Delapan Miliar Manusia dan Iklim
Bumi masih cukup menampung populasi manusia yang kini mencapai 8 miliar, namun tidak akan pernah cukup untuk memenuhi keserakahan sedikit orang.
Fluktuasi iklim antara zaman es dan periode hangat menjadi pembentuk utama evolusi manusia menjadi Homo sapiens yang sukses bertumbuh hingga mencapai tonggak delapan miliar orang per 15 November 2022 berdasarkan perhitungan Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Namun, pertumbuhan populasi yang eksponensial itu, dan terutama karena pola konsumsi tidak berkelanjutan dari sebagian umat manusia, telah menjadi pemicu utama krisis iklim, yang bisa menyebabkan kepunahan massal keenam di planet ini.
Riset Eva KF Cha, ahli genomik dari Garvan Institute of Medical Research, Australia, dan tim yang diterbitkan di jurnal Nature (2019), menunjukkan, kemunculan dan migrasi nenek moyang manusia pertama dari jalur ibu di sekitar sistem danau purba Makgadikgadi—sekarang Botswana, Afrika—200.000 tahun lalu, dipicu perubahan iklim dan lingkungan.
Sebelum kemunculan leluhur Homo sapiens ini, sistem danau itu mengering karena pergeseran lempeng sehingga menciptakan lahan basah luas guna mendukung nenek moyang pertama untuk mengembangkan diri.
Baca juga: Evolusi Bersama Virus
Sekitar 130.000 tahun lalu, iklim kembali berubah dan ekosistem itu kehilangan daya dukungnya. Nenek moyang kita mulai keluar Afrika dan menyebar ke berbagai penjuru Bumi secara bergelombang, termasuk yang kemudian tiba di Papua setidaknya 50.000 tahun lalu.
Pemodelan kolosal dari epos dua juta tahun terakhir iklim Bumi yang diterbitkan di jurnal Nature pada 13 April 2022 menguatkan teori bahwa perubahan suhu dan lingkungan telah berperan besar dalam migrasi dan evolusi manusia. Dalam studi ini, Axel Timmermann, fisikawan iklim di Pusan National University dan tim menjalankan model iklim di superkomputer.
Mereka menggunakan simulasi yang menggabungkan perubahan iklim ini dengan berbagai jejak arkeologis. Hasilnya, sebaran fosil dan tinggalan arkeologis itu tidak terdistribusi secara acak, tapi mengikuti pola yang tumpang tindih dengan perubahan iklim yang didorong oleh siklus pergerakan Bumi di masa lalu.
Model tersebut menunjukkan bahwa spesies kita berevolusi ketika H. heidelbergensis di Afrika mulai kehilangan habitat yang dapat ditinggali selama periode hangat yang tidak biasa. Populasi inilah yang kemudian berevolusi menjadi H. sapiens dengan beradaptasi pada kondisi yang lebih panas dan lebih kering.
Berikutnya, nenek moyang kita terus berevolusi bersama fluktuasi iklim antara zaman es dan periode hangat yang berselang-seling. Hingga zaman es terakhir ini berakhir sekitar 10.000 tahun yang lalu, yang kemudian melahirkan Revolusi Pertanian.
Infografik Kronologi Proyek Genom Manusia
Sebelum lapisan es mencair, permukaan laut sekitar 120 meter lebih rendah dari hari ini, yang memungkinkan manusia bermigrasi ke seluruh dunia. Ke mana pun mereka pergi, nenek moyang kita membentuk ulang bentang alam, pertama dengan membuka hutan dan kemudian melalui praktik pertanian awal.
Baca juga: Perubahan Iklim Membentuk dan (Bisa) Memusnahkan Manusia
Ahli paleoklimatologi William Ruddiman menyebutkan, penebangan pohon guna memperluas pertanian ini menyebabkan peningkatan awal karbon dioksida di atmosfer. Itu berkontribusi pada iklim yang stabil selama 10.000 tahun terakhir dengan menangkal tren penurunan kadar karbon dioksida yang bisa memicu peristiwa glasiasi berikutnya (Global Policy, 24 Februari 2021).
Dengan membentuk ulang lanskap, nenek moyang kita secara aktif membangun relung yang mereka huni. Proses ini merupakan aspek penting dari perubahan evolusioner, menciptakan dinamika umpan balik yang penting antara spesies yang berevolusi dan lingkungannya.
Ketika manusia berevolusi, tuntutan populasi yang terus bertambah, penciptaan pengetahuan yang terkait, dan penggunaan energi menciptakan siklus umpan balik yang disebut Manfred Laubichler, ahli biologi evolusi dari Arizona State University sebagai mesin Antroposen (The Conversation, 3 November 2022).
Krisis iklim
Mesin Antroposen ini telah menjadi penggerak utama munculnya peradaban modern, namun juga memicu berbagai masalah lingkungan yang kita hadapi saat ini, termasuk perubahan iklim.
Ahli biologi Paul Ehrlich memperingatkan dalam bukunya The Population Bomb (1968), permintaan global yang meningkat untuk sumber daya yang terbatas akan menyebabkan keruntuhan masyarakat. Berbagai laporan iklim menyebutkan pertumbuhan penduduk sebagai pendorong peningkatan gas rumah kaca.
Infografik Dampak Krisis Iklim terhadap Kesehatan Masyarakat
Namun, perubahan iklim sebenarnya tidak serta-merta disebabkan pertumbuhan penduduk.
Analisis dari World Inequality Lab, yang dipimpin oleh Paris School of Economics dan University of California di Berkeley menunjukkan, 10 persen dari populasi dunia, yang berarti sekitar 800 juta orang, bertanggung jawab atas sekitar setengah dari semua emisi gas rumah kaca.
Bumi masih cukup menampung populasi manusia, namun tidak akan pernah cukup untuk memenuhi keserakahan sedikit orang.
Sementara itu, kalangan penduduk termiskin dunia hanya menyumbang 12 persen dari semua emisi. Analisis termasuk didasarkan pada pola makan, kepemilikan moda transportasi, saham, dll.
Baca juga: Perubahan Iklim Menjadi Krisis Iklim
Hal ini bukan sekadar pemisahan negara kaya versus miskin, karena ada penghasil emisi besar di negara miskin, dan penghasil emisi rendah di negara kaya. Saat ini, 1 persen orang terkaya, sekitar 80 juta orang yang berpenghasilan 109.000 dollar AS per tahun, merupakan kelompok sumber emisi yang tumbuh paling cepat.
Mereka tinggal di seluruh dunia, dengan sekitar 37 persen di AS dan masing-masing lebih dari 4,5 persen di Brasil, China, termasuk di Indonesia.
Menurut perhitungan Global Footprint Network dan WWF, jika semua orang di planet ini hidup dengan gaya hidup seperti rata-rata warga negara India, kita hanya membutuhkan kapasitas 0,8 Bumi per tahun. Jika kita semua mengonsumsi seperti penduduk Amerika Serikat, kita akan membutuhkan lima Bumi setahun.
Jelas bahwa, dampak manusia yang memicu krisis iklim di planet ini, terutama didorong oleh perilaku kita daripada jumlah kita. Bumi masih cukup menampung populasi manusia, namun tidak akan pernah cukup untuk memenuhi keserakahan sedikit orang.
Tanpa adanya perspektif keadilan iklim ini, Konferensi Tingkat Tinggi iklim COP27 Perserikatan Bangsa-Bangsa yang dimulai pada Minggu (6/11/2022) di Mesir ini, bisa dipastikan akan kembali menemui jalan buntu.
Upaya untuk mengatasi krisis iklim harus dibarengi dengan tuntutan agar negara-negara (baca: orang-orang) kaya untuk memberikan kompensasi kepada negara-negara (orang-orang) miskin yang saat ini bergelut dengan bencana cuaca ekstrem, selain menuntut perubahan pola hidup kita—terutama kalangan berduit—agar lebih berkelanjutan.