Kasus kekerasan seksual terhadap anak terus terjadi. Ini menunjukkan upaya yang dilakukan belum cukup melindungi anak-anak. Benteng pelindungan anak harus dipertebal, dan untuk ini perlu tindakan nyata negara.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Sejumlah peraturan telah dibuat, kampanye perlindungan anak pun terus digalakkan, tetapi semua itu belum cukup melindungi anak-anak dari kekerasan seksual.
Kasus pencabulan terhadap 15 anak di Kabupaten Serang, Banten, yang terungkap baru-baru ini (Kompas, 22/11/2022) menambah panjang daftar kasus kekerasan seksual terhadap anak di Tanah Air. Fakta ini juga menunjukkan bahwa anak-anak sangat rentan terhadap kekerasan seksual yang dilakukan orang-orang dewasa di sekitar mereka.
Berdasarkan data Bareskrim Polri, kasus kekerasan seksual mendominasi kasus 2.267 anak yang menjadi korban kejahatan pada Januari-Mei 2022. Data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni) 2021 pun menunjukkan dari 11.952 kasus kekerasan terhadap anak, sebanyak 7.004 (58,6 persen) merupakan kasus kekerasan seksual. Para pelakunya sebagian besar adalah orang-orang dewasa di sekitar anak yang seharusnya menjadi pelindung anak, termasuk orangtua dan kerabat.
Dari aspek regulasi, tak kurang undang-undang ataupun peraturan dibuat untuk melindungi anak, mulai dari UU Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, Ratifikasi Konvensi PBB tentang Hak Anak, hingga UU No 23/1990 tentang Perlindungan Anak. Para pihak terkait pun dilibatkan untuk melindungi anak seperti dalam program Kabupaten/Kota Layak Anak.
Namun, semua itu belum cukup melindungi anak-anak dari kekerasan seksual. Kasus pencabulan 15 anak tersebut justru terjadi di kabupaten yang telah tiga kali mendapatkan penghargaan sebagai Kabupaten Layak Anak.
Kasus pencabulan 15 anak tersebut justru terjadi di kabupaten yang telah tiga kali mendapatkan penghargaan sebagai Kabupaten Layak Anak.
Benteng pelindungan anak harus dipertebal, dan untuk ini perlu tindakan nyata negara, mulai dari hulu hingga hilir, mulai dari keluarga di mana anak-anak berada hingga penegakan hukum. Memperkuat ketahanan keluarga menjadi awal upaya pelindungan anak karena keluarga merupakan sumber utama pendidikan anak, termasuk pendidikan seksualitas.
Bermula dari keluarga, anak-anak mendapat pendidikan, seperti bagaimana menghargai dan menghormati tubuhnya, mengenai perilaku yang merendahkan dan mengancam dirinya, dan melindungi dirinya. Berlanjut di pendidikan formal, sebagaimana diserukan UNESCO, perlu ada pendidikan seksualitas yang komprehensif di sekolah.
Dalam aspek penegakan hukum, negara harus bertindak melalui penegakan hukum yang berpihak kepada korban. Hukuman mati terhadap pelaku kekerasan seksual terhadap belasan anak di Bandung yang terungkap pada akhir 2021, meski dinilai merupakan hukuman maksimal, dinilai belum memberikan efek jera, juga belum berpihak kepada para korban.
Korban tetap menjadi pihak yang menderita, hilang kesempatan untuk berkembang, bahkan menjadi korban lagi (reviktimisasi) karena stigma negatif yang dilekatkan kepada korban kekerasan seksual. Hak restitusi korban juga belum sepenuhnya terpenuhi. Semua pekerjaan rumah ini harus diselesaikan demi melindungi masa depan bangsa.