Pesan dari Borobudur dan Bali
Menjadi menarik seandainya mantan pemimpin bangsa bisa duduk bersama dalam satu wadah. Mereka saling mendukung dengan tulus ketika bangsa sedang menghadapi tantangan global yang berat.
...Kemesraan ini
Janganlah cepat berlalu
Kemesraan ini
Inginku kenang selalu…
Musisi Iwan Fals menutup gelaran Borobudur Marathon, Minggu, 13 November 2022, dengan manis. Taman Lumbini, kawasan wisata superprioritas Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah, disulap menjadi race central Borobudur Marathon dan panggung Iwan Fals. Lagu Iwan menghibur sekitar 5.000 pelari yang baru menyelesaikan lari separuh maraton.
Di panggung, ikut bernyanyi Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo dan istrinya, Siti Atiqoh, serta Direktur Utama Bank Jateng Supriyatno, bankir sekaligus pemain saksofon andal tampil menghibur pelari. Berlari menapaki lintasan separuh maraton seperti menyaksikan kebangkitan Borobudur. Ekonomi rakyat tumbuh. Warga menyambut pelari dengan sukacita. Wajah kegembiraan tampak. Satu hal yang wajar setelah dua tahun pandemi mencekam. Jalur lari bersih dari lalu lintas berkat kawalan polisi dan TNI.
Menggelar Borobudur Marathon adalah kerja gotong royong. Gelaran Borobudur Marathon didasari rasa penasaran mengapa Indonesia tidak bisa memiliki maraton berkelas dunia? Mengapa Indonesia tak bisa punya maraton yang bisa masuk dalam World Major Marathon, seperti London Marathon, Berlin Marathon, Tokyo Marathon. Kerja sebenarnya jadi ”kata kunci”.
Dari kawasan Borobudur, perhatian publik berpindah ke Konferensi Tingkat Tinggi G20 di Bali yang dipimpin Presiden Jokowi. Menteri Luar Negeri Retno Marsudi dan Menteri Keuangan Sri Mulyani menjadi aktor kunci di balik kesuksesan G20, selain Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan dan Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto.
Jamuan makan malam di Garuda Wisnu Kencana (GWK) menampilkan suasana Bali yang romantis, eksotik, unik, dan begitu menawan. Jamuan makan malam di GWK menawarkan spirit rekonsiliasi pemimpin bangsa. Melalui media sosial, Puan Maharani membagikan foto Megawati Soekarnoputri (presiden 2001-2004), Susilo Bambang Yudhoyono (presiden 2004-2014), Muhammad Jusuf Kalla (wakil presiden 2004-2009 dan 2014-2019), Try Sutrisno (wakil presiden 1993-1998), dan Hamzah Haz (wakil presiden 2001-2004) yang duduk satu meja dalam jamuan makan malam.
Suasana terasa adem. ”Kemesraan” reuni pemimpin bangsa, tak lepas dari rancangan tim Presiden Jokowi, menyampaikan pesan kebersamaan, gotong royong pemimpin bangsa menghadapi tantangan tak mudah. ”Presiden memang mengundang mantan dan pimpinan lembaga negara menghadiri jamuan makan malam sebagai penghormatan. Jadi mereka bertemu. Setelah itu, Presiden menemui mereka satu per satu,” kata Deputi Protokol Pers dan Media Sekretariat Presiden Bey Machmuddin. (Kompas, 17/11/2022).
Baca juga: Analisis Litbang ”Kompas”: G20, Kesetaraan Jender, dan Pemimpin Perempuan
Di mata publik terkesan ada kecanggungan politik di antara pemimpin bangsa. Hubungan antarmantan presiden tampak kaku, khususnya hubungan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Presiden Megawati. ”Kami ngobrol yang ringan-ringan saja. Setelah kami duduk, Pak Jokowi datang menyapa dan bersalaman. Pak Jokowi berterima kasih atas dukungan kami,” kata Jusuf Kalla, seperti dikutip dari Kompas, 17 November 2022.
Perjumpaan pemimpin bangsa di GWK selayaknya tidak ditafsirkan sebagai siapa bakal mendapat keuntungan elektoral. Tafsir itu tentunya sah saja ketika kontestasi politik menuju Pemilu Presiden 2024 sudah dimulai. Namun bagi publik, pertemuan elite, kemesraan antar-elite, punya peran meredakan ketegangan politik di media sosial.
Jamuan makan malam di GWK mengingatkan saya pada buku The Presidents Club: Inside The World’s Most Exclusive Fraternity. Dalam buku itu dikisahkan, hubungan kaku dan dingin di antara presiden Amerika Serikat dan pendahulunya tidak menjadi halangan tokoh itu saling berkomunikasi dan saling memberikan masukan.
The Presidents Club didirikan Presiden AS pertama George Washington, dihidupkan kembali oleh Presiden Harry S Truman dan Presiden Herbert Hoover. (Kompas.id, 7/6/2019). Dalam buku itu dikisahkan, John F Kennedy mengalami dilema menghadapi krisis rudal di Kuba. Ia pun berpaling kepada Presiden AS sebelumnya, Dwight D Eisenhower. Saat itu Eisenhower mengatakan, ”Apa pun keputusannya, saya pasti akan melakukan yang terbaik untuk mendukungnya.”
Gagasan Presidents Club timbul tenggelam dalam kancah politik nasional. Berbeda dengan di Amerika, beberapa mantan presiden di Indonesia adalah pemimpin partai politik yang terus akan berkontestasi dalam pemilu. Di Indonesia, mantan pemimpin juga masih aktif mengendalikan partai politik untuk bersaing dalam pemilu. Mantan pemimpin itu mulai melakukan estafet kepemimpinan.
Menjadi menarik seandainya mantan pemimpin bangsa itu bisa duduk bersama dalam satu wadah. Mereka bisa saling mendukung dengan tulus ketika bangsa sedang menghadapi tantangan global yang berat, korupsi yang masih terjadi, tantangan mempersempit kesenjangan sosial, tantangan bangsa menghadapi resesi global, membutuhkan kebersamaan pemimpin bangsa. Sebenarnya, Presiden Jokowi punya keluwesan untuk menjadi payung bertemu pemimpin bangsa. Sebagaimana lirik lagu, ”Kemesraan ini/Janganlah cepat berlalu/Kemesraan ini/Inginku kenang selalu/Hatiku damai/Jiwaku tentram di sampingmu...”
Baca juga: Harmoni Politik ”Reshuffle” Kabinet Presiden Jokowi
Pesan ”Kemesraan” dan perdamaian dari Borobudur dan GWK jangan cepat berlalu. Biarlah rakyat punya harapan akan Indonesia yang bersih dari korupsi, Indonesia yang adil dan sejahtera, di tengah kebisingan yang kadang nir-subtansi di media sosial.