Pengadilan perkara pembunuhan yang terjadi di kalangan kepolisian hari-hari ini mencuatkan makna kata ”psikohierarkis”. Istilah ini menyiratkan makna relasi-kuasa-timpang dalam hubungan atasan-bawahan.
Oleh
Kasijanto Sastrodinomo
·3 menit baca
Mengapa pengungkapan perkara rajapati yang melibatkan suatu ”struktur komando” terasa alot? Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD punya alternatif jawaban seperti dikutip media: ada ”psikohierarkis” yang berpusar di relung masalah itu.
Tak dijelaskan lebih lanjut apa arti kata itu; juga tak tersua dalam kamus-kamus umum bahasa Indonesia ataupun Inggris. Bandingkan dengan kata sejenis yang sudah dikenal luas, seperti psikoanalisis, psikologi, dan psikolinguistik.
Tanda hubung (-) pada psiko- judul kolom ini menandakan bahwa kata itu merupakan prefiks penggabung dengan kata lain yang dibayangkan bertautan dengan aspek atau proses kejiwaan. Jadi, bisa diraba, psikohierarkis itu melukiskan suasana psyche (pikiran, ingatan) yang berimpitan dengan jenjang panjang suatu kekuasaan.
Istilah psikohierarkis, jadinya, juga menyiratkan makna relasi-kuasa-timpang, begitu kerap dibincangkan akhir-akhir ini.
Pada level puncak kekuasaan itu, psikohierarkis mewujud sebagai rasa berkuasa yang dominan pemangkunya. Sebaliknya, pada aras terbawah berupa ketiadadayaan, seperti ketakutan, sungkan, atau malah ”kebisuan”.
Pengadilan perkara pembunuhan yang terjadi di kalangan kepolisian hari-hari ini mencuatkan makna kata psikohierarkis itu. Salah seorang terdakwa pelaku rajapati itu, Eliezer, menyurat pada secarik kertas dan membacanya di ruang sidang bahwa dirinya ”hanyalah seorang anggota yang tidak memiliki kemampuan untuk menolak perintah dari seorang jenderal” (lihat Kompas, 19/10/2022).
Ia cuma seorang tamtama, ”kasta” terendah kepolisian yang berjarak sekira 20 anak tangga kepangkatan menuju puncak singgasana perwira. Baginya, alangkah jauh ngelangut kesenjangan itu.
Istilah psikohierarkis, jadinya, juga menyiratkan makna relasi-kuasa-timpang, begitu kerap dibincangkan akhir-akhir ini. Pemegang kuasa tertinggi punya mandat kewenangan ”tak terbantahkan”, sementara bawahannya tak boleh, bahkan tak berhak, membantah apabila diperintah.
Dalam relasi yang njomplang berat semacam itu, tulis sosiolog Howard Becker, si ”underdogs”—begitu ia menamsilkan kaum bawahan—”may be completely discredited and pathologized, and often do not have a voice at all” (dalam Gordon Marshall, ed, Oxford Concise Dictionary of Sociology, 1996).
Alam pikiran hierarkis (meski tak selalu disebut begitu) dipandang kuat berakar dalam budaya ”masyarakat hierarkis” pula seperti pada banyak kerajaan klasik di Asia Tenggara (lihat Centers, Symbols and Hierarchies, editor Lorraine Gesick, 1983).
Dalil itu perlu disambung sebab kehierarkian, nyatanya, berlanjut hingga kini dan mungkin seterusnya. Bedanya terletak pada landasan penjenjangannya: hierarki dalam budaya lama dipandang ”alamiah”, bahkan sebagai ”takdir hidup” layaknya konsep ”dewa-raja” (Von Heine-Geldern). Sementara itu, asas kehierarkian dalam masyarakat modern ialah ”legal-rasional”—meminjam Weber tentang hukum organisasi.
Jika tertulis tanpa tanda hubung, psiko, atau psycho (Inggris) adalah nomina, bisa juga adjektiva; ragam informal yang berarti ”someone who is crazy and frightening”. Kalimat contohnya, He suddenly went psycho and started shooting in all directions (Cambridge Advanced Learner’s Dictionary, 2013).
Pada 1960, Alfred Hitchcock, sineas beken Amerika kala itu, menyutradarai Psycho—film ”teror psikologis” yang mampu membuat penontonnya terkaget-kaget. Ini memang bukan soal psikohierarkis, melainkan tentang problem ”anomi” kejiwaan manusia modern pelakunya.