Pembalakan menjadi sumber utama emisi dari pengelolaan oleh pemegang konsesi hutan. Demi mencapai target pengurangan emisi nasional, perlu pembenahan dari pengelola konsesi dan penerapan pemanenan berdampak rendah.
Oleh
DELON MARTHINUS
·4 menit baca
SUPRIYANTO
Ilustrasi
Setiap tahun, para pemimpin dunia, ilmuwan, pegiat lingkungan hidup, dan pemangku kepentingan terkait perubahan iklim duduk bersama dalam sebuah konvensi global. Konvensi tahunan ini bernama Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Perubahan Iklim (United Nations Framework Convention on Climate Change/UNFCCC).
Hasil keputusan konvensi ini mengacu pada Pertemuan Para Pihak (Conference of the Parties/COP) yang merumuskan kebijakan untuk mempertahankan target pembatasan pemanasan global pada 1,5 derajat celsius (2,7 fahrenheit) di atas tingkat praindustri. Tahun ini menjadi tahun ke-27 apabila COP nanti diadakan di pengujung 2022.
Lantas, langkah apa saja yang sudah dilakukan dunia, ataupun Indonesia, dalam komitmennya menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK)?
Tinggal satu dasawarsa lagi komitmen Indonesia diuji dalam upaya mencegah krisis iklim yang memburuk. Komitmen Indonesia telah dikukuhkan melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 tentang Persetujuan Paris atas UNFCCC. Bahwa segala aksi mitigasi dan adaptasi yang dilakukan Pemerintah Indonesia sudah tercatat dalam dokumen Kontribusi yang Ditetapkan secara Nasional (Nationally Determined Contribution/NDC).
Target pengurangan emisi GRK di Indonesia sebesar 29 persen tanpa syarat (dengan usaha sendiri) dan 41 persen bersyarat (dengan dukungan internasional yang memadai) pada tahun 2030. Berdasarkan NDC Indonesia, kontribusi penurunan emisi dari sektor kehutanan dan penggunaan lainnya (forestry and other land uses/FOLU) sebesar 59,76 persen atau 714 juta ton setara CO2.
Komitmen pencapaian penurunan emisi GRK dari sektor FOLU ini pun dikukuhkan dalam inisiasi Indonesia FOLU Net Sink 2030, yakni suatu kondisi di mana tingkat penyerapan emisi karbon dari sektor FOLU lebih tinggi ketimbang emisi yang dilepaskan. Salah satu aksi mitigasi sektor FOLU adalah pengelolaan hutan lestari yang dilakukan melalui penerapan multiusaha kehutanan, penerapan pemanenan berdampak rendah (reduced impact logging/RIL), dan penerapan teknik silvikultur insentif (SILIN).
Penerapan RIL-C
Selama ini pembalakan menjadi sumber utama emisi dari pengelolaan oleh pemegang konsesi hutan. Hal ini disebabkan praktik pemanenan yang tidak terencana dengan baik. Contohnya, pembalakan dengan buldoser yang dilakukan tanpa persiapan peta pemanenan, atau operator gergaji mesin yang tidak memahami arah tebangan sehingga merusak pohon di sekitarnya.
Jurnal dari Global Change Biology terbitan 2014 menyatakan bahwa RIL-C atau reduced impact logging-carbon dapat mengurangi emisi karbon dioksida sebanyak 30-50 persen. Penelitian yang dilakukan oleh Griscom et al tersebut menghitung dampak penerapan RIL-C pada sembilan pemegang izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu-hutan alam (IUPHHK-HA) di Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara.
Selama ini pembalakan menjadi sumber utama emisi dari pengelolaan oleh pemegang konsesi hutan.
Namun, apa itu RIL-C? RIL-C adalah pengembangan metode pemanenan berdampak rendah (RIL) yang dilengkapi dengan serangkaian praktik terbaik untuk memaksimalkan penurunan emisi sehingga menjadi RIL-C dengan C diambil dari kata carbon. Praktik-praktik yang diaplikasikan antara lain plunge test (menusuk batang kayu untuk mendapatkan kayu yang bagus/tidak berongga) agar tidak ada tebangan yang ditinggalkan sebagai limbah, penggunaan cable yarding (mesin pancang tarik), mengurangi lebar koridor jalan angkutan kayu. Selanjutnya, dilakukan audit dan penghitungan penurunan emisi.
Dengan adanya perhitungan tersebut, dapat diestimasi kontribusi RIL-C dalam target NDC Indonesia. Yayasan Konservasi Alam Nusantara mengestimasi dampak penurunan emisi dari RIL-C pada 200 konsesi kehutanan di wilayah Kaltim dan Kaltara yang masih aktif dengan basis data dari jurnal Global Change Biology (2014).
Apabila setiap konsesi memiliki rencana kerja tahunan sekitar 1.500 hektar (ha) per tahun, akan ada sekitar 300.000 ha hutan yang siap dipanen kayunya. Rata-rata emisi yang dikeluarkan dari proses pembalakan tersebut diperkirakan sekitar 33 juta TCO2-e.
Apabila diterapkan RIL-C yang berdasarkan penelitian Grimson et al berpotensi mengurangi emisi sebesar 40 persen, maka dapat dilakukan pengurangan emisi sekitar 13 juta TCO2-e per tahun. Besaran angka ini tentu menyumbang signifikan terhadap target penurunan emisi FOLU sebesar 714 juta ton setara karbon dioksida pada 2030.
Namun, untuk mencapai target penurunan emisi dari RIL-C, masih ada sejumlah pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Saat ini penerapan metodologi RIL-C belum menjadi kewajiban dalam sertifikasi pengelolaan hutan berkelanjutan.
Ada dua model sertifikasi pengelolaan hutan yang telah dikenal, yaitu sertifikasi Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) dan sertifikasi Forest Stewardship Council (FSC). Dua sertifikasi ini memberikan nilai tambah bagi produk kayu yang dihasilkan perusahaan karena telah menerapkan praktik pengelolaan hutan secara legal, baik, dan lestari.
Sementara itu, pemegang konsesi yang telah menerapkan RIL-C saat ini hanya mendapatkan sertifikat verifikasi penurunan emisi. Memang, sertifikat verifikasi ini membantu dalam mempertahankan sertifikasi PHPL dan FSC yang telah dicapai perusahaan. Akan tetapi, tanpa adanya kewajiban ataupun insentif bagi perusahaan untuk menerapkan RIL-C, metode ini bisa saja diabaikan.
Demi mencapai target pengurangan emisi nasional, pembenahan dari pengelola konsesi dan penerapan pemanenan berdampak rendah perlu ditegakkan di seluruh Indonesia. RIL-C dapat menjadi metodologi yang andal untuk menghitung kontribusi penurunan emisi yang efektif secara biaya dibandingkan pemanenan konvensional.
Delon Marthinus, Manajer Senior Hutan Produksi Yayasan Konservasi Alam Nusantara