Dengan keberhasilannya menjadi tuan rumah berbagai konferensi internasional penting, termasuk COP 27, Mesir ingin menunjukkan tentang peran pentingnya di tingkat regional maupun internasional.
Oleh
MUSTHAFA ABD RAHMAN, DARI KAIRO, MESIR
·5 menit baca
AFP/MOHAMMED ABED
Warga duduk dan bersantai di dekat kolam dan pancuran saat matahari terbenam di zona hijau Sharm el-Sheikh International Convention Centre di kota Sharm el-Sheikh, tepi Laut Merah, Mesir, 14 November 2022.
Nama kota Sharm el-Sheikh, Mesir, kini kembali menghiasi media internasional. Di kota tersebut, berlangsung konferensi perubahan iklim (COP 27) yang digelar Perserikatan Bangsa-Bangsa sejak 6 November dan berakhir pada 18 November 2022.
Sebanyak delegasi dari 197 negara tumplak di kota Sharm el-Sheikh. Indonesia adalah salah satu negara yang mengirim delegasi dalam jumlah cukup banyak ke forum COP 27, dipimpin oleh Wakil Presiden Ma’ruf Amin. Turut serta dalam delegasi Indonesia adalah Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya. Indonesia juga membuat paviliun khusus Indonesia di arena COP 27.
Digelarnya COP 27 di kota Sharm al-Sheikh merupakan keberhasilan besar diplomasi Mesir di tingkat internasional. Kota Sharm el-Sheikh dipilih sebagai tempat perhelatan COP 27 mewakili benua Afrika. Sebelumnya, COP 26 tahun 2021 digelar di kota Glasgow, Skotlandia.
Menyebut nama kota Sharm el-Sheikh, pikiran segera tertuju ke sebuah tempat sangat indah yang terletak di Semenanjung Sinai bagian selatan di Mesir. Panglima perang Israel, Moshe Dayan, ketika pertama kali mengunjungi kota Sharm el-Sheikh setelah pasukan Israel menduduki wilayah itu pascaperang tahun 1967 langsung berkata, "Saya lebih baik tidak berdamai dengan Mesir dari pada menyerahkan kembali kota Sharm el-Sheikh ke Kairo."
Moshe Dayan saat itu begitu terkesima melihat keindahan kota Sharm el-Sheikh hingga terlontar ungkapan spontan tersebut. Kota Sharm el-Sheikh memang kemudian menjadi area yang paling terakhir diserahkan Israel ke Mesir sesuai perjanjian damai Camp David antara Israel dan Mesir tahun 1979.
Mesir kemudian mulai pertengahan tahun 1980-an membangun Sharm el-Sheikh sebagai kota resort kelas dunia. Kota itu kemudian berhasil menjadi magnet para turis dari manca negara.
AFP/JOSEPH EID
Perempuan Indonesia dalam balutan baju tradisional di paviliun Indonesia pada ajang konferensi iklim COP 27 di Sharm el-Sheikh International Convention Centre di kota Sharm el-Sheikh, tepi Laut Merah, Mesir, 15 November 2022.
Siapa pun yang berkesempatan mengunjungi kota Sharm el-Sheikh pasti akan mengakui tentang keindahan kota tersebut. Kota ini terletak sekitar 500 kilometer arah tenggara kota Kairo. Dari Kairo menuju Sharm el-Sheikh bisa dicapai dengan pesawat terbang atau bus antar kota.
Kota Sharm el-Sheikh memiliki semua keunggulan sebagai kota wisata. Kota tersebut bertepi ke Laut Merah dengan pemandangan Teluk Naama Bay yang sangat indah dengan latar belakang puncak-puncak perbukitan yang memesona.
Kota Sharm el-Sheikh memiliki laut dan bukit. Kota wisata itu juga memiliki Taman Laut Nasional Raas Muhammad, yang dikenal sangat indah dengan kekayaan flora dan faunanya. Konon banyak turis barat tergila-gila terhadap keindahan aneka flora dan fauna di area taman laut itu. Di berbagai sudut kota Sharm el-Sheikh bertebaran tempat penyewaan alat selam untuk wisata selam (diving) di Taman Laut Raas Muhammad.
Gugusan perbukitan yang melatarbelakangi kota Sharm el-Sheikh tak kalah indahnya pula. Puncak keindahan terjadi ketika matahari terbit, kala matahari secara perlahan muncul dari balik puncak-puncak perbukitan itu. Kota Sharm el-Sheikh pun segera disinari warna kemerah-merahan yang terpecah-pecah dari balik puncak-puncak perbukitan tersebut.
DOKUMENTASI KBRI MESIR
Wakil Presiden Ma'ruf Amin (tengah) menghadiri konferensi iklim COP 27 di Sharm el-Sheikh International Convention Centre di kota Sharm el-Sheikh, tepi Laut Merah, Mesir, dalam foto tanpa tanggal yang diterima dari KBRI Kairo.
Kota Sharm el-Sheikh semakin kesohor setelah mantan Presiden Mesir Hosni Mubarak menjadikan kota itu sebagai pusat konferensi. Di kota wisata tersebut, dibangun gedung konferensi terbesar dan termegah di Mesir. Hampir semua pertemuan regional dan internasional di Mesir selama tiga dekade terakhir ini digelar di kota Sharm el-Sheikh. Tentu yang paling akhir adalah COP 27 yang kini sedang berlangsung di kota Sharm el-Sheikh.
Sesungguhnya ada ambisi besar di balik Mesir memperjuangkan kota Sharm el-Sheikh sebagai tuan rumah COP 27. Pertama, Mesir ingin mengembalikan peran strategisnya di tingkat regional maupun internasional setelah sempat redup akibat musim semi Arab tahun 2011. Dengan keberhasilannya menjadi tuan rumah berbagai konferensi internasional penting, termasuk COP 27, Mesir ingin menunjukkan tentang telah kembali peran pentingnya di tingkat regional maupun internasional.
Kedua, Mesir lewat COP 27 berhasil mendorong--untuk tidak memaksa--Presiden AS Joe Biden berkunjung ke kota Sharm el-Sheikh guna menghadiri COP 27 pada 11 November lalu. Bagi pemerintahan Presiden Mesir Abdel Fattah el-Sisi, kunjungan Presiden Biden tersebut tidak hanya dilihat terkait misi dalam isu iklim, tetapi lebih jauh ada misi politik.
Pemerintah Mesir melihat kunjungan Biden merupakan simbol pulihnya hubungan AS-Mesir. Seperti diketahui, hubungan AS-Mesir sempat terganggu pada era Presiden Biden akibat isu hak asasi manusia (HAM) di Mesir. Bagi Mesir, pulihnya hubungan dengan AS sangat penting. AS adalah pemasok terbesar senjata dan suku cadangnya ke Mesir. Mesir kini juga masih menerima bantuan sebanyak 1,3 miliar AS setiap tahun dari AS sejak perjanjian damai dengan Israel di Camp David tahun 1979.
REUTERS/AMR DALSH
Foto yang diambil pada 15 Desember 2018 ini menunjukkan sejumlah wisatawan tengah menikmati eloknya pesisir Laut Merah di resor Sharm el-Sheikh, selatan Kairo, Mesir.
Ketiga. Mesir lewat COP 27 ingin mengembalikan industri pariwisatanya yang sempat terganggu akibat musim semi Arab tahun 2011 dan kemudian Covid-19.
Sektor pariwisata merupakan salah satu sumber utama devisa bagi Mesir. Pada tahun 2010, Mesir mendapat kunjungan sebanyak 14,7 juta wisatawan dengan pendapatan devisa sebanyak 12,5 miliar dollar AS. Pada saat pandemi Covid-19 tahun 2020, jumlah wisatawan yang berkunjung ke Mesir anjlok sampai 70 persen. Pendapatan devisa negeri itu hanya 4 miliar dollar AS.
Karena itu, Mesir ingin menjadikan momentum COP 27 sebagai titik tolak kembalinya kejayaan industri pariwisatanya, seperti tahun 2010, yang mampu menjaring kunjungan 14.7 juta wisatawan. Bahkan, Mesir di masa mendatang ingin menyaingi Turki yang mendapat kunjungan sekitar 35 juta wisatawan per tahun. Apalagi, kota Sharm el-Sheikh yang menjadi tuan rumah COP 27 adalah destinasi wisata andalan Mesir.
Keempat, Mesir lewat COP 27 ingin semakin mendapat legitimasi untuk menjadi pusat energi hijau di kawasan Timur Tengah. Kairo mengklaim telah berhasil mengembangkan energi hijau terbarukan yang bersumber dari angin dan matahari.
Mesir juga ingin membangun kerja sama untuk mengembangkan energi hijau terbarukan dengan negara tetangga regional, seperti Sudan, Jordania, Libya, Arab Saudi, Siprus, dan Yunani. Alhasil, Mesir berambisi menjadi basis energi hijau di kawasan.