Peradaban Solidaritas
Di planet ini, dengan tingkat kepadatan dan persaingan hidup yang kian tinggi, peradaban solidaritas lebih sulit dikembangkan ketika pandangan hidup materialisme dan individualisme kian mendominasi cara berpikir.
Dua hari lagi, masyarakat global akan memperingati Hari Internasional untuk Pemberantasan Kemiskinan. Setiap tahun, pada 17 Oktober, orang berkumpul di seluruh dunia untuk menegaskan kembali komitmen bersama untuk mengakhiri kemiskinan.
”Martabat untuk semua dalam praktik” adalah tema Hari Internasional untuk Pemberantasan Kemiskinan 2022-2023. Martabat manusia tidak hanya hak mendasar itu sendiri, tetapi juga merupakan dasar dari semua hak-hak mendasar lainnya. Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia 1948 mengabadikan martabat manusia dalam mukadimahnya: ”Sedangkan pengakuan atas martabat yang melekat dan hak-hak yang sama dan tidak dapat dicerabut dari semua anggota keluarga manusia adalah dasar dari kebebasan, keadilan dan perdamaian di dunia.”
Merujuk ke data Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), saat ini di dunia, di mana sebagian orang hidup berkelimpahan, 811 juta orang tidak memiliki cukup makanan dan 44 juta berisiko mengalami kelaparan (sumber: WFP), 2 miliar orang masih hidup tanpa air minum yang aman dan 3,6 miliar tanpa sanitasi yang dikelola dengan aman (sumber: WHO dan UNICEF), dan 1,3 miliar orang masih hidup dalam kemiskinan multidimensi (sumber: UNDP) dengan hampir setengahnya adalah anak-anak dan remaja.
Sementara di Indonesia, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pada Maret 2022, angka kemiskinan 9,54 persen dari total penduduk atau sebanyak 26,12 juta orang, menurun 0,17 persen dibandingkan dengan September 2021, yakni 9,71 persen atau 26,50 juta orang. Kendati menurun secara tahunan, jumlah orang miskin per Maret 2022 masih lebih banyak dibandingkan sebelum pandemi. Sebelum pandemi (September 2019), angka kemiskinan tercatat 9,22 persen atau 24,68 juta orang.
Baca juga: Universitas Massa Era Disrupsi
Upaya-upaya mengubah kondisi kehidupan kaum miskin agar menjadi lebih baik adalah bagian dari penghargaan atas martabat manusia. Dalam falsafah kebangsaan dan dasar negara kita, dua sila merupakan basis yang kokoh untuk melihat betapa luhurnya kedudukan martabat manusia: Kemanusiaan yang Adil dan Beradab serta Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Sila kedua dan kelima tersebut merupakan kerangka utama untuk membangun peradaban solidaritas manusia Indonesia.
Solidaritas, menurut filosof sosial Jurgen Habermas (1993), adalah metode untuk memajukan keadilan sosial. Keadilan sosial terwujud apabila harkat dan martabat setiap orang dalam suatu masyarakat dihargai dan dijunjung tinggi oleh para anggotanya tanpa memandang latar belakangnya. Menurut Immanuel Kant, martabat merupakan ”nilai yang tidak dapat diganggu gugat”, nilai intrinsik yang dimiliki orang karena menjadi manusia.
Selama berabad-abad agama-agama besar telah mengajarkan kesamaan hakiki antarmanusia sebagai basis peradaban dan etika solidaritas. Nilai-nilai seperti menghormati kehidupan, tanggung jawab menjaga lingkungan alam untuk generasi yang akan datang, kewajiban untuk membantu dan melindungi kaum lemah dan terpinggirkan.
Kenyataan masih banyak orang yang terus hidup dalam kondisi kemiskinan menunjukkan perlunya membangun budaya solidaritas. Solidaritas merupakan komitmen terhadap keadilan sosial yang diwujudkan dalam tindakan dan kebijakan.
Solidaritas terhadap kaum miskin merupakan tindakan atau kebijakan untuk memanusiakan masyarakat yang terpinggirkan dengan berfokus pada perspektif mereka tentang apa yang telah mereka alami dan bagaimana agar kondisinya dapat diperbaiki.
Baca juga: Perang Budaya
Di planet yang terbatas ini, dengan tingkat kepadatan dan persaingan hidup yang kian tinggi, peradaban solidaritas lebih sulit dikembangkan ketika pandangan hidup materialisme dan individualisme kian mendominasi cara berpikir orang. Hal tersebut akan lebih berbahaya lagi kalau menjadi gaya hidup kaum elite. Budaya korupsi dan manipulasi dalam berbagai jenjang sebagian berakar di sini.
Di antara bencana alam dan perubahan iklim yang drastis yang kian memukul kehidupan kaum miskin, upaya membangun peradaban solidaritas dalam berbagai lini perlu dilakukan.
Peradaban solidaritas bukanlah hasil, tetapi merupakan inti dari kerangka kemanusiaan. Ia bukanlah tujuan, melainkan cara dan proses untuk mencapai tujuan dengan prinsip yang bermartabat.
Teater belas kasih
Cara-cara bagaimana sebuah masyarakat dan sebuah pemerintahan memperlakukan kaum miskin dan terpinggirkan menunjukkan tingkat rasa hormat akan martabat manusia dan peradaban solidaritas dalam masyarakat tersebut.
Peradaban solidaritas bukan masalah pilihan, ia soal kepedulian. Kenyataan bahwa tidak setiap orang, baik orang biasa maupun kaum berada, baik masyarakat maupun pembuat keputusan, memiliki kepedulian terhadap keadilan dan kesejahteraan bersama, menunjukkan bahwa rasa solidaritas tidak lahir begitu saja.
Baca juga: Buku dan Budaya Baca
Solidaritas bisa tergerus oleh perbuatan yang menyangkal keadilan. Misalnya, korupsi dana kemiskinan untuk kepentingan pribadi atau penyelewengan dana kemanusiaan untuk kepentingan sebagian pengelolanya atau berbagai bentuk komodifikasi kemiskinan untuk kepentingan ekonomi politik telah menyebabkan kemiskinan dikomodifikasi sebagai teater belas kasih.
Solidaritas kemanusiaan terkoyak dalam dunia pascapandemi oleh perang dan konflik. Sementara kehidupan warga bisa terpolarisasi oleh penajaman perbedaan politik yang tak mengenal kompromi dan belas kasih. Di Indonesia, ancaman atas solidaritas sedang terbentang di depan mata jika fokus dan energi bersama berhasil dialihkan oleh muslihat petualang kuasa atau agitator era media sosial yang justru mendapat keuntungan dari viral pertentangan politik yang bisa mengingkari martabat manusia.
Sementara kita juga menyaksikan sebagian generasi abad ke-21 terus membuka ruang-ruang solidaritas: solidaritas inklusif, bukan eksklusif. Perluasan solidaritas yang menembus batas muncul dalam bentuk tindakan-tindakan kemanusiaan untuk membantu mengurangi kesulitan orang-orang yang setiap hari berani berjuang meniti harapan dengan sumber daya terbatas untuk keluar dari lingkaran kemiskinan agar hidup bermartabat.
Pahlawan-pahlawan untuk kaum pinggiran masih bisa kita temui baik di dunia nyata maupun dalam liputan media arus-utama atau konten media sosial. Tak jarang kita melihat kualitas empati kemanusiaan mereka jauh melampaui kualitas empati kerakyatan seorang pemimpin. Budaya berbagi dan melayani kaum lemah dan rentan, mereka yang tidak memiliki ruang bersuara, membuat kita optimistis bahwa kepedulian untuk menegakkan sila kedua dan kelima Pancasila bukanlah retorika, melainkan dedikasi yang tak terbayangkan di kalangan mereka yang jauh dari pamrih kuasa.
Idi Subandy Ibrahim
Peneliti Budaya, Media dan Komunikasi. Pengajar Pascasarjana Universitas Pasundan.