Sanksi administrasi dalam kasus gangguan ginjal akut akan lebih memberikan efek jera pada pelaku, dan rasa keadilan bagi keluarga korban. Sayangnya, sanksi administratif belum terakomodasi dengan baik dalam UU kesehatan.
Oleh
HENDRY JULIAN NOOR
·5 menit baca
Indonesia banyak kehilangan putra-putri penerus bangsa beberapa waktu belakangan ini. Setidaknya 33 anak meninggal dalam kasus Kanjuruhan dan 159 anak meninggal akibat gagal ginjal akut. Kasus terakhir disebabkan oleh kandungan etilen glikol (EG), dietilen glikol (DEG), ethylene glycol butyl ether (EGBE) yang melebihi batas aman dalam produk obat perusahaan farmasi.
Sebelumnya, Karina (Kompas, 3/11/22) memberikan masukan dengan dominan melihat kepentingan keluarga korban yang dapat menempuh gugatan ganti rugi kepada perusahaan farmasi mengingat merekalah pihak yang paling dirugikan. Argumentasi ini konstruktif dalam aspek keperdataan, khususnya bagi keluarga korban.
Tulisan ini bermaksud melengkapi dari perspektif hukum administrasi sebagai hukum publik, yang dapat digunakan pemerintah sebagai dasar penegakan hukum. Sejauh ini, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) memilih menggunakan hukum pidana untuk menghukum perusahaan-perusahaan farmasi yang melakukan kesalahan tersebut. Namun, baik hukum pidana maupun hukum perdata, mekanisme formil penerapan pertanggungjawaban berupa ”sanksinya” harus berdasarkan putusan pengadilan sehingga akan seperti ”bertaruh”, setidaknya pada waktu yang harus ditempuh dan putusan yang diambil oleh hakim.
Hukum administrasi memiliki asas efektif dan efisien, termasuk penerapan sanksinya. Sanksi hukum administrasi adalah alat kekuasaan dalam pranata hukum publik yang digunakan sebagai reaksi ketidakpatuhan terhadap normanya (van Wijk/Konijnenbelt, 1993), dan dilaksanakan tanpa perantara (kekuasaan peradilan), tetapi langsung dilaksanakan oleh pejabat administrasi negara (Oosternbrink, 1967).
Tujuan sanksi administrasi setidaknya adalah mencegah terjadinya pelanggaran, memaksa pelaku memperbaiki akibat perbuatannya, efek jera bagi pelaku, menimbulkan beban ekonomi bagi pelaku dengan membayar biaya pemulihan dan/atau ganti rugi, menimbulkan efek takut bagi pihak lain untuk melakukan pelanggaran, melindungi hak masyarakat dan meningkatkan ketaatan hukum masyarakat, meminimalkan kerugian dan korban, serta mengamankan dan menegakkan kebijakan, rencana, dan program pemerintah (Yusuf, 2016).
Dalam konteks UU Kesehatan semata, sanksi administrasi ”yang tersedia ” hanya penarikan kembali keputusan yang menguntungkan (penarikan perizinan berusaha-Pasal 106 ayat (3)) dan sanksi lain yang dicantumkan dalam ketentuan pidananya.
Masalahnya, dalam konteks Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (UU Kesehatan) semata, sanksi administrasi ”yang tersedia” hanya penarikan kembali keputusan yang menguntungkan (penarikan perizinan berusaha-Pasal 106 ayat (3)) dan sanksi lain yang dicantumkan dalam ketentuan pidananya, termasuk denda yang juga merupakan salah satu jenis sanksi administrasi. Namun, jika sanksi tersebut dicantumkan dalam ketentuan pidana, penerapannya tunduk kepada mekanisme penegakan hukum pidana. Salah satu sifat khas hukum administrasi adalah bahwa sanksi pidana pun dapat dikatakan sebagai salah satu pranatanya, sebagaimana Administrative Penal Law.
Dalam pandangan penulis, seharusnya UU Kesehatan memiliki pranata sanksi administrasi, spesifik sanksi yang bersifat sebagai beban ekonomi bagi pelaku sebagai konsekuensi biaya pemulihan dan/atau ganti rugi. Pengaturan tersebut penting dilakukan di luar ketentuan pidana agar pemerintah sebagai pemilik kewenangan dapat langsung menerapkan sanksi tersebut tanpa harus menunggu penegakan hukum pidana. Sanksi yang dapat diatur adalah bestuursdwang (paksaan pemerintahan), denda administratif, dan pengenaan uang paksa oleh pemerintah (dwangsom).
Pandangan ini tidak bermaksud menafikan efek sanksi penarikan perizinan berusaha, yang justru menakutkan bagi korporasi. Penulis sepakat pendapat Karina, bahwa penerapan sanksi juga harus turut mempertimbangkan keluarga korban.
”Penerimaan negara”
Mengapa lebih mengutamakan sanksi dengan beban ekonomi yang harus dibayarkan kepada pemerintah? Penulis membayangkan bahwa ”penerimaan negara” melalui sanksi tersebut dapat digunakan pemerintah untuk memberikan santunan terhadap keluarga korban sebagai bentuk nyata lainnya kepedulian pemerintah sekaligus sebagai bentuk tanggung jawab pemerintah. Sebagaimana disebutkan di atas, jika gugatan perdata tersebut menjadi jalur yang dapat ditempuh keluarga korban, penerapan sanksi administrasi ini dapat menjadi langkah bagi pemerintah dalam perwujudan tanggung jawabnya.
Adapun dasar dan/atau besaran santunan tersebut tentu bergantung kepada kebijaksanaan pemerintah, atau membutuhkan diskresi, yang secara sederhana berarti tindakan pemerintah untuk kepentingan rakyat dengan mengutamakan kemanfaatan hukum daripada semata taat peraturan perundang-undangan.
”Penerimaan negara ” melalui sanksi tersebut dapat digunakan pemerintah untuk memberikan santunan terhadap keluarga korban sebagai bentuk nyata lainnya kepedulian pemerintah sekaligus sebagai bentuk tanggung jawab pemerintah.
Tanggung jawab pemerintah tersebut penting, dengan mengingat UU Kesehatan mengamanahkan demikian. Dalam konteks sediaan farmasi, tanggung jawab pemerintah tersebut setidaknya dapat terbaca dalam beberapa pasal di UU Kesehatan. Pasal 1 angka 2 tentang sediaan farmasi (termasuk obat dan bahan obat) sebagai bagian sumber daya di bidang kesehatan bersama dengan pemerintah daerah, dan/atau masyarakat. Pasal 1 angka 11 tentang pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit, dan pemulihan kesehatan.
Pasal 16 tentang ketersediaan sumber daya di bidang kesehatan yang adil dan merata bagi seluruh masyarakat. Pasal 19 tentang ketersediaan segala bentuk upaya kesehatan yang bermutu, aman, efisien, dan terjangkau. Pasal 48 huruf n tentang pengamanan dan penggunaan sediaan farmasi dan alat kesehatan. Pasal 49 tentang penyelenggaraan upaya kesehatan. Pasal 50 tentang meningkatkan dan mengembangkan upaya kesehatan.
Tanggung jawab tersebut dapat terlihat pula dalam kewajiban-kewajiban yang dicantumkan dalam setidaknya Pasal 98 Ayat (4) (membina, mengatur, mengendalikan, dan mengawasi pengadaan, penyimpanan, promosi, dan pengedaran sediaan farmasi) dan Pasal 104 (tujuan pengamanan sediaan farmasi dan alat kesehatan tersebut untuk melindungi masyarakat dari bahaya yang disebabkan olehnya).
Dari ketentuan-ketentuan tersebut, terlihat jelas terdapat kewajiban dan tanggung jawab yang secara jelas diamanahkan terhadap pemerintah, tetapi tidak terdapat pranata sanksi administrasi yang menurut penulis penting untuk dapat digunakan apabila mempertimbangkan kepentingan keluarga korban sebagai pihak yang paling terdampak peristiwa kesalahan dalam penyelenggaraan upaya kesehatan. Di sisi lain, sekaligus untuk memperkuat posisi BPOM sebagai lembaga pemerintah non-kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan, di mana salah satu kewenangannya adalah memberikan sanksi administratif sesuai dengan peraturan perundang-undangan (PP No 80/2017). Tiada lain kemudian, perubahan UU Kesehatan urgent untuk dilakukan.
Hendry Julian Noor, Dosen Departemen Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum dan Kepala Bagian Organisasi Kantor Hukum dan Koordinasi UGM.