Perubahan Iklim Membentuk dan (Bisa) Memusnahkan Manusia
Perubahan iklim di masa lalu memicu migrasi dan memengaruhi evolusi manusia modern atau ”Homo sapiens”. Perubahan iklim yang saat ini telah melanda bisa kembali memicu migrasi massal, bahkan mengancam masa depan manusia.
Oleh
AHMAD ARIF
·6 menit baca
Gagasan bahwa iklim memiliki peran penting dalam evolusi manusia telah muncul setidaknya sejak tahun 1920-an. Raymond Arthur Dart, antropolog Australia, menulis di jurnal Nature (1925) mengenai hal ini setelah temuannya tentang fosil Australopithecus africanus—homo arkaik yang telah punah—di Afrika Selatan pada 1924.
Dart dan para ilmuwan lain berhipotesis, kondisi yang lebih kering telah menyebabkan nenek moyang manusia purba mulai berjalan dengan dua kaki untuk beradaptasi dengan kehidupan di sabana. Iklim dianggap bisa menentukan spesies mana, di mana, dan berapa lama bisa bertahan di lingkungan yang spesifik serta mendorong penyebaran untuk mencari tempat hidup yang paling sesuai.
Sejak saat itu, para ilmuwan berupaya menyajikan bukti bahwa iklim merupakan kekuatan pendorong utama di balik sebagian besar proses evolusi ini. Riset Eva K F Cha, ahli genomik dari Garvan Institute of Medical Research, Australia, dan tim yang diterbitkan di jurnal Nature (2019), menemukan bahwa nenek moyang manusia pertama dari jalur ibu awalnya muncul di sekitar sistem danau purba Makgadikgadi—sekarang Botswana, Afrika—200.000 tahun lalu.
Kajian itu juga menunjukkan, kemunculan manusia modern ini dipicu oleh perubahan iklim dan lingkungan. Sebelum kemunculannya, danau itu mengering karena pergeseran lempeng sehingga menciptakan lahan basah luas dan menjadi ekosistem paling produktif penopang kehidupan.
Ekosistem lahan basah kuno menyediakan lingkungan ekologis stabil bagi nenek moyang pertama manusia modern untuk berkembang selama 70.000 tahun. Saat iklim berubah, nenek moyang kita menyebar dalam dua gelombang: satu kelompok menyebar ke timur laut 130.000 tahun lalu dan yang lain pergi pada migrasi kedua ke barat daya 110.000 tahun lalu.
Berbeda dengan migran timur laut, penjelajah yang ke barat daya lebih berkembang dan populasinya tumbuh pesat. Kelompok yang berjalan ke arah barat itu kemungkinan menjelajah ke berbagai penjuru dunia, termasuk ke Indonesia.
Hasil kajian ini membuktikan bahwa dinamika iklim di masa lalu bukan hanya memicu migrasi, melainkan juga evolusi manusia. Sebuah pemodelan kolosal dari epos dua juta tahun terakhir iklim Bumi memberikan bukti baru bahwa perubahan suhu dan kondisi planet di masa lalu telah berperan besar dalam sejarah evolusi manusia. Temuan dipublikasikan di jurnal Nature pada 13 April 2022.
Dalam studi ini, Axel Timmermann, fisikawan iklim di Pusan National University di Korea Selatan, dan rekan-rekannya menjalankan model iklim di superkomputer selama enam bulan untuk merekonstruksi bagaimana suhu dan curah hujan membentuk sumber daya yang tersedia bagi manusia hingga beberapa juta tahun lalu. Secara khusus, para peneliti kemudian memeriksa bagaimana fluktuasi jangka panjang dalam iklim yang disebabkan oleh gerakan astronomi Bumi mungkin telah menciptakan kondisi untuk memacu evolusi manusia.
Dorongan dan tarikan planet lain telah mengubah posisi Bumi dalam mengorbit matahari dan inilah yang memicu perubahan iklim masa lalu. Pemodelan Timmermann menunjukkan, kemiringan Bumi berosilasi dan hal ini memengaruhi intensitas musim serta mengubah pola hujan.
Dan, lebih dari siklus 100.000 tahun, Bumi beralih dari orbit yang lebih melingkar, yang membawa lebih banyak sinar matahari dan musim panas yang lebih lama, menjadi memiliki orbit yang lebih elips, yang mengurangi sinar matahari dan dapat menyebabkan periode pembentukan glasial.
Timmermann dan rekan-rekannya menggunakan simulasi yang menggabungkan perubahan-perubahan ini serta kemudian menggabungkan hasilnya dengan ribuan fosil dan bukti arkeologis lain untuk mencari tahu di mana dan kapan enam spesies manusia—termasuk Homo erectus awal dan Homo sapiens—bisa bertahan hidup.
Timmermann menemukan beberapa pola menarik. Misalnya, spesies manusia purba, Homo heidelbergensis, mulai memperluas habitatnya sekitar 700.000 tahun yang lalu. Beberapa ilmuwan berpendapat bahwa spesies ini mungkin telah memunculkan banyak spesies lain di seluruh dunia, termasuk Homo neanderthalensis di Eurasia dan H. sapiens di Afrika.
Model tersebut menunjukkan bahwa distribusi H. heidelbergensis di seluruh dunia dimungkinkan karena orbit yang lebih elips menciptakan kondisi iklim yang lebih basah yang memungkinkan spesies tersebut bermigrasi lebih luas. Simulasi juga menunjukkan bahwa daerah yang paling layak huni, dalam hal iklim, bergeser dari waktu ke waktu, dan catatan fosil juga ikut terlacak.
”Koleksi tengkorak dan peralatan global tidak terdistribusi secara acak pada waktunya,” kata Timmermann, sebagaimana ditulis Nature. ”Ini mengikuti pola yang tumpang tindih dengan perubahan iklim yang didorong oleh pergerakan Bumi.”
Timmermann dan rekan-rekannya mengatakan bahwa rekonstruksi iklim mereka mendukung hipotesis jalur evolusi tunggal sebagaimana ditemukan Cha dan tim. Model tersebut menunjukkan bahwa spesies kita berevolusi ketika H. heidelbergensis di Afrika mulai kehilangan habitat yang dapat ditinggali selama periode hangat yang tidak biasa. Populasi inilah yang kemudian berevolusi menjadi H. sapiens dengan beradaptasi pada kondisi yang lebih panas dan lebih kering.
Sejumlah kajian ilmiah ini membuktikan bahwa perubahan iklim di masa lalu telah memicu migrasi massal, bahkan evolusi manusia modern. Laporan Kelompok Kerja II Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) pada Februari 2022 telah memperingatkan bahwa perubahan iklim yang tengah melanda juga bakal mengancam masa depan manusia.
David Wrathall, pakar perubahan lingkungan dan migrasi manusia dari Oregon State University (OSU) yang turut menulis laporan ini, menyebutkan, perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia telah memengaruhi kehidupan alam dan mata pencarian miliaran orang di seluruh dunia. ”Risiko dari perubahan iklim ini diperkirakan akan meningkat secara substansial selama 20 tahun ke depan dan seterusnya,” Wrathall.
Sejumlah kajian juga telah menunjukkan bahwa peningkatan suhu global yang telah mencapai 1,1 derajat celsius dibandingkan dengan 1850 telah memicu perubahan iklim global, salah satunya berupa meningkatnya intensitas bencana. Misalnya, penelitian Kevin A Reed dari School of Marine and Atmospheric Sciences di Nature Communication (2022) menunjukkan, musim badai tropis di Samudra Atlantik pada 2020 lebih dahsyat, dengan intensitas hujan yang diturunkan lebih tinggi sehingga lebih mematikan. Dengan tren ini, banyak kawasan di dunia, khususnya kawasan pesisir, bakal semakin sulit dihuni.
Bahkan, tanpa bencana, kenaikan suhu juga bakal memicu migrasi. Dalam sejarah manusia, orang cenderung hidup dalam kisaran suhu yang sangat sempit, di tempat-tempat di mana iklim mendukung produksi makanan yang melimpah. Menurut studi Chi Xu dari Nanjing University dan tim yang diterbitkan di jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences (2020), peningkatan suhu global bisa lebih besar dalam 50 tahun ke depan daripada yang terjadi dalam 6.000 tahun terakhir digabungkan.
Pada tahun 2070, jenis zona yang sangat panas, seperti di Sahara, yang sekarang menutupi kurang dari 1 persen permukaan tanah Bumi dapat menutupi hampir seperlima daratan, berpotensi menempatkan satu dari setiap tiga orang hidup di luar ceruk iklim di mana manusia telah berkembang selama ribuan tahun. Banyak yang akan menderita karena panas, kelaparan, dan kekacauan politik, tetapi yang lain akan dipaksa untuk bermigrasi.
Bahkan, saat ini sebagian penduduk Bumi sudah mulai mengungsi. Di Asia Tenggara, di mana curah hujan monsun yang semakin tak terduga dan kekeringan telah membuat pertanian menjadi lebih sulit, Bank Dunia (2020) menunjukkan, lebih dari 8 juta orang telah pindah ke Timur Tengah, Eropa, dan Amerika Utara. Di Sahel, Afrika, jutaan orang perdesaan telah mengalir ke pantai dan kota-kota di tengah kekeringan dan kegagalan panen yang meluas.
Dengan tren kenaikan suhu yang terus meningkat, masa depan manusia, bahkan seluruh kehidupan spesies di muka Bumi ini, bakal terancam....