Semenanjung Korea telah menjelma menjadi ajang perang proksi yang semakin menegangkan.
Oleh
Redaksi
·3 menit baca
Tembakan rudal dari Korea Utara ke Korea Selatan dibalas balik. Ini menandakan Semenanjung Korea menjadi ajang persaingan yang turut menyeret para sekutu.
Aksi saling kecam bermunculan dari para pihak. Kementerian Korut, 1 November, mengatakan, tembakan itu merupakan jawaban atas provokasi Amerika Serikat-Korsel yang melakukan latihan militer di dekat wilayahnya. Jubir Kementerian Luar Negeri China, Zhao Lijian, Rabu (2/11/2022), menyatakan, China memantau situasi. Perwakilan permanen China di PBB, Zhang Jun, mengingatkan, perangai Korut terpengaruh oleh AS yang mengenakan sanksi dan latihan militer dengan Korsel.
Wakil Menlu Korsel Cho Hyun-dong dan Wakil Menlu AS Wendy Sherman, Kamis (3/11/2022), serentak menyatakan ulah Korut serius dan tidak bermoral. Jepang menegaskan, lewat PM Fumio Kishida, langkah Korut tidak bisa dimaafkan.
Tentu ada seruan agar Semenanjung Korea menjadi ajang damai. Henry Kissinger, mantan Menlu AS, menyerukan agar Presiden Joe Biden dan Presiden Xi Jinping duduk bersama.
Namun, ada dilema di tengah persaingan kekuatan antara China dan AS yang menuju puncaknya. ”Hidup saling akrab bukan takdir kekuatan yang saling bersaing,” demikian pakar hubungan internasional dari University of Chicago, John Mearsheimer, dalam berbagai kesempatan.
Korsel yang terjebak dalam pertarungan ingin menemukan solusi, demikian juga Jepang. Jawaban Mearsheimer kepada Yonhap pada 20 Maret 2018 adalah persaingan akan meningkat. Jawaban serupa dia sampaikan kepada Nikkei Asia, 21 Februari 2022. Ketegangan akan menjadi warna di Asia Pasifik, terutama di Laut China Selatan, Taiwan, dan Semenanjung Korea. Lagi-lagi hal itu terbukti.
Argumentasi Mearsheimer yang beraliran realis ofensif, salah satu takdir kekuatan global adalah memastikan tidak ada pesaing di kawasannya. AS, yang malang melintang begitu leluasa di Asia Pasifik, kini menghadapi kekuatan baru. China ingin merevisi tatanan lama. Selain merevisi, kekuatan baru ingin mengubah pola permainan di kawasan. Intinya, China ingin AS tergusur dari Asia Pasifik. Oleh karena itu, China tidak akan meminta Korut menghilangkan perlombaan senjata. Korut jadi penyangga bagi keamanan China.
Sebaliknya Korsel dan Jepang sulit menerima China dan mau tidak mau memilih AS. Sebab, mereka tidak ingin dominasi China menguat di kawasan. Dengan demikian, Semenanjung Korea telah menjelma menjadi ajang perang proksi yang semakin menegangkan. Ini merupakan pengulangan dari niat Jenderal Douglas MacArthur, yang pada dekade 1950-an ingin menekan China.
Bagaimana solusi dari semua itu? Mearsheimer mengatakan, risiko perang sangat tinggi di tengah persaingan yang makin intensif. Namun, ia juga mengatakan, pertarungan dua kekuatan tidak akan selalu berakhir dengan perang nyata meski tidak mustahil. Sarannya, pintar-pintarlah semua pihak yang bertikai mengelola ketegangan.