Jalan Moderat Muhammadiyah
Jalan tengah atau moderat yang ditempuh Muhammadiyah terbukti tidak hanya memperpanjang usia Muhammadiyah hingga memasuki abad kedua, tetapi juga menguatkan kiprah Muhammadiyah di berbagai sektor publik strategis.
Lahir pada 18 November 1912, Muhammadiyah telah melewati usia satu abad. Kelahiran Muhammadiyah menjadi salah satu penanda modernisasi gerakan Islam di Indonesia.
Modernisasi Muhammadiyah merupakan suatu proses yang bisa dijelaskan melalui konsep process of double translation dari Charles Kurzman dalam Modernist Islam 1840-1940: A Source Book (2002), yakni (proses penerjemahan ganda): nilai-nilai modern ke dalam istilah-istilah Islam, dan nilai-nilai Islam ke dalam istilah modern.
Tidak mudah memadukan antara dimensi keagamaan (Islam) dan kemajuan (modern) dalam suatu masa di mana agama cenderung tertinggal dan tersubordinasi. Tahun kelahiran Muhammadiyah berada dalam rentang waktu yang dijadikan patokan waktu oleh Kurzman, 1840-1940, merupakan periode krusial bagi agama untuk merespons semangat dan tantangan zaman.
Respons Ahmad Dahlan memiliki karakter moderat (wasithiyah) karena antara agama dan kemajuan bisa saling melengkapi. Hal ini berbeda dengan respons yang meletakkan di antara keduanya dalam posisi yang tidak seimbang, bahkan cenderung dalam posisi berlawanan (binary opposition). Pada kasus Islam, jika merujuk pada Abdullah Saeed dalam Islamic Thought: An Introduction (2006), respons yang dimaksud ialah the Islamist extremist dan the secular Muslim.
Baca juga : Milad Ke-109, Muhammadiyah Usung Empat Pesan
Respons pertama bertolak dari suatu pembacaan terhadap krisis dan dekadensi Islam yang disebabkan ketertundukannya di hadapan ideologi dan pranata modern yang bertentangan dengan pandangan dunia Islam. Bagi kalangan ini, hanya ada satu cara yang harus dilakukan, yaitu melakukan perlawanan terhadap segala bentuk modernitas yang berasal dari Barat, dan menjadikan Islam sebagai satu-satunya alternatif sistem.
Kalangan ini tidak mencukupkan pada agenda-agenda kultural dengan menekankan pada penyadaran kepada masyarakat agar berperilaku Islam, tetapi lebih mengedepankan pendekatan politik yang berpuncak pada terbentuknya negara Islam yang bahkan diarahkan berskala mondial (khilafah).
Muhammadiyah mengambil posisi berbeda dengan pandangan di atas, sebagaimana juga terhadap pandangan yang cenderung pragmatis dan sekularistis terkait relasi Islam dengan politik dan aspek-aspek publik lainnya.
Pandangan pragmatis dan sekularistis bertolak dari suatu asumsi dasar bahwa Islam merupakan agama yang hanya mengurusi hubungan vertikal antara manusia dan Tuhan yang diwujudkan melalui praktik peribadatan tertentu yang sudah ditetapkan. Karena dalam Islam dipahami nihil dengan ketentuan-ketentuan yang terkait dengan urusan publik, politik misalnya, maka pandangan the secular Muslim memilih sikap pragmatis dengan cara mengambil begitu saja ideologi dan sistem dari luar yang justru menjadi sasaran kritik dari pandangan the Islamist extremist.
Dalam hal memahami relasi Islam dengan dimensi-dimensi kehidupan publik, politik misalnya, Muhammadiyah mengambil cara moderat (wasithiyah), yakni bahwa terdapat hubungan yang organik-substantif.
Terhadap politik, misalnya, Muhammadiyah sedari awal pendiriannya lebih berkhidmat pada terbentuk ”masyarakat Islam yang sebenar-benarnya” atau ”masyarakat utama”, alih-alih negara Islam.
Konsistensi Muhammadiyah terus terpelihara hingga sekarang, yang ditunjukkan dengan sikap Muhammadiyah terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) melalui konsep Dar al-’Ahd wa al-Syahadah (negara perjanjian dan persaksian) sebagaimana dapat dibaca dalam dokumen Negara Pancasila sebagai Darul Ahdi wa Syahadah yang disampaikan pada Muktamar Ke-47 Muhammadiyah di Makassar.
Dalam dokumen tersebut antara lain terdapat penegasan, ”Negara Pancasila merupakan hasil konsensus nasional (dar al-’ahdi) dan tempat pembuktian atau kesaksian (dar al-syahadah) untuk menjadi negeri yang aman dan damai (dar al-salam) menuju kehidupan yang maju, adil, makmur, bermartabat, dan berdaulat dalam naungan ridla Allah SWT”.
Ditegaskan juga, ”Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia adalah ideologi negara yang mengikat seluruh rakyat dan komponen bangsa...”.
Ditegaskan juga, ”Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia adalah ideologi negara yang mengikat seluruh rakyat dan komponen bangsa. Pancasila bukan agama, tetapi substansinya mengandung dan sejalan dengan nilai-nilai ajaran Islam, yang menjadi rujukan ideologis dalam kehidupan berbangsa yang majemuk”.
Karena itu, ”Segenap umat Islam, termasuk di dalamnya Muhammadiyah, harus berkomitmen menjadikan Negara Pancasila sebagai Dar al-Syahadah atau negara tempat bersaksi dan membuktikan diri dalam mengisi dan membangun kehidupan kebangsaan yang bermakna menuju kemajuan di segala bidang kehidupan”.
Menjadi kian jelas sikap Muhammadiyah dalam menempatkan relasi Islam dengan urusan publik apabila merujuk pada dokumen itu. Dengan sikap demikian, tidak berarti gerakan Muhammadiyah menjadi nirpolitik dan antipolitik.
Baca juga : Seribu Wajah Peran Muhammadiyah
Muhammadiyah oleh Alfian dalam karya klasiknya, Muhammadiyah: The Political Behavior of a Muslim Modernist Organization Under Dutch Colonialism (1989), disebut sebagai gerakan yang memiliki kekuatan politik (a political force), di samping sebagai gerakan pembaruan keagamaan (religious reformist), dan agen perubahan sosial (the agent of social change).
Sebagai suatu kekuatan politik yang berbasis masyarakat madani (civil society) dengan skala yang besar sebagaimana dikatakan Mitsuo Nakamura dalam The Crescent Arises over The Banyan Tree: A Study of the Muhammadiyah Movement in a Central Javanese Town, c. 1910s-2010 (2012), Muhammadiyah mengambil posisi dan peran secara resiprokal-kritis di hadapan pemerintah.
Muhammadiyah merupakan mitra kritis karena, di satu sisi, Muhammadiyah memiliki kelembagaan amal usaha, seperti pendidikan dan kesehatan, yang menjadi perhatian pemerintah. Akan tetapi, di sisi lain, Muhammadiyah menjalankan fungsi sebagai representasi masyarakat madani, yakni menyampaikan kritik secara berkeadaban terhadap kebijakan pemerintah.
Jalan tengah atau moderat yang ditempuh Muhammadiyah terbukti tidak saja memperpanjang usia Muhammadiyah hingga memasuki abad kedua, tetapi juga menguatkan kiprah Muhammadiyah di berbagai sektor publik strategis yang dibutuhkan masyarakat, yang bahkan mampu menerobos batas-batas primordial seperti agama.
Di beberapa wilayah di mana Islam merupakan minoritas, amal usaha Muhammadiyah diterima oleh masyarakat dengan dibuktikan keterlibatan mereka sebagai pihak yang berkepentingan yang di sisi lain memberi manfaat bagi Muhammadiyah.
Fenomena semacam itu menandakan adanya saling keberterimaan di antara kedua belah pihak yang sekaligus mempertegas inklusivitas Muhammadiyah. Watak atau karakter yang demikian penting diungkap kembali karena tidak sedikit yang menyalahpahami Muhammadiyah sebagai gerakan keagamaan puritan yang eksklusif.
Terhadap wilayah muamalah, publik, Muhammadiyah memilih sikap terbuka.
Puritanisme atau ”Islam murni” memang menjadi perhatian Muhammadiyah sedari awal pendiriannya atas dasar pembacaan terhadap terkontaminasinya paham dan praktik keagamaan umat Islam oleh kepercayaan dan tradisi lokal yang tidak memiliki dasar yang kuat pada sumber Islam.
Akan tetapi, pemurnian yang dilakukan Muhammadiyah sebenarnya tidak menyasar kepada suatu aspek apa yang dalam kosakata Islam disebut dengan muamalah atau kehidupan publik.
Terhadap wilayah muamalah, publik, Muhammadiyah memilih sikap terbuka. Muhammadiyah juga memandang bahwa muamalah sebagai wilayah yang dinamis, bisa berubah-ubah (al-mutaghayyirat), seiring dengan perkembangan zaman.
Syamsul Arifin, Guru Besar Universitas Muhammadiyah Malang