam Peraturan Konsil Kedokteran No 97/2021.
Memang selalu ada mekanisme proteksi pengaturan terhadap tenaga asing, termasuk dokter, di setiap negara di dunia ini dengan tujuan menjamin keselamatan dan kepentingan masyarakat.
Ada apa sebenarnya di balik penyusunan RUU Kesehatan yang bersifat sapu jagat ini?
Pembukaan FK atau prodi spesialis di PT sepenuhnya adalah otoritas dari PT atau universitas. Organisasi profesi, dalam hal ini kolegium, hanya memberikan berbagai pertimbangan dan masukan dalam upaya menjaga mutu dan standar lulusan dokter atau dokter spesialis, terutama terkait ketersediaan SDM/tenaga pengajar dan fasilitas untuk pendidikan.
RUU Kesehatan yang beredar saat ini mulai menimbulkan arus penolakan secara masif dari sejumlah organisasi profesi kesehatan, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten, seperti DKI Jakarta, Banten, NTB, Jawa Tengah, Kalimantan Selatan, Jawa Timur, Riau, Sumatera Selatan, Sumatera Utara, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, Gorontalo, Kudus, Sukoharjo, Medan, dan akan disusul beberapa daerah lain.
Penolakan dan reaksi keras itu bukan tak beralasan. Perlindungan terhadap masyarakat jelas harus diutamakan oleh nakes, seperti dokter, perawat, dan bidan, dalam menjalankan profesinya.

Alasan penolakan
Ada beberapa alasan penolakan RUU Kesehatan sapu jagat ini. Pertama, proses penyusunannya tak partisipatif dan tak transparan. Jelas ini menyalahi prosedur pembentukan suatu UU. Tak satu pun organisasi profesi sebagai pemangku kepentingan (stakeholder) dan masyarakat dilibatkan. Setelah ada jumpa pers beberapa organisasi profesi di PB IDI beberapa waktu lalu, barulah beberapa organisasi profesi, seperti IDI, PDGI, PPNI, IBI, dan IAI, diundang Badan Legislasi DPR, awal Oktober 2022, untuk dimintai pendapat.
Artinya, penyusunan RUU ini melanggar ketentuan dalam UU No 12/2011 jo UU No 15/2019 jo UU No 13/2022. Dalam pembentukan UU, seharusnya partisipasi masyarakat, termasuk stakeholder, seperti organisasi profesi, diperkuat. Pendapat dan masukan anggota masyarakat perlu didengarkan dan seyogianya menjadi pertimbangan dalam menyusun suatu RUU. Unsur filosofis, sosiologis, dan yuridis yang seharusnya menjadi pertimbangan dalam pembentukan UU di sini tidak terlihat jelas.
Kedua, pengambilalihan peran profesi. Dalam RUU Kesehatan ini sangat jelas terjadi pemangkasan peran organisasi profesi, khususnya kolegium, dalam menyusun standar pendidikan profesi dan kompetensi dokter yang diambil alih pemerintah. Menghilangkan pengakuan IDI sebagai satu-satunya organisasi profesi dokter dan PDGI untuk dokter gigi adalah kekeliruan nyata.
Padahal, di dunia internasional, IDI adalah satu-satunya organisasi dokter di Indonesia yang telah diakui dalam organisasi dokter sedunia (World Medical Association/MWA). Mengapa negara sendiri tidak mengakui?
Perlindungan terhadap masyarakat jelas harus diutamakan oleh nakes, seperti dokter, perawat, dan bidan, dalam menjalankan profesinya.
Ketiga, sentralisasi pengaturan. Pengaturan pengakuan kompetensi tenaga kesehatan, termasuk penerbitan surat tanda registrasi (STR) yang merupakan kewenangan Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) sebagai regulator praktik profesi kedokteran, diambil alih oleh Kementerian Kesehatan. Yang mengkhawatirkan, STR yang cukup penting karena merupakan lisensi yang menjamin seorang dokter kompeten untuk berpraktik diterbitkan hanya sekali seumur hidup, tanpa batas waktu.
Sementara dalam UU Praktik Kedokteran, STR harus diperbarui setiap lima tahun setelah ada bukti bahwa dokter itu terus mengikuti pendidikan kedokteran berkelanjutan (P2KB) sebagai pemutakhiran pengetahuan dan keterampilannya. Pemantauan serta penjagaan kompetensi dokter dalam periode tertentu diperlukan untuk keselamatan pasien.
Sebagai perbandingan, di AS, STR (license) harus diperbarui (resertifikasi) setiap dua tahun. Di Malaysia dan Singapura, STR berlaku hanya satu tahun dan di Filipina tiga tahun.
Sulit mencari negara di dunia ini dengan lisensi untuk praktik dokter berlaku seumur hidup. KKI sebagai lembaga negara yang independen selama ini bertanggung jawab langsung pada kepala negara/presiden seperti tercantum dalam UU Praktik Kedokteran No 29/2004, Pasal 4 Ayat 2. Sementara dalam RUU Kesehatan ini, KKI bertanggung jawab dan di bawah Menkes. Tentu saja KKI tak akan independen dalam menjalankan tugas sebagai regulator praktik profesi kedokteran.
Di sini sangat jelas bahwa konsil kedokteran harus independen dalam pengawasan dan pembinaan praktik kedokteran. Ini bisa terwujud karena dari anggota KKI yang berjumlah 17 orang, selain dari perwakilan profesi, kolegium, dan pemerintah (Kemendikbudristek dan Kemenkes), ada tiga wakil masyarakat.

Ilustrasi
Bagaimana sebaiknya?
Sebenarnya berbagai UU profesi dan kesehatan yang telah berjalan dan eksis selama ini sudah baik, nyaris tidak ada permasalahan. Ini berarti bahwa membuat UU Kesehatan dalam bentuk sapu jagat tidak ada urgensinya sama sekali saat ini.
Seandainya dalam UU yang ada terdapat hal-hal yang belum berjalan optimal, tinggal diperbaiki aturan pelaksanaannya dan meningkatkan koordinasi antara institusi/lembaga dan organisasi profesi. Yang sangat urgen saat ini adalah keberadaan UU Sistem Kesehatan Nasional (SKN) yang baik dan komprehensif, termasuk sistem pembiayaan kesehatan melalui Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dan pengaturan rujukan dan peningkatan kualitas fasilitas kesehatan.
IDI dan organisasi profesi lainnya pasti akan siap membantu negara menyusun SKN yang komprehensif.
Nah, akhirnya sangat bijaksana apabila DPR dan pemerintah saat ini membatalkan atau setidaknya menunda RUU Kesehatan sapu jagat ini masuk dalam prioritas legislasi 2023. Ini penting untuk menunjukkan bahwa kita berpihak pada perlindungan, keselamatan, dan kepentingan masyarakat di negeri ini.
Sukman Tulus Putra, Ketua Perhimpunan Kardiologi Anak Indonesia; Anggota Dewan Pertimbangan PB IDI; Council Member ASEAN Pediatric Federation (APF)

Sukman Tulus Putra