Dosa Industri Farmasi dan BPOM kepada Dokter
Pertanyaan penting terkaitkasus obat sirop yang mengandung EG ini, apakah BPOM benar-benar melakukan pengawasan kepada industri farmasi, pedagang besar farmasi, apotek dan toko obat yang mengedarkan sirop mengandung EG ?

Ilustrasi
Sebagai seorang dokter, hati nurani penulis menjerit melihat banyaknya anak yang menjadi korban gagal ginjal akut, sementara pemerintah terkesan permisif.
Pemerintah belum melakukan langkah konkret untuk menyelesaikan masalah secara tuntas. Bandingkan dengan tragedi di Stadion Kanju- ruhan, pemerintah langsung merespons dengan membentuk tim pencari fakta.
Kementerian Kesehatan melalui juru bicaranya, dr Mohammad Syahril, menyatakan kasus gagal ginjal akut pada anak mulai mengalami lonjakan pada Agustus lalu. Kemenkes mencatat jumlah temuan kasus gangguan ginjal akut progresif atipikal (GGAPA) di Indonesia mencapai 269 orang per 26 Oktober.
Ratusan kasus itu tersebar di 27 provinsi. Sebanyak 157 pasien atau sekitar 58 persen di antaranya meninggal dunia dan 39 pasien telah sembuh.
Kasus gagal ginjal akut pada anak diperkirakan terkait dengan cemaran etilen glikol (ethylene glycol) pada obat tertentu, yang saat ini sudah teridentifikasi. Etilen glikol adalah anggota dari keluarga glikol (alkohol) yang berasal dari senyawa etilen. Zat kimia dengan rumus C2H6O2 ini berupa cairan bening, manis, kental ketika dididihkan pada suhu 198 derajat celsius.
Sifatnya tak berbau dan bisa larut dalam air sehingga sering digunakan dalam produk komersial dan industri. Etilen glikol dapat berbahaya bila digunakan secara tidak tepat. Di beberapa negara, zat ini dikenal sebagai penyebab keracunan sampai berujung gagal ginjal akut pada anak.
Di beberapa negara, zat ini dikenal sebagai penyebab keracunan sampai berujung gagal ginjal akut pada anak.
Respons pemerintah
Mohammad Syahril mengatakan, momen ini jadi sarana kita untuk melakukan edukasi ke masyarakat. Bagi yang memiliki anak hingga usia balita, agar tak memberikan obat tanpa resep atau tanpa konsultasi ke tenaga kesehatan.
Pihaknya juga melakukan langkah konservatif dengan menerbitkan edaran, yang meminta apotek untuk sementara tak menjual obat bebas dan/atau bebas terbatas dalam bentuk cair/sirop kepada masyarakat. Selain itu, meminta tenaga kesehatan pada fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes) untuk sementara tak meresepkan obat-obatan dalam bentuk sediaan cair/sirop, sampai hasil penelusuran dan penelitian tuntas.
Kemenkes berjanji akan segera mengeluarkan daftar obat-obatan dalam bentuk cairan/sirop yang tak mengandung bahan kimia berbahaya sesuai pengujian Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Namun, Kemenkes tetap memperbolehkan penggunaan obat dalam bentuk sirop untuk sejumlah penyakit kritis sesuai resep dokter.
Kemenkes sudah berbicara dengan Ikatan Dokter Anak Indonesia dan Ikatan Apoteker Indonesia mengenai beberapa obat sirop yang memang sangat dibutuhkan untuk menyembuhkan penyakit-penyakit kritis. Obat-obat sirop yang gunanya untuk menangani penyakit kritis ini tetap diperbolehkan, tetapi harus dengan resep dokter.

Terkait dengan pengobatan, Kemenkes terus berupaya untuk mendatangkan obat Fomepizole untuk pasien gangguan ginjal akut. Disebutkan bahwa Fomepizole terbukti berdampak positif pada pasien gangguan ginjal akut. Kemenkes sudah menerima 20 vial obat itu dari Singapura dan sedang menunggu 16 vial lainnya yang akan masuk dari Australia. Kemenkes juga sedang mengupayakan untuk membeli dari AS dan Jepang.
Sementara Kepala BPOM Penny Lukito, dalam rilis, mengatakan, pihaknya telah melakukan penelusuran terhadap produsen obat yang mengakibatkan gagal ginjal akut pada anak. Dari hasil penelusuran itu, ditemukan bahwa produsen melakukan perubahan komposisi obat tanpa izin, dengan mengganti pemasok bahan baku produk obat-obat mereka tanpa sepengetahuan BPOM.
Sejak pandemi Covid-19, produsen mengubah pemasok mereka menjadi pemasok bahan kimia, sehingga bahan baku produk banyak yang bukan berstandar sertifikasi farmasi. Akibatnya, di dalam obat ditemukan kadar Etilen Glikol (EG), Dietilen Glikol (DEG) dan Etilen Glikol Butil Eter (EGBE) yang melebihi ambang batas aman. Di sini, BPOM terkesan hanya menyalahkan produsen.
Ke depan, BPOM akan memperbaiki dan memperkuat pengawasan, baik di pre-market maupun post-market. BPOM berjanji akan berhati-hati dalam menguji dan mengambil sampel obat-obatan yang mengandung pelarut. BPOM tidak akan asal terima laporan, melainkan juga bakal melakukan verifikasi atas dokumen-dokumen yang dilaporkan perusahaan, dan memeriksa rekam jejak kepatuhan perusahaan tersebut.
Baca juga : Etilen Glikol dan Gagal Ginjal Akut
Baca juga : Etilen Glikol di Dokumen WHO
Saat ini BPOM telah mengeluarkan daftar obat sirop yang mengandung dan yang tidak mengandung EG, DEG, dan EGBE. BPOM akan bekerja sama dengan Kepolisian RI untuk menindaklanjuti dua industri farmasi yang diduga memproduksi obat-obatan yang mengandung EG dan DEG yang sangat tinggi.
Seiring langkah BPOM, Menteri Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy pun merespons tragedi ini dengan meminta Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo untuk melakukan pengusutan. Permintaan ini disampaikan setelah mengadakan rapat koordinasi dengan kementerian dan lembaga terkait yakni Kemenkes, Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, dan BPOM, secara virtual.
Menurut Menko PMK, pengusutan ini penting guna memastikan ada tidaknya tindak pidana pada kasus ini. Permintaan disampaikan mengingat kejadian gangguan ginjal akut ini sudah mengancam upaya pembangunan SDM, khususnya perlindungan pada anak.
Pernyataan Menko PMK di atas, sontak membuat petugas apotek dan dokter panik. Bagaimana tidak, mereka sudah sering dijadikan sasaran razia obat, padahal mereka bukan produsen obat dan bukan pula pihak yang berwewenang mengeluarkan izin edar dan pengawasan. Pernyataan ketiga lembaga pemerintah di atas, belum menunjukkan keseriusan untuk membuktikan apa penyebab pasti tragedi gagal ginjal akut pada anak Indonesia tersebut.
Respons pemerintah sangat berbeda pada tragedi Stadion Kanjuruhan di Malang. Pada tragedi gagal ginjal akut ini tidak terlihat pemerintah sibuk membentuk tim pencari fakta. Pemerintah terkesan melakukan pembiaran. Padahal jelas-jelas ratusan yang meninggal itu adalah anak yang kelak diharapkan menjadi generasi penerus.

Semakin banyaknya pasien kasus gagal ginjal akut mendorong Menteri Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy meminta Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo ikut mengusut kasus gagal ginjal akut tersebut.
Respons industri farmasi
Industri farmasi apalagi. Memilih diam seribu bahasa. Akibatnya, seperti selama ini, bila ada kasus tentang obat, tudingan pertama masyarakat selalu dialamatkan kepada dokter dan apotek.
Dokter dianggap salah meresepkan obat atau apotek salah menyerahkan obat, dan seterusnya. Jarang sekali sampai kepada industri farmasi. Padahal dokter dan apoteker (apotek) bukanlah hulu dari peresepan obat. Hulu dari peresepan obat adalah industri farmasi. Apoteker (apotek) hanya berada di tengah, sedang dokter di hilir. Keamanan, khasiat, dan mutu obat tanggung jawab industri farmasi. Sementara pengawasan obat, tanggung jawab BPOM.
Pertanyaan penting yang perlu diajukan dalam kasus obat sirop yang mengandung EG ini, apakah BPOM benar-benar melakukan pengawasan kepada industri farmasi, pedagang besar farmasi, apotek dan toko obat yang mengedarkan sirop yang mengandung EG ini? Apakah BPOM melakukan cross check dan verifikasi setiap laporan yang masuk ke lembaganya?
Apakah BPOM melakukan cross check dan verifikasi setiap laporan yang masuk ke lembaganya?
Jika itu semua tak dilakukan secara adekuat, maka upaya BPOM memidanakan industri farmasi dan produsen obat sirop yang mengandung EG, hanyalah upaya mencari kambing hitam.
Bagi dokter, semestinya obat yang diresepkannya sudah absolut aman. Dokter tidak seharusnya direpotkan dengan urusan keamanan, khasiat, dan mutu obat, sebab dokter tidak memiliki instrumen untuk memeriksanya.
Dokter tahunya bila obat sudah beredar berarti sudah terjamin, sebab pasti telah mendapatkan izin dan diawasi oleh BPOM. Dalam tragedi Etilen Glikol (EG) ini, sebetulnya industri farmasi dan BPOM telah berdosa besar kepada dokter. Wallahu a'lam bishawab.
Zaenal Abidin Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia, Periode 2012-2015

Zaenal Abidin