Darurat Cadangan Beras Pemerintah
Per 3 Oktober 2022, jumlah cadangan beras pemerintah di gudang Bulog sebesar 798.013 ton, dan ditargetkan pada akhir tahun sekitar 1 juta-1,2 juta ton. Perlu reformulasi kebijakan perberasan.
Sejumlah pihak mendorong agar Bulog menggenjot pengadaan gabah/beras dari petani domestik untuk memperkuat cadangan beras pemerintah (CBP). Ini krusial sebagai bagian untuk memastikan CBP cukup memadai pada akhir 2022 sebesar 1 juta-1,2 juta ton (Kompas, 10/10/2022).
Per 3 Oktober 2022, jumlah CBP di gudang Bulog yang tersebar di berbagai daerah sebesar 798.013 ton. Pertanyaannya, mungkinkah menyerap gabah/beras domestik hingga CBP akhir tahun sebesar 1 juta-1,2 juta ton? Apakah ada opsi memperkuat CBP akhir tahun?
Dua pertanyaan ini penting dijawab tatkala peluang pengadaan gabah/beras dari produksi domestik amat kecil. Pengalaman berpuluh tahun lalu menunjukkan pengadaan beras terbesar Bulog terjadi saat musim panen raya, periode Februari-Mei, dengan 60-65 persen dari total produksi nasional. Pengadaan kedua terjadi di musim gadu, pada Juni-September, dengan 25-30 persen dari total produksi nasional. Rentang Oktober 2022 hingga Januari 2023 adalah musim paceklik, produksi tidak mencukupi kebutuhan konsumsi.
Baca juga: Ketersediaan Beras Nasional Belum Diketahui, Presiden Perintahkan Mentan Cek Data Faktual Beras
Penyerapan gabah/beras masih dimungkinkan, tetapi jumlahnya tidak memadai. Sebagai gambaran, pengadaan beras sejak September 2022 rerata hanya 500-1.000 ton beras per hari. Padahal, terhitung sejak 2 September lalu diberlakukan harga fleksibilitas, harga gabah kering panen (GKP) di tingkat petani naik dari Rp 4.300 per kg menjadi Rp 4.450 per kg dan beras di gudang Bulog naik dari Rp 8.300 per kg menjadi Rp 8.800 per kg.
Fleksibilitas yang semula hanya diberlakukan hingga 30 November 2022 itu diperpanjang sampai waktu yang belum ditentukan. Akan tetapi, beleid baru ini dipastikan tak membantu pengadaan.
Dengan asumsi tidak ada kebijakan lain, diperkirakan tambahan dari pengadaan sampai akhir tahun hanya mencapai 100.000 ton beras. Di sisi lain, aliran beras CBP keluar gudang lewat operasi pasar bernama Ketersediaan Pasokan dan Stabilisasi Harga (KPSH) amat deras. Pada Agustus dan September 2022, masing-masing sebesar 214.912 ton dan 189.059 ton atau rerata 201.985 ton per bulan.
Harga gabah/beras cenderung naik sejak Agustus 2022, dan diperkirakan terus meninggi menuju akhir tahun 2022 dan Januari 2023. Agar inflasi beras tidak tinggi, volume KPSH perlu diperbesar. Katakanlah volume KPSH setara Agustus-September, sampai akhir tahun volumenya setara 600.000 ton.
Ini berarti, hingga akhir tahun CBP hanya tersisa sekitar 300.000 ton (798.013 ton + 100.000 ton – 600.000 ton). Volume ini amat rendah, jauh dari jumlah aman seperti yang ditarget pemerintah sebesar 1-1,2 juta ton beras.
Di luar operasi pasar bernama KPSH, Kepala Badan Pangan Nasional telah menetapkan Peraturan No 4/2022. Intinya, ada penyaluran CBP untuk kelompok penerima manfaat (KPM) yang masuk di Data Terpadu Kesejahteraan Sosial. Outlet ini hanya berlaku hingga 31 Desember 2022, diperkirakan mencapai 380.000 ton beras. Jika outlet ini terealisasi, CBP akhir tahun akan minus.
Cadangan beras pemerintah yang kecil berpengaruh langsung kepada psikologi pasar, pemerintah lewat Bulog tak memiliki volume memadai untuk mengintervensi pasar.
Outlet 380.000 ton terealisasi atau tidak, CBP dipastikan dalam kondisi darurat. Cadangan beras pemerintah yang kecil berpengaruh langsung kepada psikologi pasar, pemerintah lewat Bulog tak memiliki volume memadai untuk mengintervensi pasar.
Pihak-pihak yang menguasai stok beras dalam jumlah besar bisa leluasa memainkan dan mendikte harga. Jika itu yang terjadi, harga beras potensial naik tinggi, inflasi yang didorong beras juga terkerek tinggi. Ini pertanda peluit bahaya telah berbunyi. Peluit bahaya ini terkait strategisnya beras.
Nilai strategis beras bukan hanya lantaran diusahakan sekitar 13 juta keluarga petani, tetapi tingkat partisipasi konsumsi yang sempurna, 100 persen warga dari Aceh hingga Papua mengonsumsi beras. Dalam struktur pengeluaran rumah tangga, terutama warga miskin, beras mendominasi, rerata 24 persen dari total pengeluaran.
Kala harga beras naik bisa berbuntut panjang, terjadi perebutan di pasar dan panic buying. Hanya warga berkantong tebal yang bisa memborong beras. Tidak terbayang bagaimana kondisi sosial-politik apabila itu terjadi. Bukan mustahil situasi 1997-1998 terulang, rezim bisa tumbang.
Tiga opsi
Setidaknya ada tiga opsi yang terbuka untuk memperbesar jumlah CBP. Pertama, impor beras. Dalam teori stabilisasi harga dan pasokan, kala harga gabah/beras di tingkat petani di atas HPP berarti pelindungan produsen sudah efektif. Sebagai stabilisator, Bulog tak perlu masuk ke pasar. Kalau Bulog masuk ke pasar dan berebut gabah/beras dengan pelaku usaha, harga akan naik. Salah urus akan terjadi seperti saat ini.
Salah urus kian bertumpuk karena penyerapan dilakukan bersamaan dengan operasi pasar. Tak jelas lagi fokusnya, pengadaan atau penyaluran? Masalahnya, opsi ini ongkos politiknya besar: ditaruh di mana muka pemerintah yang terima penghargaan IRRI karena tak ada impor.
Salah urus kian bertumpuk karena penyerapan dilakukan bersamaan dengan operasi pasar. Tak jelas lagi fokusnya, pengadaan atau penyaluran?
Kedua, memobilisasi beras di penggilingan dan pedagang untuk jadi stok CBP Bulog. Merujuk survei cadangan beras nasional (BPS-Kementan, 2022), pada Juni 2022 jumlah beras sebesar 9,71 juta ton, tersebar di masyarakat 6,6 juta ton; pedagang 1,04 juta ton; penggilingan 0,69 juta ton; Bulog 0,28 juta ton; serta horeka (hotel, restoran, katering) dan industri 1,11 juta ton.
Untuk opsi ini, pemerintah perlu menyediakan anggaran yang cukup. Masalahnya, apakah di penggilingan dan pedagang ada cukup beras kualitas medium? Sejak beleid Harga Eceran Tertinggi 2017, hanya sebagian kecil penggilingan sedia beras medium.
Ketiga, mengalihkan pengadaan beras komersial ke CBP. Opsi ini didasari betapa sulitnya mendapatkan beras medium untuk mengisi CBP. Kala pengadaan beras medium Bulog hanya 500-1.000 ton per hari, pengadaan beras komersial (kualitas premium) bisa tembus 2.000 ton per hari. Agar pengadaan besar, bisa ditempuh dua cara, yaitu mobilisasi beras pedagang dan penggilingan, dan memacu Bulog masuk ke pasar lebih agresif menyerap beras premium. Langkah ini berisiko harga gabah/beras kian tinggi, tetapi stok aman.
Baca juga: Regulasi Baru Diharapkan Perbaiki Pengelolaan Cadangan Pangan
Opsi ketiga ini didasari oleh kalkulasi Badan Pangan Nasional (Agustus, 2022) bahwa akhir 2022 ada surplus beras sebesar 5,7 juta ton, lebih besar ketimbang surplus pada 2021 sebesar 5,2 juta ton. Jika kalkulasi ini benar, opsi memprioritaskan penyerapan gabah/beras domestik tentu lebih baik ketimbang impor. Impor selain butuh waktu juga membuat multiplier effect ada di negara tempat impor.
Apa pun opsi yang dipilih, selain ada risiko juga mesti dibarengi penyediaan anggaran memadai. Yang mesti dipahami, CBP super rendah ini adalah residu salah urus di industri perberasan yang terjadi sejak 2017. Agar salah urus ini tidak berlarut, ada kebutuhan mendesak untuk mereformulasi kebijakan perberasan.
Khudori, Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) dan Komite Pendayagunaan Pertanian (KPP)