Memilih Calon Presiden
Tidak semua aspek pemerintahan Jokowi merupakan gambaran yang seluruhnya cerah. Bahkan, kalau tidak diperbaiki dalam waktu yang tersisa bagi Jokowi, bisa mewariskan sebuah legacy buruk kepada penggantinya . Apa saja itu?
Pemilihan umum serentak, pemilu presiden dan legislatif, sudah makin mendekat. Pelaksanaannya telah ditetapkan jatuh pada Rabu, 14 Februari 2024. Sekitar 16 bulan lagi.
Suasana persaingan politik, khususnya untuk pemilihan umum presiden (pilpres), makin memanas.
Banyak sudah analisis, ramalan, dan survei atas elektabilitas beberapa calon presiden potensial. Tidak ketinggalan berbagai komentar berupa dukungan atau hujatan terhadap calon yang diperhitungkan bakal bersaing, baik dalam bentuk meme, ungkapan yang santun, maupun bahasa yang mengusik selera manusia beradab.
Sejauh ini, kita belum mendengar program dari para bakal calon presiden (bacapres) yang nama-namanya sering muncul dalam radar lembaga survei. Penyebabnya, masa kampanye resmi —termasuk debat antarcalon—memang belum dimulai. Oleh karena itu, dukungan dan hujatan terhadap bacapres sejauh ini lebih banyak berupa luapan emosi daripada pertimbangan rasional.
Keberpihakan berdasarkan pertimbangan emosional, suka-tidak suka, ini bila tak terkendali bisa berbahaya.
Polarisasi bangsa
Keberpihakan berdasarkan pertimbangan emosional, suka-tidak suka, ini bila tak terkendali bisa berbahaya. Bisa menjurus ke polarisasi tajam, instabilitas, dan perpecahan bangsa. Lebih lagi bila pertimbangan agama, suku, dan etnis ikut jadi dasar keberpihakan itu.
Tanda-tanda ke arah itu mulai tampak. Para elite penanggung jawab negeri ini dari sekarang sudah harus memikirkan langkah-langkah apa yang diperlukan untuk menjaga kedamaian dalam pesta demokrasi lima tahunan ini.
Nasib negeri kita selama lima tahun, sejak 2024 nanti, tentu saja akan banyak bergantung kepada pilihan rakyat. Namun, sebelum itu, tanggung jawab ada di tangan partai politik yang akan menentukan siapa saja yang akan disajikan kepada rakyat untuk dipilih.
Dengan undang-undang terbaru tentang ambang batas jumlah suara atau jumlah perolehan kursi di DPR yang cukup ketat sebagai syarat partai atau gabungan partai untuk bisa mengajukan calon, rakyat pemilih jadi terbatas kebebasannya untuk menentukan siapa yang dianggap terbaik untuk memimpin negeri ini. Idealnya partai akan mengusung capres atas dasar pertimbangan karakter dan integritas calon yang sekaligus juga memahami masalah pokok dan tantangan ke depan negeri ini.
Paham tentang berbagai prinsip penyelenggaraan negara yang baik, seperti akuntabilitas, keterbukaan, dan partisipasi publik, kemampuan memilih pembantu yang cakap dan jujur, inspiratif, penegakan hukum yang efektif dan adil, inklusif, kemampuan manajerial yang mumpuni, serta berbagai kualifikasi seorang pemimpin yang negarawan.
Sayang sekali, yang lebih sering terjadi bukan seperti yang kita harapkan.
Partai politik lebih condong mengangkat siapa yang diperkirakan akan menang dalam pilpres mendatang. Buat partai, politik adalah soal menang kalah. Bukan sepenuhnya baik buruk. Calon dukungan yang menang diharapkan akan memberi balas jasa dalam bentuk jabatan kekuasaan di pemerintah. Sementara hasil survei lebih sering ditentukan oleh citra calon yang sesuai dengan selera dan sentimen publik.
Pilpres 2024
Kita bisa merancang berbagai macam survei dan analisis siapa kira-kira yang akan menjadi favorit pilihan rakyat di 2024 nanti dengan mengelompokkan publik pemilih ke dalam berbagai kategori, seperti tingkat pendidikan, latar belakang budaya, suku, tingkat pendapatan, dan jender. Namun, yang terjadi di masyarakat pemilih saat ini tampaknya ada pengelompokan dalam bentuk lain yang sejauh ini belum pernah menjadi sasaran survei.
Meski Joko Widodo (Jokowi) tak bisa maju lagi sebagai capres karena dibatasi oleh konstitusi, Jokowi yang sampai saat ini popularitasnya masih cukup tinggi, baik disengaja maupun tidak, telah melahirkan munculnya pengelompokan baru. Kelompok pro memilih ”Jokowi baru” dan kelompok kontra Jokowi.
Sebagian publik percaya bahwa yang akan unggul nanti adalah capres yang didukung Jokowi, yang akan meneruskan gaya dan kebijakan Jokowi yang dianggap sukses.
Tidak sepenuhnya salah bila pilihan untuk presiden baru nanti jatuh kepada calon yang berjanji untuk meneruskan kebijakan Jokowi, karena bagi banyak warga, Jokowi dianggap telah sukses memimpin negeri ini selama hampir dua periode ini. Berbagai bidang yang sering dijadikan contoh antara lain pembangunan infrastruktur seperti jalan tol, bandara, dan sejenisnya.
Baca juga : Kriteria Pemimpin Kita
Baca juga : Transformasi Kepemimpinan Nasional
Juga, stabilitas ekonomi dan keamanan, khususnya dalam mengamankan negeri dari gangguan unsur-unsur ekstremis dan radikal keagamaan. Penyebaran pembangunan di daerah-daerah yang jauh dari Jawa sebagai pusat pemerintahan. Tak kalah penting, gaya kepemimpinan yang merakyat dan rendah hati menjadi daya tarik tersendiri.
Meski demikian, sesukses apa pun seorang presiden, pasti masih banyak sisi pengelolaan dan kebijakan pemerintahannya yang dianggap gagal. Setelah dua periode atau sepuluh tahun di bawah seorang presiden, juga selalu ada rasa jenuh terhadap sang pemimpin yang dirasakan oleh bagian publik yang lain. Mereka ingin wajah dan gaya baru meski wajah baru belum tentu akan lebih baik daripada yang digantikan.
Karena itu, di banyak negara, seorang calon presiden dari partai yang berbeda sering kali memenangi kontes dalam pemilu ketika dia mampu menunjukkan identitas yang berbeda dan program serta kebijakan yang bertentangan dengan pemimpin yang digantikan.
Bagaimana dengan kasus pilpres kita mendatang? Seperti disinggung di atas, tidak semua aspek pemerintahan Jokowi merupakan gambaran yang seluruhnya cerah. Bahkan, kalau tidak diperbaiki dalam waktu pendek yang tersisa bagi Jokowi, bisa mewariskan sebuah legacy buruk kepada penggantinya untuk ditanggulangi. Apa saja itu?
Ilustrasi
Undang-undang (UU) baru yang melemahkan upaya pemberantasan korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK); kasus kriminal, narkoba, judi online yang melanda aparat penegak hukum; menurunnya kualitas demokrasi kita dengan sering terbatasinya partisipasi dalam pembuatan UU yang pro pengusaha besar di DPR.
Juga berbagai pemborosan seperti rencana pemindahan ibu kota negara yang terkesan terlalu dipaksakan, gagalnya proyek lumbung pangan di Kalimantan, dan banyak lagi.
Belum lagi kita bicara tentang kelemahan Presiden Jokowi dalam menempatkan para pembantunya di kabinet dan institusi penting lain. Meski ada beberapa pembantunya yang berprestasi, sebagian besar menteri yang dipilihnya lebih atas pertimbangan balas jasa politik daripada keahlian, teknokrasi, dan integritas.
Faktor pembeda
Poin yang akan disampaikan di sini adalah bahwa berbagai kelemahan dan kekurangan Presiden ini bisa dijadikan bahan bagi capres yang cerdas untuk menarik garis perbedaan antara dia dan Jokowi dan meyakinkan pemilih bahwa memilih capres fotokopi Jokowi tak berarti menjamin kesejahteraan rakyat.
Dengan kata lain, mengatakan bahwa mereka yang dianggap sejalan dengan Jokowi akan meraih keunggulan dibandingkan mereka yang berseberangan dengan presiden sekarang, belum tentu benar. Bergantung kepada bagaimana capres lawannya bisa menawarkan kepribadian dan program alternatif yang dianggap akan menimbulkan harapan baru bagi masyarakat pemilih.
Namanya saja pemilihan umum. Jadi harus ada pilihan di antara calon-calon yang berbeda. Kalau semuanya sama atau mirip-mirip, akan sama saja dengan pemilu pura-pura di beberapa negeri otoriter yang dipropagandakan sebagai demokrasi. Partai politik pengusung capres juga harus berani menampilkan capres yang unik dan berbeda sebagai lawan tanding.
Partai politik pengusung capres juga harus berani menampilkan capres yang unik dan berbeda sebagai lawan tanding.
Setelah 24 tahun sejak Reformasi dan menerapkan sistem bernegara yang menaruh rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi, demokrasi kita belum juga tumbuh sesuai dengan harapan banyak pihak. Karena itu, pemilu lima tahunan kita sejauh ini nyaris merupakan satu-satunya kesempatan bagi rakyat mayoritas untuk mengekspresikan aspirasinya dalam bentuk mandat bagi presiden dan partai politik.
Bila hasil akhirnya hanya melahirkan pemimpin yang tidak aspiratif, bukan hanya pemborosan atas biaya pemilu yang besar, melainkan juga kerugian besar bangsa dalam bentuk waktu yang terbuang untuk mengatasi berbagai ketertinggalan kita.
Abdillah TohaPemerhati Politik, Ekonomi, dan Keagamaan