Tantangan COP 2 yang cukup berat kali ini adalah memastikan tidak ada kemunduran komitmen dibandingkan pada tahun sebelumnya di Glasgow karena banyak negara di dunia saat ini bergulat dengan krisis pangan, krisis energi,
Oleh
DODDY SURACHMAN SUKADRI
·5 menit baca
Ribuan negosiator iklim yang mewakili hampir 200 negara di dunia bertemu setiap tahun, dalam pertemuan puncak perubahan iklim yang disebut Committee on Parties (COP). Pertemuan ini juga menarik puluhan ribu aktivis, pengamat, pengusaha, media.
Ini menjadikannya yang terbesar di dunia dibandingkan dengan pertemuan lainnya di bawah naungan PBB. Pertemuan COP adalah sarana di mana komunitas global mengoordinasikan tindakan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca yang memicu pemanasan global dan menyebabkan perubahan iklim di planet Bumi.
Mengawal ambisi di tengah depresi
COP ke-27 (COP27) dijadwalkan akan diadakan pada 7-18 November 2022 di kota Sharm el-Sheikh, Mesir. Tantangan yang cukup berat kali ini adalah memastikan tidak ada kemunduran komitmen dibandingkan pada COP26 tahun sebelumnya di Glasgow karena banyak negara di dunia saat ini bergulat dengan krisis pangan, krisis energi, dan inflasi tinggi akibat perang Rusia-Ukraina.
Menteri Luar Negeri Mesir Sameh Shoukry yang ditunjuk sebagai presiden COP27 mengingatkan, COP kali ini akan diadakan dalam situasi geopolitik yang sulit, dengan kondisi dunia yang prihatin menghadapi tantangan energi dan pangan.
Kondisi ini akan berdampak pada tingkat ambisi dan dapat menyebabkan gangguan terhadap prioritas perubahan iklim.
Sebagai negara Afrika pertama yang menjadi tuan rumah pertemuan COP dalam enam tahun terakhir, Mesir juga ingin memfokuskan pada bagaimana negara-negara berkembang dapat memperoleh dana untuk beradaptasi dengan perubahan iklim dan untuk membiayai transisi energi hijau.
Shoukry mengatakan, fokus utama COP27 adalah untuk “meningkatkan ambisi reduksi emisi” dan menegaskan “tidak ada kemunduran” dari komitmen dan janji yang dibuat di per -temuan puncak sebelumnya.
COP26 di Glasgow tahun lalu adalah yang pertama terjadi setelah pandemi Covid-19 merebak. Saat itu, COP26 dihadiri oleh 40.000 peserta dan 120 pemimpin dunia. Diharapkan tahun ini pesertanya tidak kurang dibandingkan tahun lalu.
Tujuan COP ini terutama adalah untuk membatasi kenaikan suhu rata-rata global yang diperkirakan mencapai sekitar 2,7 derajat celsius atau lebih pada akhir abad ini, dibandingkan suhu bumi rata-rata masa pra-industri.
Padahal, peningkatan suhu maksimal adalah 2,0 derajat celsius dan idealnya mendekati 1,50 derajat celsius untuk menghindari bencana iklim yang lebih besar yang mengancam kehidupan, seperti yang kita kenal sekarang.
Situasi geopolitik tak menguntungkan
Perjuangan global untuk mengatasi perubahan iklim bergesekan dengan pergulatan perebutan bahan bakar fosil, ketika Eropa mencoba menjauh dari penggunaan minyak, gas, dan batubara Rusia. Hal ini telah menyebabkan harga gas alam melonjak dan banyak negara kemudian beralih ke batubara.
Padahal, batubara adalah bahan bakar fosil paling kotor dan mengancam upaya-upaya yang saat ini tengah digalakkan yaitu pembangunan ekonomi hijau, dekarbonisasi dan penggunaan energi yang terbarukan.
Turunnya biaya energi terbarukan harus mengarah pada investasi besar ke dalam bentuk energi yang lebih bersih. Akan tetapi, situasi geopolitik saat ini menunjukkan peralihan ke energi terbarukan akan makan waktu lebih lama daripada yang diantisipasi komunitas global.
Inti masalahnya, adalah bagaimana negara-negara berkembang dapat menerapkan transisi ini sambil memastikan pertumbuhan ekonominya tak terpengaruh. Di Glasgow tahun lalu, negara-negara miskin yang menderita dampak perubahan iklim yang lebih besar, berpendapat bahwa mereka tidak boleh kehilangan kesempatan untuk mengeksploitasi cadangan minyak dan gas mereka.
Sejak itu, mereka telah menekankan bahwa prioritas pertemuan tahun ini adalah membuat negara-negara kaya membayar lebih untuk membantu mereka bertransisi ke energi bersih yang terbarukan.
Ketergesaan Eropa untuk membeli gas alam Afrika, sementara Afrika sendiri tertinggal di belakang dalam pendanaan infrastruktur hijau dan jaringan pipa gas serta pembangkit listrik, membuat negara-negara seperti Angola, Nigeria atau Senegal lebih tertarik pada bahan bakar fosil yang lebih kotor dan menunda akses listrik bagi ratusan juta orang.
Perkiraan terbaru, kebutuhan dana untuk membiayai tujuan iklim di negara-negara berkembang mencapai 6 triliun dollar AS hingga 2030.
Perkiraan terbaru, kebutuhan dana untuk membiayai tujuan iklim di negara-negara berkembang mencapai 6 triliun dollar AS hingga 2030. Di bawah Kesepakatan Paris, negara-negara maju pada 20202 setuju menyediakan sekitar 100 miliar dollar AS per tahun, tetapi hingga kini gagal memenuhinya. Apalagi di tengah tengah krisis pangan dan energi yang sedang terjadi saat ini.
Negara-negara berkembang menginginkan pembicaraan tentang keuangan tidak hanya terbatas pada pendanaan mitigasi dan adaptasi terhadap planet Bumi yang semakin memanas. Mereka juga menginginkan diskusi tentang apa yang dikenal dalam jargon diplomasi iklim sebagai “loss and damage“ (kerugian dan kerusakan) akibat bencana iklim.
Itu berarti negara-negara maju yang sebagian besar bertanggung jawab terhadap perubahan iklim, perlu mengompensasi beberapa kerusakan yang diderita oleh negara-negara miskin dan rentan akibat bencana iklim.
Apa yang bisa dilakukan?
Peran penting para negosiator perubahan iklim yang akan berkumpul di Mesir bulan ini adalah untuk mendorong dan memobilisasi aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.
Peran Sameh Shoukry sebagai presiden COP27 yang sesungguhnya adalah memimpin dan mendorong dialog untuk menghasilkan kemajuan yang lebih berarti dalam COP kali ini. Interaksi antara pemerintah dan para aktor non-pemerintah (LSM, akademisi, praktisi) di seluruh dunia sangat penting dilakukan untuk memastikan partisipasi mereka dalam mencapai tujuan emisi nol bersih pada pertengahan abad ini.
Transisi dari penggunaan bahan bakar fosil ke energi terbarukan harus dipastikan terus berlanjut. Kebijakan-kebijakan hijau seperti kendaraan listrik, pajak karbon dan lainnya perlu terus didorong, dan perlu dicontohkan oleh pemerintah.
Dalam hal ini pemerintah perlu memberikan contoh rantai pasok yang ramah lingkungan, misalnya dengan mengurangi mobilitas dan perjalanan dinas serta menambah jam kerja di rumah. Hal seperti inilah nampaknya yang akan membantu mengurangi emisi dan membantu solusi iklim.
Doddy Surachman Sukadri Direktur Eksekutif Yayasan Mitra Hijau; Mantan Negosiator COP UNFCCC; dan Pengamat Perubahan Iklim