Meratapi Tragedi Kanjuruhan 2022
Menang, seri, kalah adalah hal biasa dalam pertandingan sepak bola. Tragedi Kanjuruhan mendorong seluruh komunitas suporter sepak bola di Tanah Air, bukan hanya Aremania-Aremanita, untuk belajar memiliki sikap dewasa.
Siapa yang menyangka, Stadion Kanjuruhan akan menjadi saksi bisu tragedi sepak bola? Stadion kebanggaan warga Malang itu ”menelan” anak-anak kandungnya sendiri pada Sabtu malam, 1 Oktober 2022.
Hingga artikel ini ditulis, terkonfirmasi 125 orang meninggal dalam tragedi kelam yang dipicu kekecewaan para suporter Arema FC atas kekalahan tim kesayangannya dari Persebaya. Skor berakhir 2-3 untuk kemenangan kesebelasan asal Surabaya.
”Kalian berbicara bahwa dunia semakin rusak dan akan semakin rusak. Siapa yang merusak? Kalian sendiri,” ujar Emha Ainun Nadjib suatu waktu. Mungkin kalimat ini bisa menggambarkan kesedihan kita atas tragedi Kanjuruhan.
Suporter menginjak suporter. Pendukung menggencet pendukung. Siapa yang merusak citra sepak bola? Suporter sendiri. Tulisan ini tidak bermaksud untuk menghakimi, tetapi mengajak kita merenung bersama. Sama seperti Anda, saya pun pencinta sepak bola. Dan, ada keponakan dari kawan-kawan saya menjadi korban dalam peristiwa naas tersebut.
Ketika dua ”kuda ” bernama epithumia dan thumos dibiarkan lari tanpa kekang, maut menjadi buahnya.
Ketika dua ”kuda” bernama epithumia dan thumos dibiarkan lari tanpa kekang, maut menjadi buahnya. Stadion Kanjuruhan menjadi saksi bisu dari teriakan putus asa minta tolong para suporter yang terinjak-injak hingga nyawa mereka meninggalkan raga. Padahal, dari ratusan korban jiwa itu, tidak ada satu pun yang berencana menyerahkan nyawa di stadion kebanggaan Arema.
Sebelum dan sepanjang pertandingan, mereka antusias menyemangati tim ”Singo Edan”, tetapi seusai pertandingan, mereka ”dipaksa” berjumpa ajal dengan cara yang tak mereka inginkan. Saya turut berdukacita yang mendalam.
Semoga kini jiwa-jiwa mereka tenang di sisi Sang Khalik Yang Maharahim.
”Dua kuda” dalam jiwa suporter
Dalam pemikiran filsuf Plato, jiwa manusia terdiri dari tiga aspek, yakni epithumia, yaitu hasrat dari perut ke bawah, yang meliputi nafsu makan, minum, dan seks; thumos atau hasrat di dada, yang meliputi keinginan untuk diakui, harga diri; dan logistikon, yaitu rasio atau akal budi.
Epithumia dan thumos adalah dua aspek jiwa manusia yang digambarkan sebagai dua kuda yang menarik kereta perang, sementara logistikon adalah sais atau pengendali kereta tersebut yang bertugas mengendalikan jalan dan arah dua kuda tadi.
Dalam hal dukung-mendukung tim sepak bola, thumos memang tampak dominan. Dalam dada setiap suporter, kuda thumos ini berlari kencang. Ia ingin diakui, dihargai. Ia ingin timnya menang dan jika bisa menjuarai kompetisi atau turnamen yang diadakan.
Itu wajar saja. Saya pun suporter sepak bola. Saya punya thumos itu dan ingin tim favorit saya menang. Namun, dalam jiwa setiap suporter ataupun semua orang, kita semua sering dihadapkan pada godaan yang memicu thumos ini menuntut pemuasan di luar batas kewajaran.
Di hadapan tim kesayangan yang sedang bertanding, kuda thumos akan mendorong setiap suporter bersorak menyemangati timnya agar bertanding dengan cantik, ngeyel, dan akhirnya menang. Ini natural.
Namun, thumos bisa saja bergerak tidak wajar dan menyeret jiwa seseorang bereaksi di luar batas kepatutan. Ketika thumos tidak mendapat yang ia inginkan, yaitu kemenangan, dan justru rasa malu yang didapatkan akibat kekalahan, ia berontak. Kuda thumos itu menjadi liar. Masalahnya, thumos tidak mau sendirian, ia mengajak pula kuda epithumia untuk berlari liar ke luar jalur.
Jika logistikon tidak berhasil mengendalikan thumos dan epithumia, alhasil dua kuda ini berlari liar ke sana kemari.
Epithumia adalah kata Yunani yang paling umum untuk ”hasrat” dalam tradisi religius sejak abad pertama Masehi. Kata ini merujuk pada ”hasrat yang kuat” dalam bentuk apa pun, entah itu hasrat yang baik atau buruk.
Di sinilah peran logistikon atau akal budi menjadi signifikan. Sebab, ia adalah bagian jiwa paling tinggi yang bertanggung jawab mengontrol gerak laju epithumia dan thumos yang mulai liar. Menurut Plato, logistikon merupakan bagian terbaik dalam jiwa manusia karena tugas pokok dan fungsi (tupoksi) utamanya ini.
Ia menjadi alat bagi seseorang, termasuk suporter, untuk mengendalikan hasratnya agar tidak menyerah begitu saja terhadap gerak liar dua ”kuda” dalam jiwanya.
Jika logistikon tidak berhasil mengendalikan thumos dan epithumia, alhasil dua kuda ini berlari liar ke sana kemari. Menerabas apa pun yang ada di sekitarnya. Beringas. Itulah yang ditunjukkan kedua kuda tadi di Stadion Kanjuruhan. Ketika tim kesayangan kalah, sebagian suporter melampiaskan dengan amukan dan merangsek ke lapangan.
Faktor ”precipitating” dan ”predisposing”
Yakub B Susabda, seorang pakar konseling, mengatakan, banyak masalah memang distimulasi oleh precipitating factor, yaitu faktor pemicu yang memantik reaksi seseorang terhadap realitas atau masalah yang dihadapi. Dalam tragedi Kanjuruhan, kekalahan Arema FC dari Persebaya adalah pemicu kemarahan suporter.
Namun, bukan itu masalah sesungguhnya. Meminjam gagasan Susabda, ada faktor lain yang menyebabkan timbulnya reaksi khas seseorang terhadap realitas yang tak sesuai kehendaknya, yaitu predisposing factor atau faktor bawaan.
Predisposing factor membuat seseorang cenderung mengambil sikap tertentu sebagai reaksi atas kenyataan yang ia hadapi. Faktor ini menempatkan seseorang pada risiko untuk bereaksi secara tidak ideal. Faktor ini mungkin terbentuk secara genetis atau dalam pemikiran Susabda dipupuk melalui ragam peristiwa kehidupan yang membentuk kepribadian seseorang sejak masa kecilnya.
Dalam tragedi Kanjuruhan, kekalahan Arema FC dari Persebaya adalah pemicu kemarahan suporter.
Susabda sejalan dengan tesis psikoanalis Erik Erikson bahwa kepribadian setiap orang berkembang melalui delapan tahap perkembangan psikososial, dari bayi hingga dewasa. Dalam setiap tahap, orang tersebut mengalami pembentukan psikososial yang berdampak positif atau negatif bagi perkembangan kepribadiannya.
Jika mengikuti usulan Susabda dan Erikson, predisposing factor adalah kondisi jiwa yang dimiliki setiap orang secara khas sesuai dengan perkembangan kepribadiannya sejak masa kecil. Faktor inilah yang perlu kita tilik bersama.
Dalam kericuhan yang menelan korban jiwa di Kanjuruhan, menyeruak dugaan predisposing factor dalam jiwa suporter adalah ”ketidakmampuan menerima kekalahan”.
Buahnya, ia melampiaskan kekecewaannya dengan melakukan hal destruktif. ”Tim favoritku adalah aku, dan aku adalah bagian yang menyatu dengan tim favoritku”, mungkin seperti itu premisnya. Jadi, ketika tim favoritnya kalah, ia pun merasa kalah, kecewa, jiwanya hancur karena ”terinjak-injak” harga dirinya.
Dalam perkembangan kepribadiannya, ada ruang hampa yang tak diisi kesadaran bahwa kekalahan adalah keniscayaan. Mungkin saja ini predisposing factor dalam jiwa para suporter yang berbuat ricuh itu.
Menjadi suporter yang dewasa
Ketika banyak orang mengidentikkan dirinya dengan sebuah tim, secara naluriah di antara mereka akan terbentuk suatu mentalitas massa, yang tiba pada gilirannya akan memungkinkan orang berperilaku berbeda.
Seseorang bisa bertindak beda dari biasanya jika berada dalam kerumunan besar. ”Ada teori penularan. Orang-orang bisa melakukan perbuatan tertentu dalam kerumunan, sesuatu yang tidak akan mereka lakukan jika sendiri,” menurut Jason Lanter, seorang profesor psikologi di Universitas Kutztown yang telah mempelajari kekerasan suporter olahraga selama lebih dari satu dekade.
”Orang-orang bisa membuat keputusan yang buruk di tengah kerumunan,” imbuhnya.
Dalam kerumunan massa, orang sering kehilangan kesadaran diri dan tetap merasa aman. Ketika orang berperilaku dalam kelompok, neurosaintis menemukan, otak bagian korteks prefrontal medial-nya yang berfungsi untuk refleksi diri menjadi tidak aktif.
Kurangnya refleksi diri ini tampaknya memungkinkan orang dalam kumpulan massa bertindak dengan cara yang biasanya tidak akan mereka lakukan jika sendiri, kata Mina Cikara, ahli neurosains di Universitas Harvard. Namun, analisis ini tidak berhenti di situ.
Cikara melanjutkan, berkelompok sebenarnya juga bisa melahirkan hal yang terbaik dari dalam diri seseorang, seperti mendorong untuk melakukan kebaikan bersama, bela rasa, dan saling menolong.
Psikologi massa seperti inilah yang sebenarnya kita harapkan bertumbuh kembang dalam komunitas suporter sepak bola di Tanah Air. Kita diundang untuk belajar menjadi suporter yang dewasa. Bukan hanya girang jika menang, melainkan juga ramah waktu kalah.
Namun, kita diundang untuk melatih akal budi ( logistikon) agar dua kuda hasrat dalam jiwa tidak bergerak liar dan melahirkan kerusakan.
Menang, seri, dan kalah adalah hal biasa dalam pertandingan sepak bola. Tragedi Kanjuruhan mendorong seluruh komunitas suporter sepak bola di Tanah Air, bukan hanya Aremania dan Aremanita, untuk belajar memiliki sikap dewasa dalam menerima hasil pertandingan, apa pun itu.
Kita diajak menyadari bahwa realitas memang tidak selalu seperti yang kita inginkan. Berharap tim kesayangan menang tentu wajar karena masing-masing kita memiliki epithumia. Namun, kita diundang untuk melatih akal budi (logistikon) agar dua kuda hasrat dalam jiwa tidak bergerak liar dan melahirkan kerusakan.
Tragedi Kanjuruhan sudah cukup mengajarkan kepada kita untuk menjadi suporter yang dewasa. Jangan ada lagi yang seperti ini!
(Dhimas Anugrah, Pendiri Lingkar Filsafat (Circles) Indonesia; Pecinta dan Suporter Sepak Bola)