Ketika sepak bola kian tumbuh menjadi industri, berbagai kekuatan dan kepentingan mulai memasuki bahkan memperebutkan ranah ini.
Oleh
Idi Subandy Ibrahim
·4 menit baca
SALOMO TOBING
Idi Subandy Ibrahim
Perhelatan akbar sepak bola sejagat sudah di depan mata. Putaran final Piala Dunia Qatar 2022 akan mulai digelar pada Minggu, 20 November, hingga final perebutan juara pada 18 Desember 2022. Piala Dunia 2022 menampilkan 32 tim, 8 grup, dan 64 pertandingan. Pertandingan pembuka mempertemukan tuan rumah Qatar melawan Ekuador di Stadion Al Bayt.
Berbagai kontroversi menyertai pemilihan dan persiapan Qatar sebagai tuan rumah Piala Dunia 2022, mulai dari isu korupsi, diskriminasi pada kelompok dengan orientasi seksual berbeda, pengabaian hak-hak pekerja imigran, hingga keraguan atas kemampuan Qatar menjadi tuan rumah pesta sepak bola terbesar ini. Berbagai protes dan kontroversi yang kemungkinan akan terus muncul baik di dalam maupun di luar lapangan hijau menunjukkan ajang Piala Dunia akan terus menjadi berita utama karena sejarah sepak bola selalu terkait erat dengan politik dan ekonomi.
Ketika sepak bola kian tumbuh menjadi industri, berbagai kekuatan dan kepentingan mulai memasuki bahkan memperebutkan ranah ini. Industri sepak bola tidak hanya menjanjikan pekerjaan dan ketenaran, tetapi juga keuntungan politis dan ekonomis. Siapa yang tak merasa tertarik?
Bukankah para pemimpin politik fasis seperti Hitler atau Mussolini telah lama menyadari kekuatan emosional dan propaganda dari sepak bola dan Piala Dunia? Piala Dunia adalah salah satu sisi dari jalan mobilisasi nasionalis yang masif, ketika imajinasi kesadaran identitas kebangsaan bisa dieksploitasi untuk mencapai tujuan-tujuan yang tidak sejalan dengan sportivitas yang dibangun dari kompetisi olahraga.
Mencermati perkembangan persepakbolaan di Tanah Air dalam dua dekade terakhir menunjukkan ajang sepak bola kian berdimensi politik dan industri ketimbang budaya.
Pada satu sisi, kita melihat kontroversi setelah Tragedi Kemanusiaan Kanjuruhan yang menewaskan setidaknya 135 nyawa menunjukkan sepak bola begitu berdimensi politis dan melibatkan emosi massa yang dalam. Meskipun Presiden Joko Widodo sudah menunjukkan empati dengan turun langsung ke lokasi tragedi dan memberikan arahan untuk solusi, kesan kuatnya kepentingan ekonomi politik beberapa pihak di balik peristiwa itu menunjukkan kontradiksi miskinnya sikap fair yang justru diajarkan dalam budaya olahraga.
Pada sisi lain, sepak bola juga menjadi olahraga yang kian modis! Beberapa pemain sepak bola naik status sebagai selebritas, sebagian menjadi bintang iklan, seperti pesohor dunia hiburan. Semua itu adalah berkat perkembangan televisi, waktu luang, dan industri sepak bola itu sendiri!
Televisi telah membawa emosi sepak bola ke dalam ruang keluarga dan kini ke dalam genggaman pengguna media sosial. Emosi sepak bola mengisi waktu luang para penggemar, sebagian anak muda laki-laki, kini juga perempuan, yang dipersatukan oleh komunitas penggemar yang muncul di sejumlah daerah. Para penggemar sepak bola yang melimpah ruah tersebut haus akan bintang dan tim pujaan. Mereka adalah kekuatan utama industri sepak bola: menjadi pembeli karcis, kolektor jersei dan atribut klub. Mengingat potensi ini, korporasi besar berlomba memasang iklan yang menjadi basis industri sepak bola. Penggemar sepak bola bisa dikelola menjadi kekuatan komunitas. Selain sebagai kekuatan ekonomi, pada momen tertentu bahkan dapat dimanfaatkan sebagai inti pendukung kekuatan politik.
Ketika sepak bola menjadi industri dan panggung politik, kita bisa mencermati bagaimana perkembangan ”popularisasi” sepak bola selalu bersenyawa atau bersitegang dengan ”elitisasi” atau ”politisasi” sepak bola. Sepak bola sebagai milik rakyat jelata sudah mulai menjadi panggung kaum elite. Ia hampir mirip dengan dangdut.
Ajang Piala Dunia memiliki dimensi politik lebih dalam daripada hampir semua peristiwa olahraga lain. Tetapi berpikir melulu dari kacamata politis dan ekonomis melupakan kenyataan bahwa ajang Piala Dunia juga peristiwa budaya. Sepak bola adalah bagian dari ekspresi budaya populer.
Terinspirasi melihat olahraga sebagai budaya populer, ahli teori sastra Perancis, Roland Barthes, merenungkan pertanyaan secara filosofis: Apa itu olahraga? Bagi Barthes, olahraga seperti sepak bola adalah tontonan yang melayani fungsi sosial utama seperti pernah dilakukan teater di zaman kuno, mengumpulkan orang kota atau bangsa dalam pengalaman bersama.
Bukankah menyaksikan keragaman gaya ekspresi penonton dan permainan tim dari 32 negara dengan latar ras, kulit, dan budaya yang sebagian besar berbeda pada Piala Dunia adalah ”pengalaman bersama” sepak bola sebagai sebuah peristiwa budaya global.
Di satu sisi, sepak bola menggambarkan kekayaan ekspresi permainan setiap tim. Strategi dari sang pelatih menjadi semacam meditasi puitis permainan yang diterjemahkan para pemain dalam ”teater” lapangan hijau. Seperti bagaimana pola serangan dan pertahanan dibangun dalam konteks lawan berbeda bisa menjadi ciri khas budaya permainan tim sepak bola sebuah bangsa.
Di sisi lain, permainan sepak bola juga melambangkan bagaimana membangun kerja sama tim melampaui egoisme individu pemain sehingga sepak bola menjadi cermin bagaimana ”masyarakat bekerja dan bahkan peradaban bekerja”, untuk menggunakan kata-kata mantan pelatih sepak bola tersohor, Vince Lombardi.
Mampukah ajang Piala Dunia Qatar membawa imajinasi kemanusiaan global seperti menyadarkan bahwa sesungguhnya jauh lebih banyak kesamaan yang kita miliki sebagai manusia ketimbang perbedaan yang sering muncul karena kesalahpahaman antarbudaya?
Persoalannya, politik dan ekonomi sering mengalihkan kita dari daya pikat sepak bola sebagai tontonan multikultur yang mungkin bisa menyatukan kemanusiaan kita di tengah perbedaan, permusuhan, bahkan perang yang mengancam dunia abad ke-21.