Muhammadiyah memilih politik inklusif. Dengan politik inklusif, Muhammadiyah dapat berkontribusi kepada kemajuan bangsa dan negara secara aktif dan maksimal tanpa terbelenggu oleh kekuatan parpol dan presiden-wapres.
Oleh
ZULY QODIR
·5 menit baca
Ada gejala terjadi rezimintasi agama dan oligarki di ruang publik Indonesia. Hal ini tentu saja tidak kondusif sebagai sebuah bangsa yang majemuk secara paham keagamaan. Begitu pula tidak kondusif untuk semua warga negara yang memiliki keragaman pilihan politik.
Muktamar Ke-28 Muhammadiyah pada 18-20 November 2022 di Surakarta merupakan salah satu momentum strategis bagi Muhammadiyah. Muktamar ke-48 Muhammadiyah strategis dalam dua level utama. Pertama, sebagai ormas keagamaan, Muhammadiyah merupakan organisasi keislaman yang sudah cukup “dewasa” dalam mengarungi kehidupan di Indonesia. Muhammadiyah telah banyak pengalaman sosial keagamaan dan budaya.
Kedua, secara politik, Muktamar ke-48 Muhammadiyah sangat penting karena bangsa ini hendak memasuki tahun politik 2023, yang akan banyak peristiwa politik untuk anak-anak bangsa. Muhammadiyah sebagai ormas sosial keagamaan tentu perlu hadir secara elegan di tengah gairah politik anak-anak bangsa.
Seperti dikemukakan Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Abdul Mukti, bahwa Muhammadiyah harus hadir di tengah bangsa ini sebagai pengemban misi politik kebangsaan, yang mampu merespon masalah-masalah keumatan, kemanusiaan, hukum, pendidikan, dan kemajuan teknologi (Kompas, 5 November 2022). Muhammadiyah hendak berhidmat dalam masalah-masalah yang terhubung dengan kehidupan umat manusia Indonesia tanpa terkecuali.
Muhammadiyah tidak hanya akan hadir untuk warga Muhammadiyah, dan umat Islam. Namun, Muhammadiyah harus mampu hadir sebagai salah satu kekuatan kebangsaan maupun keumatan yang rahmatan lil alamin.
Politik inklusif
Politik inklusif merupakan gagasan politik yang terbuka. Politik inklusif berupaya menempatkan semua warga negara sebagai bagian yang dapat berkontribusi terhadap kemajuan bangsa dan umat (masyarakat). Oleh sebab itu, Muhammadiyah, sebagai ormas Islam dengan jamaah-warga yang cukup banyak (sekitar 25 juta-35 juta), merupakan organisasi Islam yang potensial untuk terlibat dalam membangun kemajuan peradaban bangsa.
Politik iklusif berupaya menempatkan semua warga negara sebagai warga yang setara secara kemanusiaan. Perbedaan pilihan partai politik, bahkan, dengan politik inklusif, Muhammadiyah sampai hari ini menempatkan partai politik sama pentingnya dengan organisasi sosial keagamaan.
Dengan politik inklusif Muhammadiyah sudah saatnya “menjadi milik” semua partai politik. Bukan menjadikan satu kekuatan politik sebagai patron dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Partai politik ditempatkan sebagai mitra yang setara. Oleh sebab itu, Muhammadiyah sebetulnya tidak akan menjadikan salah satu kekuatan partai politik sebagai “partai idola”, sekalipun mereka merasa dan beranggapan bahwa lahir dan besar dari rahim Muhammadiyah. Muhammadiyah berusaha dekat dengan seluruh partai politik.
Bahkan yang perlu ditegaskan, dengan politik inklusif Muhammadiyah sudah saatnya “menjadi milik” semua partai politik. Bukan menjadikan satu kekuatan politik sebagai patron dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Jika hal ini dilakukan, maka gagasan politik inkusif Muhammadiyah telah gagal dipahami oleh warga Muhammadiyah.
Di sinilah nanti siapapun calon presiden dan wakil presiden boleh “mendekat” dengan Muhammadiyah, tetapi tidak harus didukung secara resmi oleh Muhammadiyah. Di sini Muhammadiyah kemudian dapat berkontribusi kepada kemajuan bangsa dan negara secara aktif dan maksimal tanpa terbelenggu oleh kekuatan partai politik dan presiden-wapres.
Politik eksklusif hanya akan menciptakan luka yang mendalam sesama warga negara dan menciptakan sikap eksklusif yang lebih tajam. Oleh sebab itu, politik eksklusif tidak kondusif untuk kemajuan bangsa.
Politik eksklusif bahkan dapat menciptakan “politik balas dendam”, yang datang dari pihak yang lain. Balas dendam politik akan lahir karena tumbuhnya ketidakpercayaan, kebencian, bahkan amarah terhadap kelompok yang selama ini mengkampanyekan perlunya pandangan, pikiran, sikap, dan tindakan moderat, namun dalam praktiknya membangun “politik eksklusif” serta kebencian kepada pihak lain.
Moderat substantif
Moderat substantif merupakan paham keagamaan yang tidak monopolistik. Pilihan moderat substansi dari Muhammadiyah menyebabkan mereka yang berbeda pilihan organisasi keagamaan tidak mudah “dihukum” dengan berbagai lebel negatif dan menyebalkan.
Pilihan politik inklusif tentu saja akan berdampak kepada Muhammadiyah sebagai organisasi keislaman yang mudah menerima paham keagamaan yang berbeda. Namun tidak berarti Muhammadiyah harus larut dan melebur dalam paham keagamaan yang datang berseliweran di depan hidung Muhammadiyah. Bahkan, Muhammadiyah harus memiliki karakteristik yang kuat dari berbagai organisasi Islam yang beragam.
Moderat substantif memiliki daya gerakan bahwa dalam beragama, Muhammadiyah memiliki pandangan yang terus dinamis sehingga pintu ijtihad tidak pernah tertutup untuk perkembangan ilmu pengetahuan. Muhammadiyah tidak anti terhadap mereka yang berbeda paham. Namun tidak serta merta menerimanya. Muhammadiyah berupaya akomodatif dengan perubahan dan perkembangan, namun tetap memegang prinsip keyakinan sesuai dengan tradisi keislaman moderat yang dipahami Muhammadiyah.
Muhammadiyah memiliki pandangan yang terus dinamis sehingga pintu ijtihad tidak pernah tertutup untuk perkembangan ilmu pengetahuan.
Muhammadiyah tidak monopolitistik dalam menafsirkan teks keagamaan sesuai seleranya. Muhammadiyah akan menghargai keragaman pemahaman teks keagamaan yang dapat memajukan umat dan bangsa.
Namun, Muhammadiyah akan menolak pemahaman keagamaan yang mendeskreditkan, merendahkan, dan medistorsi Islam sebagai agama kemanusiaan dan universal. Muhammadiyah akan berupaya selalu dialog dengan kemajuan ilmu pengetahuan sebagai salah satu instrumen memajukan umat dan bangsa.
Dengan paham moderat substantif, maka kemajuan bangsa tidak dapat diklaim oleh satu kelompok organisasi keagamaan yang besar sekalipun. Model organisasi keagamaan yang mengklaim bahwa pihak lain tidak memberikan kontribusi kepada kemajuan bangsa merupakan organisasi keagamaan yang memaksakan paham dengan politik eksklusif, sekalipun berkampanye tentang perlunya sikap dan tindakan moderat terhadap warga negara. Kita tidak membutuhkan pandangan moderat namun praktik politik dan keagamaan ekslusif dan otoriter.
Pada akhirnya harus ditegaskan bahwa Muhammadiyah itu tidak anti terhadap politik partai, yang cenderung pragmatis. Namun demikian, Muhammadiyah hendak berhidmat kepada berpolitik yang lebih santun, beradab, tidak rakus, apalagi ingin menguasai segala level kehidupan politik Indonesia maupun ekonomi. Muhammadiyah dalam berpolitik hendak mengedepankan model berpolitik yang inklusif, tidak status quo apalagi rent seeking politics and economics, sehingga menganggap pihak lain tidak berhak turut pula memberikan kontribusi pada kenegaraan dan keagamaan.
Dalam memahami keagamaan, Muhammadiyah tidak akan memonopoli kebenaran sehingga memaksakan pemahaman menjadi “mazhab negara”. Hal ini jelas bertentangan dengan paham keagamaan Muhammadiyah yang bersifat dinamis dan progresif.
Zuly Qodir, Sosiolog; Dosen Program Doktor Politik Islam Universitas Muhammadiyah Yogyakarta