Tragedi Kanjuruhan bisa berdampak secara psikologi kepada korban yang selamat. Perlu penanganan psikologis korban, dan ini hendaknya juga terkoordinasikan secara formal sebagaimana pembentukan tim pencari fakta.
Oleh
DIMYATI
·5 menit baca
Bencana kemanusiaan tragedi Kanjuruhan yang menewaskan 135 orang dan melukai sekitar 650 orang masih menjadi perbincangan masyarakat luas. Ini tercermin dari sorotan media nasional maupun internasional yang terus mewartakan ekses lain dari tragedi itu. Kondisi ini tidak bisa lepas dari banyaknya korban meninggal.
Jika dilihat jumlah korban meninggal, ini merupakan tragedi terburuk kedua di dunia setelah tragedi Estadio Nacional pada 24 Mei 1964, dalam pertandingan sepakbola Peru versus Argentina yang memakan korban 328 jiwa. Namun dalam sejarah olahraga sepakbola modern, jumlah 135 korban yang meninggal merupakan tragedi terburuk di dunia.
Dalam upaya mengusut tuntas tragedi Kanjuruhan, pemerintah telah melakukan berbagai tindakan. Bahkan Presiden Jokowi telah membentuk Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) yang tertuang dalam Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 2022, dipimpin oleh Mekopulhukam Mahfud MD.
Masyarakat sipil yang merupakan gabungan dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH), KontraS, Lokataru, dll juga membentuk Tim Pencari Fakta (TPF). Sesuai namanya, dua tim tersebut lebih menitikberatkan kepada pencarian fakta di lapangan, sebagaimana tugas pokok TGIPF yang tertuang dalam kepres tersebut, yaitu: “mencari, menemukan, dan mengungkap fakta, dengan didukung data dan informasi yang dapat dipertanggungjawabkan”.
Perlu tindakan kuratif korban
Kedua tim, baik itu TGIPF maupun TGF, hakikatnya bekerja untuk melakukan tindakan preventif agar peristiwa yang memilukan itu tidak terulang, sembari menghasilkan rekomendasi untuk mengidentifikasi siapa-siapa saja yang terlibat dan bertanggung jawab dalam tragedi itu. Sesungguhnya selain langkah preventif, yang tidak kalah pentingnya adalah tindakan kuratif, yaitu penanganan aspek psikologis para korban pasca tragedi tersebut.
Pasca kekerasan massal, hampir setiap orang mengalami reaksi stres. Bagi kebanyakan korban yang selamat, reaksi stres ini secara bertahap akan berkurang seiring waktu, tetapi mereka yang memiliki faktor risiko tertentu mungkin mengalami respons jangka panjang yang parah. Mereka yang selamat dengan keterpaparan tinggi atas peristiwa tersebut, yang kekurangan dukungan sosial, atau mengalami kesulitan yang berkelanjutan, bisa jadi akan menghadapi tekanan dan gejala pasca kerusuhan yang bertahan lama, dan ini berlaku untuk orang dewasa dan anak-anak (Cherry dkk, 2017)
Mereka yang terkena dampak kekerasan massal menunjukkan berbagai macam reaksi psikologis, perilaku, fisik, dan emosional. Diagnosis kesehatan mental yang paling umum dilaporkan dalam hasil penelitian adalah gangguan stres pasca trauma, depresi, kecemasan, gangguan stres akut, dan kesedihan yang rumit. Pengaruh negatif, stres yang dirasakan, masalah kesehatan fisik/kekhawatiran somatik, dan kualitas tidur yang buruk juga dilaporkan dalam penelitian akibat kerusuhan (Morganstein dkk, 2016; Lowe dkk, 2017).
Sesungguhnya selain langkah preventif, yang tidak kalah pentingnya adalah tindakan kuratif, yaitu penanganan aspek psikologis para korban pasca tragedi tersebut.
Menyadari peran penting penanganan psikologis pada korban pasca tragedi Kanjuruhan telah dilakukan meskipun belum terkoordinasikan secara formal sebagaimana pembentukan tim pencari fakta, atau dengan kata lain masih bersifat temporer belum terstruktur dengan baik. Ikatan Psikologi Olahraga Indonesia (IPO) telah menurunkan tim ke lapangan, juga secara mandiri beberapa psikolog telah bekerja.
Hal itu dilakukan mengingat dampak psikologis yang dirasakan korban pasca kerusuhan tersebut akan terjadi dalam waktu cukup lama, sebagaimana ditegaskan Pietrzak, dkk, (2012), bahwa reaksi-reaksi depresi, kecemasan, gangguan stres akut, dan kesedihan yang rumit dan pengaruh negatif, stress yang dirasakan, serta masalah kekhawatiran somatik, umumnya terjadi dalam periode 6-12 bulan setelah kekerasan massal.
Kehadiran psikolog yang definitif
Penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar dari mereka yang terkena kekerasan massal akan segera mengalami reaksi intens, yang menurun seiring waktu (Smid GE dkk, 2012). Reaksi distres akut dalam beberapa minggu pertama tidak harus dianggap sebagai patologis. Sebagian besar individu yang terkena cenderung hanya membutuhkan dukungan dan penyediaan sumber daya pada fase awal pasca-kejadian, daripada diagnosis tradisional dan perawatan klinis. Oleh karena itu, pasca penyaringan, identifikasi terhadap mereka yang mungkin membutuhkan layanan memerlukan beberapa kepekaan dan pendekatan sesuai dengan karakteristik dan level korban tragedi Kanjuruhan.
Setidaknya ada tiga klasifikasi yang menjadi korban pasca tragedi Kanjuruhan, yaitu para pemain; pelatih, ofisial Arema dan Persibaya; serta keluarga korban suporter yang meninggal. Di sinilah arti penting kehadiran psikolog di tengah-tengah korban pasca kerusuhan yang disesuaikan dengan karakteristik subyek pasca korban. Bagi para pemain atau ofisial yang mengalami masalah psikologis bisa ditangani oleh psikolog olahraga, bagi masyarakat umum (suporters) baik anak maupun orang dewasa yang mengalami masalah psikologis bisa ditangani psikolog klinis atau psikolog sosial.
Mengingat penanganan korban secara psikologis atas tragedi Kanjuruhan itu membutuhkan waktu cukup lama, kehadiran psikolog untuk menangani korban harus menjadi perhatian pihak yang terkait terutama dalam hal ini adalah pemerintah pusat dan PSSI untuk memfasilitasi para psikolog tersebut. Di sisi lain, Himpunan Psikologi Indonesia (Himpsi) dapat berkoordinasi dengan berbagai asosiasi psikologi yang ada di bawahnya dalam upaya penugasan untuk memberi layanan profesional pada korban sesuai dengan klasifikasi korban dan level masalah psikologis yang diterita korban.
Perlu diingatkan bahwa dalam bekerja mendampingi korban, seperti diungkapkan Relvas, dkk,(2010), bahwa psikolog sebagian besar tidak akan efektif dalam melaksanakan tugasnya manakala mereka gagal memahami budaya tempat mereka beroperasi. Penelitian (Woodman dan Hardy 2001) telah mengidentifikasi sejumlah stresor baik yang datang dari masyarakat, pemain, pelatih, begitu juga keluarga korban yang meninggal. Semua ini harus dipahami oleh para psikolog untuk mencapai tujuan yang ditetapkan.
Para psikolog yang bertugas di lapangan dituntut mampu melakukan komunikasi, mengatasi konflik peran dan sikap ambiguitas, serta memahami akan kejelasan peran yang harus dilakukan. Ini merupakan tantangan psikolog untuk menjalankan tugas dalam suasana kebatinan masyarakat Malang yang masih luka dan tersakiti. Selamat bertugas.
Dimyati, Guru Besar Psikologi Olahraga UNY; Pengurus Ikatan Psikologi Olahrag (IPO)