Membeli pesawat tempur bekas, Mirage-2000 dari Qatar, berisiko tinggi. Tanpa pemeriksaan menyeluruh dari Perancis, negara produsen, ini berisiko bagi keamanan personel TNI AU dan masyarakat.
Oleh
FAHMI ALFANSI P PANE
·4 menit baca
Setelah sekian bulan beredar informasi rencana pembelian jet tempur bekas Mirage-2000 dari Qatar, akhirnya pihak Kementerian Pertahanan mengakuinya melalui pernyataan Staf Khusus Menteri Pertahanan Dahnil Simanjuntak (kompas.com, 17/11/2022). Menurut Dahnil, ”belum ada keputusan” meski versi lain menyatakan Menteri Keuangan telah menyetujui alokasi pembelian jet tempur tersebut sebesar 734 juta dollar AS dalam Penetapan Sumber Pembiayaan (PSP) tahun 2022.
Pengadaan alat utama sistem persenjataan (alutsista) adalah kegiatan kompleks dan berjangka panjang, mulai dari fase konsep/perencanaan, desain dan produksi, pengiriman, operasionalisasi, dan pemeliharaannya selama usia pakai hingga akhirnya dinyatakan afkir. Pembelian alutsista tidak seperti pembelian barang sipil dan komersial, yang bersifat terbuka, tersedia di pasar sehingga lebih mudah diketahui kualitas dan harga sesungguhnya, serta banyak penyedianya. Sebagian besar alutsista didesain dan dibuat sesuai pesanan pembeli.
Pengadaan alutsista juga sangat tergantung dari keputusan politik, baik negara produsen maupun pembeli. Sering kali negara produsen mempertimbangkan keseimbangan kekuatan di kawasan, dalam arti tidak ingin senjata yang dijual mengancam negara sekutu/sahabatnya. Pada negara demokratis, keputusan politik tidak hanya diambil oleh pemerintah, tetapi juga parlemen. Ini memungkinkan terjadi perubahan kebijakan saat terjadi pergantian pemerintahan dan partai berkuasa di parlemen.
Dalam hal alutsista bekas yang dibeli, ada manfaat yang mungkin diraih. Waktu pengiriman alutsista mungkin lebih cepat. Biayanya pun biasanya lebih murah daripada membeli alutsista baru. Namun, risiko muncul apabila alutsista bekas yang dibeli bukan yang dimiliki negara produsen. Alutsista bekas tersebut harus diperiksa dan dipastikan aman dan andal. Namun, hanya negara/perusahaan produsen yang dapat memastikan keamanan dan keandalan alutsista tersebut sekaligus memperbaiki dan meningkatkan kapasitas teknologinya.
Negara pemilik belum tentu dapat memperbaikinya. Kalaupun pernah ada transfer teknologi, izin negara produsen tetap dibutuhkan. Selain itu, perlu ketersediaan suku cadang, mesin cadangan, senjata dan perangkat elektronik dari negara produsen sekaligus mengintegrasikan semua sistem dalam alutsista tersebut. Dengan semua risiko ini, alutsista bekas belum tentu diperoleh lebih cepat dan murah.
Namun, risiko muncul apabila alutsista bekas yang dibeli bukan yang dimiliki negara produsen. Alutsista bekas tersebut harus diperiksa dan dipastikan aman dan andal.
Semua alutsista bekas, baik yang dimiliki negara produsen maupun tidak, berisiko tertinggal dari segi teknologi, terutama perangkat elektronik untuk kegiatan intelijen, penjejakan dan pengintaian (ISR), persenjataan, serta pengacak sinyal radar dan perangkat pengacau penjejakan roket/rudal musuh. Saat ini jet tempur generasi lima makin banyak dan mempersulit jet tempur generasi empat plus melawannya, terutama untuk pertempuran udara yang melampaui jarak pandang (beyond visual range).
Adapun Mirage-2000 didesain dekade 1970-an dan mulai dipakai AU Perancis tahun 1984. Dua negara Timur Tengah yang memiliki Mirage-2000, yakni Uni Emirat Arab memesannya pada dekade 1980-an dan 1990-an, sedangkan Qatar memesannya pada dekade 1990-an. Pesanan datang beberapa tahun kemudian. Ini menunjukkan pesawat tersebut termasuk generasi empat, yang butuh perbaikan dan peningkatan kapasitas dari negara produsen.
Situasinya mirip saat pemerintah dan DPR memutuskan membeli 24 pesawat F-16 bekas dari Amerika Serikat pada 2012. Karena dibeli langsung dari produsen, pesawat-pesawat tersebut dapat segera diperbaiki dan ditingkatkan kapasitasnya dengan biaya terjangkau. Meski demikian, salah satunya terbakar saat lepas landas dan rusak total. Risiko lebih besar akan dihadapi saat alutsista bekas dibeli bukan dari produsennya.
Masalah lain adalah seiring berjalannya waktu biaya pemeliharaan, perbaikan, dan operasi alutsista akan meningkat. Riset Davies et al tahun 2012 berjudul ”Intergenerational Equipment Cost Escalation” menunjukkan biaya tahunan pesawat tempur tumbuh 5,8 persen. Adapun biaya tahunan fregat tumbuh 4,3 persen, sedangkan biaya tank tempur utama tumbuh 5,9 persen.
Problem lain terkait Mirage-2000 adalah sejak Indonesia merdeka hingga kini, TNI AU apalagi angkatan lain belum pernah mengakuisisi pesawat tempur buatan Perancis. Setidaknya, itu terkonfirmasi dari pengecekan basis data transfer senjata SIPRI (Stockholm International Peace Research Institute) dari tahun 1950-2021. Indonesia baru akan memiliki jet tempur Perancis saat Rafale tiba beberapa tahun setelah 2024. Saat itulah pilot dan teknisi Indonesia akan lebih memahami buatan negara tersebut.
Apabila Mirage-2000 datang lebih dahulu daripada Rafale, sebagian pihak berdalih ini menjadi jembatan pengetahuan menuju penguasaan alutsista buatan Perancis yang lebih canggih. Namun, tanpa pemeriksaan menyeluruh dari Perancis, perbaikan dan peningkatan kapasitas teknologinya, ini berisiko bagi keamanan personil TNI AU dan masyarakat. Sebaliknya, jika diperbaiki harus ada tambahan dana, yang jumlahnya berisiko membengkak karena bukan milik produsen.
Pengadaan alutsista bekas, apalagi bukan dari negara produsen, juga membuat nyaris mustahil memenuhi kewajiban jika mengimpor alutsista, seperti diatur UU No 16/2012 tentang Industri Pertahanan. Pasal 43 Ayat (5) menegaskan, pengadaan alat peralatan hankam dari luar negeri harus memenuhi syarat antara lain, adanya partisipasi industri pertahanan dalam negeri, kewajiban alih teknologi, ketiadaan potensi embargo, adanya imbal dagang, kandungan lokal dan ofset (kompensasi).
Namun, tidak mungkin berharap transfer teknologi dari sesama negara pemakai. Mustahil pula BUMN seperti PT DI atau Pindad dilibatkan dalam pengembangan senjata dan perangkat elektronik pesawat bekas tersebut. Situasi berbeda saat Indonesia membeli pesawat baru Rafale, yang mendatangkan manfaat pelibatan BUMN dalam produksi amunisi, perawatan pesawat, riset teknologi kapal selam, dan lain-lain.
Fahmi Alfansi P Pane, Tenaga Ahli DPR; Alumnus Magister Sains Pertahanan Universitas Pertahanan