Bumi dan Delapan Miliar Penduduk
Perubahan iklim tak bisa dipisahkan dari pertambahan penduduk dunia. Sebagai negara berpenduduk terbesar ke-4 dan wilayah terluas ke-15 di dunia, Indonesia berperan penting dalam pengendalian laju pertumbuhan penduduk.
Perserikatan Bangsa-Bangsa memproyeksikan pada 15 November 2022 jumlah penduduk dunia mencapai 8 miliar jiwa.
Hanya butuh 12 tahun (2010- 2022) untuk bertambah satu miliar penduduk. Selama 12 tahun terakhir, penduduk dunia bertambah hampir 3 orang per detik, lebih dari 228.000 jiwa per menit, dan 83 juta jiwa per tahun. Di masa lalu, butuh 123 tahun (1804-1927) jumlah penduduk bertambah dari 1 miliar menjadi 2 miliar.
Namun, dalam 60 tahun terakhir, penambahan kelipatan 1 miliar penduduk dicapai dalam waktu yang kian pendek. Jumlah penduduk dunia terus naik menjadi 3 miliar (1960), 4 miliar (1974), 5 miliar (1987), 6 miliar (1998), 7 miliar (2010), dan 8 miliar (2022). Dalam 95 tahun, penduduk dunia bertambah dari 2 miliar menjadi 8 miliar jiwa!
Setelah tahun 1960, laju pertumbuhan penduduk (LPP) dunia cenderung turun. Bahkan LPP dunia saat ini terendah sejak 1950. PBB mengungkapkan, dua pertiga penduduk dunia tinggal di negara dengan angka kelahiran total di bawah 2,1 anak per perempuan.
Pertumbuhan penduduk dunia sebenarnya terkendali. Namun, akibat pertumbuhan penduduk yang sangat cepat sebelum 1960, tercipta population momentum dalam jangka panjang. Jumlah penduduk besar akan menghasilkan angka kelahiran yang besar. Di saat bersamaan, angka kematian turun dan usia harapan hidup naik, menyebabkan tambahan penduduk dunia yang besar.
Baca juga : Delapan Miliar Jiwa Bukan Sekadar Angka
Population momentum ini menciptakan population pressure (tekanan penduduk) terhadap Bumi, memunculkan berbagai tantangan global. Kebutuhan penduduk untuk pangan, sandang, papan, air bersih, lahan, energi meningkat pesat. Padahal, secara fisik, Bumi tak pernah bertambah besar.
Jumlah dan perilaku penduduk berkontribusi pada kenaikan suhu Bumi, menciptakan perubahan iklim. Selain itu, sampah sebagai residu konsumsi penduduk terus membengkak. Bank Dunia (2018) memperkirakan sampah per kapita penduduk global mencapai 0,74 kilogram (kg) per hari, bervariasi 0,11 hingga 4,54 kg per hari. Dengan jumlah penduduk 8 miliar jiwa, dunia menghasilkan hampir 6 juta ton sampah per hari, setara 2,16 miliar ton per tahun.
Tekanan penduduk
Setidaknya ada tiga dampak langsung tekanan penduduk bagi kehidupan manusia ke depan. Pertama, dampak pada lingkungan. Tahun 2010, saat penduduk dunia mencapai 7 miliar jiwa, BBC membuat film dokumenter How Many People Can Live on Planet Earth? untuk menunjukkan betapa besar implikasi pertambahan penduduk pada lingkungan.
Kompetisi dalam memperoleh sumber daya berpotensi menciptakan konflik dan mengancam perdamaian dunia. Penggunaan sumber daya alam (SDA) secara masif untuk pemenuhan kebutuhan manusia mempercepat kerusakan lingkungan. Perubahan iklim adalah konsekuensi nyata dari tekanan penduduk.
Kedua, kerusakan lingkungan dan perubahan iklim akibat tekanan penduduk juga mengancam kesehatan masyarakat.
Para pakar mengingatkan, peningkatan suhu Bumi dan kerusakan lingkungan memaksa sebagian hewan liar melakukan migrasi tempat tinggal. Interaksi manusia dengan hewan liar meningkat, memunculkan risiko transmisi virus, dan berpotensi menciptakan pandemi.
Banjir menimbulkan risiko penyebaran penyakit melalui air, seperti kolera dan hepatitis. Penurunan kualitas udara meningkatkan risiko infeksi paru dan saluran pernapasan. The Lancet (2022) dalam salah satu artikelnya menjelaskan, peningkatan suhu Bumi jadi faktor risiko penyakit kardiovaskular dan heat stroke.
Ketiga, perubahan iklim sebagai konsekuensi tekanan penduduk mengancam ketahanan pangan dunia. Semakin seringnya kejadian cuaca ekstrem, termasuk banjir dan kekeringan, berdampak buruk pada produksi pangan. The Johns Hopkins Center for a Livable Future mengingatkan potensi penurunan produksi pangan di beberapa kawasan akibat perubahan iklim. Menurunnya produksi pangan akan memicu inflasi akibat kenaikan harga pangan. Kemiskinan dan kelaparan menjadi tantangan di tengah upaya dunia mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).
Thomas Robert Malthus (1798), ahli ekonomi, politik, dan demografi berkebangsaan Inggris, dalam bukunya An Essay on the Principle of Population memprediksi dunia akan mengalami masalah pangan akibat penduduk tumbuh menurut deret ukur dan pangan tumbuh menurut deret hitung.
Kekhawatiran Malthus tak sepenuhnya terbukti karena revolusi industri dan kemajuan teknologi mampu mendorong kenaikan produksi pangan. Namun, pemikiran Malthus, yang ditulis saat dunia masih berpenduduk 800 juta jiwa, secara prinsip masih relevan. Prinsip pemikiran bahwa dunia memiliki keterbatasan fisik untuk menampung penduduk yang terus bertambah secara cepat.
Perubahan iklim tak dapat dipisahkan dari pertambahan penduduk dunia yang begitu cepat.
Peran Indonesia
Perubahan iklim tak dapat dipisahkan dari pertambahan penduduk dunia yang begitu cepat. Konvensi Perubahan Iklim PBB (UNFCC) yang dihasilkan di New York dan ditandatangani di KTT Bumi di Rio de Janeiro, Brasil, pada 1992 menjadi upaya global untuk merespons perubahan iklim dan menyelamatkan Bumi.
Sebagai tindak lanjutnya, sejak 1995 dilakukan pertemuan pertama para pihak (conference of the parties/COP) di Berlin, hingga COP27 yang berlangsung di Mesir pada November 2022. Dihasilkan berbagai kesepakatan global dan Indonesia termasuk negara yang meratifikasi. Sebagai negara berpenduduk terbesar ke-4 dan wilayah terluas ke-15 di dunia, Indonesia jelas berperan penting dalam pengendalian laju pertumbuhan penduduk dan perubahan iklim.
Dalam hal pengendalian jumlah penduduk, Indonesia terus mencapai kinerja yang baik melalui program Keluarga Berencana. Namun faktanya, LPP Indonesia masih di atas dunia. Padahal, BPS memproyeksikan total fertility rate (angka kelahiran total) di Indonesia pada 2020 hingga 2045 sudah rendah, stagnan di angka 2,1 anak per perempuan (mencapai replacement level).
Pada 2020, LPP dunia di bawah 1 persen, sedangkan Indonesia mencapai 1,25 persen (rata-rata 2010-2020). Oleh karena itu, isu pengendalian jumlah penduduk masih relevan bagi Indonesia meskipun harus dihindari angka kelahiran yang terlalu rendah.
Dalam komitmen mencapai net zero emission karbon dunia, Indonesia berhasil menurunkan laju deforestasi secara signifikan, dari 0,93 juta hektar (2016) menjadi 0,20 juta hektar (2021), terendah selama 20 tahun terakhir. Indonesia juga memulihkan lebih dari 3 juta hektar lahan kritis dan merehabilitasi 600.000 hutan mangrove hingga 2024. Komitmen Indonesia juga diwujudkan melalui transformasi energi baru dan terbarukan. Ekosistem kendaraan listrik terus dikembangkan, termasuk langkah nyata penggunaan mobil listrik pada penyelenggaraan KTT G20 Bali.
Namun, di tengah upaya memenuhi komitmen global, kita juga harus bisa menjawab tantangan dalam negeri. Tekanan penduduk menciptakan tekanan produksi pangan nasional.
Baca juga : 8 Miliar Penduduk Bumi dan Ancaman Krisis Air Bersih
Data KSA BPS (2022) menunjukkan selama 2018-2021, luas lahan panen padi kita merosot tajam, dari 11,38 juta hektar menjadi 10,41 juta hektar. Penyebabnya, antara lain, konversi lahan sawah permanen untuk kepentingan nonpertanian, konversi lahan sementara, dan dampak kemarau basah ataupun banjir (perubahan iklim). Di saat bersamaan, konsumsi beras nasional naik dari 29,56 juta ton (2018) menjadi 30,04 juta ton (2021) sebagai konsekuensi peningkatan jumlah penduduk.
Momentum 8 miliar penduduk dunia menjadi pengingat tentang pentingnya memahami situasi penduduk, dampaknya, dan respons kebijakan yang tepat.
Jumlah penduduk bukan sekadar angka, melainkan jiwa-jiwa yang layak mendapatkan hari esok lebih baik dibandingkan dengan hari ini.
Sonny Harry B HarmadiKetua Umum Koalisi Kependudukan Indonesia/Pengajar Departemen Studi Pembangunan FDKBD ITS