Tragedi Kanjuruhan, gangguan gagal ginjal pada anak-anak, bencana alam, suap di Mahkamah Agung, dan isu "perang bintang" di lingkungan kepolisian melengkapi deretan cerita yang kurang menggembirakan di negeri ini.
Oleh
BUDIMAN TANUREDJO
·5 menit baca
Jumat pagi, 11 November 2022, dalam perjalanan dari Jakarta menuju ajang Borobudur Marathon di Magelang, Jawa Tengah, seorang purnawirawan jenderal mengirim tautan berita Kompas.id. Tautan berita yang dikirim berjudul, ”Hasil Uji Lab: Gas Air Mata Picu Kematian”. Hasil investigasi Kompas menunjukkan bahwa berdasarkan hasil uji laboratorium dipastikan ada komponen lain dalam gas air mata yang dilepaskan polisi di Stadion Kanjuruhan, Malang.
Saya meresponsnya pendek, ”Ngeri ya?” Dan, sang jenderal membalas dengan emoticon dengan tulisan, ”Kumenangis”. Tragedi Kanjuruhan mengakibatkan 135 orang meninggal. Polisi telah mengusut. Sejumlah pihak yang dinilai bertanggung jawab telah dicopot. Sejumlah orang sudah menjadi tersangka. Berbagai tim, baik independen maupun yang tidak ada label independen, telah menyampaikan temuannya. Publik sebagai penonton masih menunggu saja akhir dari cerita Kanjuruhan.
Cerita kurang menggembirakan terus menghinggapi publik. Lebih dari 100 bayi meninggal karena masalah gangguan ginjal. Disebut-sebut salah satu penyebabnya dari obat sirop. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menyebut ada bahan baku obat sirop tercemar. Mengutip Kepala BPOM Penny Lukito di Kompas, 10 November 2022, cemaran etilen glikol dan deetilen glikol dalam beberapa sirop melebihi ambang batas aman. Entah kenapa itu semua bisa terjadi?
Beruntung ada langkah cepat diambil Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin yang melarang peredaran obat sirop tercemar etilen glikol dan deetilen glikol serta segera mendatangkan penawar antidotum Fomepizole. Tren meninggal bayi menurun. Langkah Budi dikritik karena terkesan gebyah uyah. Keputusan diambil sebelum ada penelitian menyeluruh. Namun, prinsip keselamatan rakyat (bayi) sebagai hukum tertinggi yang dianutnya sangat bisa dipahami.
Dua peristiwa yang mengakibatkan sejumlah bayi dan anak bangsa meninggal menggambarkan betapa abai dan kedodorannya bangsa ini berkaitan dengan nyawa manusia. Di jalanan, publik menyaksikan bagaimana kecelakaan yang menelan korban terus saja terjadi. Menelisik berita soal kecelakaan di Pusat Informasi Kompas, sepanjang 2022 terdapat 439 berita bertema kecelakaan. Mengutip data Korps Lalu Lintas Polri, sepanjang 2021 tercatat 25.226 orang meninggal; 25.226 itu bukan sekadar angka, melainkan manusia yang punya keluarga.
Cerita kurang menggembirakan juga terjadi di berbagai wilayah. Bencana alam. Melalui layar televisi atau media sosial terasa begitu sering terjadi bencana alam. Apakah itu banjir, banjir bandang, tanah longsor, atau cuaca ekstrem. Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menunjukkan, dari Januari hingga Oktober 2022 tercatat 2.654 kali bencana alam, terbanyak adalah banjir. Belum ada kajian menyeluruh untuk mengatasi berbagai bencana yang terjadi. Belum juga ada aksi konkret untuk memitigasi kejadian. Semuanya menjadi wacana dan bencana terus saja terjadi serta mungkin akan terjadi lagi. Di balik banjir bandang, patut diduga ada kerusakan lingkungan hidup yang parah. Peralihan fungsi hutan bisa saja ikut memperparah situasi.
Jika ditarik ke belakang, litani cerita kurang menggembirakan—tapi tentunya juga banyak cerita baik, seperti Indonesia menjadi tuan rumah pertemuan G-20—masih muncul ke permukaan. Persidangan pembunuhan berencana Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat melalui televisi seakan-akan ”menelanjangi” orang-orang yang selama ini bermain di balik layar sistem peradilan pidana. Ada dugaan saksi diatur. Ada sangkaan keterangan saksi bohong.
Dua peristiwa yang mengakibatkan sejumlah bayi dan anak bangsa meninggal menggambarkan betapa abai dan kedodorannya bangsa ini berkaitan dengan nyawa manusia
Sementara di institusi kepolisian, meminjam istilah Menko Polhukam Mahfud MD, disinyalir sedang terjadi ”perang bintang”. Ada cerita polisi tembak polisi. Ada cerita polisi tangkap polisi. Ada cerita polisi menceritakan perilaku buruk polisi yang lain. Berbagai dokumen berkategori rahasia beredar di grup-grup Whatsapp dan menjadi pergunjingan publik. ”Isu ’perang bintang’ terus menyeruak. Dalam ’perang’ ini, para petinggi yang sudah berpangkat bintang saling buka kartu truf. Ini harus segera kita redam,” kata Mahfud, Minggu, 6 November, dikutip dari Kompas.id.
Di Mahkamah Agung, cerita lain mengemuka. KPK masih menyelidiki dugaan suap terhadap hakim agung nonaktif Sudrajad Dimyati. Beberapa ruang kerja hakim agung digeledah KPK. Terakhir, dikutip dari sejumlah portal berita daring, muncul kontroversi baru. Deretan judul berita, seperti ”Mahkamah Agung Akan Dijaga Militer”, ”MA Akan Dijaga Militer, Ingin Pastikan Tamu yang Masuk Layak”, dan ”Perketat Keamanan, MA Kini Dijaga Personel TNI”. Berita itu, bersumber dari Juru Bicara MA Andi Samsan Nganro, telah menciptakan berbagai spekulasi.
Menjelang siaran Satu Meja, pekan lalu, saya mengobrol dengan seorang intelektual yang menjadi narasumber saya. Ia melihat ada gejala pelemahan otoritas penyelenggara negara. ”Sekarang siapa yang diikuti,” ujar intelektual itu. Dia menyebutkan secara sadar atau tidak sadar seperti sedang terjadi pembusukan di berbagai institusi. Situasi itu mencemaskan.
Setiba di Yogyakarta, saya teringat pada masa-masa ikut upacara bendera. Inspektur upacara selalu mengajak mari kita hening sejenak untuk menghormati jasa pahlawan. Boleh jadi, kini saatnya kita semua hening sejenak, memperlambat langkah, untuk melakukan introspeksi diri, meneliti apa yang sedang terjadi di bangsa ini dan juga sebenarnya bangsa lain. Ketika begitu banyak nyawa melayang di jalan raya. Ketika lingkungan rusak karena banjir bandang yang menerpa beberapa wilayah. Ketika sumpah jabatan hanya jadi ritual. Ketika perilaku korupsi terus di-copas oleh koruptor yang lain.
Saya mengutip Surat Pembaca Yes Sugimo di Kompas, 20 September 2022, ”… Sepertinya jika ada kejadian buruk bukan menjadi pembelajaran, melainkan justru diikuti seribu alasan pembenaran diri. Seharusnya kita menyalakan pelita untuk mengusir gelap, bukan malah menikmati kegelapan….”
Gagasan Revolusi Mental yang pernah dibawa Presiden Joko Widodo pada periode pertama pemerintahannya, rasanya perlu digemakan kembali dengan langkah nyata. Membangun manusia Indonesia berintegritas.