The First R20 Interfaith Summit adalah asa bagi masa depan hubungan antaragama, terutama antarpemeluk agama di Indonesia, mengingat adanya kecenderungan merenggangnya hubungan itu akhir-akhir ini.
Oleh
ALBINER SIAGIAN
·6 menit baca
Pada November 2022, Indonesia akan menjadi tuan rumah bagi dua perhelatan besar, yaitu The First R20 Interfaith Summit pada 2-3 November 2022 dan Konferensi Tingkat Tinggi G20 pada 15-16 November 2022. Kedua perhelatan yang akan menghadirkan pemimpin agama atau pemimpin negara yang tergabung dalam G20 itu dilaksanakan di Bali.
The First R20 Interfaith Summit yang juga merupakan pertemuan religi para pemimpin negara G20 ini diinisiasi oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan The Muslim World League (MWL). Fokus pembicaraan dalam pertemuan ini adalah membangun jembatan antara Timur dan Barat. Jembatan yang dimaksud adalah dialog dan kerja sama antarpemeluk agama di Timur dan Barat.
Hal itu senada dengan pernyataan Dr Mohammed Al-Issa, Sekretaris Jenderal MWL, bahwa MWL bekerja keras untuk membangun dialog dan kerja sama antarpemeluk agama dan budaya untuk meningkatkan kepedulian keagamaan dan intelektual serta menguatkan nilai-nilai moderasi dalam menghadapi segala bentuk ekstremisme dan kekerasan.
Tampaknya, pertemuan ini secara sungguh-sungguh akan menunjukkan kepada dunia, khususnya negara-negara Barat, bahwa Islam adalah rahmat bagi alam semesta (rahmatan lil alamin). Ini akan meminimalkan perasaan islamophobia oleh sebagian masyarakat di negara-negara Barat.
Secercah sinar
Di lingkup Indonesia, The First R20 Interfaith Summit ini bagaikan secercah sinar di ujung terowongan sempit. Ini adalah asa bagi masa depan hubungan antaragama, terutama antarpemeluk agama di Indonesia, mengingat adanya kecenderungan merenggangnya hubungan itu akhir-akhir ini.
Nilai-nilai mulia dan kemanusiaan agama yang diharapkan sebagai alat pemersatu bangsa tidak membuahkan hasil yang melegakan hati. Penyebabnya, antara lain, adalah pemaknaan yang sempit akan keberagamaan di kalangan sebagian pemeluk agama. Fanatisme keliru beragama mencuat ke permukaan.
Nilai-nilai mulia dan kemanusiaan agama yang diharapkan sebagai alat pemersatu bangsa tidak membuahkan hasil yang melegakan hati.
Keadaan tersebut diperburuk oleh penggunaan isu-isu sektarian, termasuk sentimen agama, dalam praktik-praktik berpolitik dan bernegara. Setali tiga uang, oknum-oknum tokoh agama, yang seharusnya menjadi teladan bagi kemajemukan dan toleransi beragama, justru menjadi bagian dari yang memperkeruh suasana.
Tambahan lagi, perguruan tinggi sebagai penghasil kaum intelektual, yang diharapkan sebagai garda depan bagi penyemai dan penyubur benih-benih toleransi beragama, sebagian justru ditengarai sebagai ladang subur bagi tumbuh dan berkembangnya paham radikalisme dan rupa-rupa bentuk intoleransi lainnya. Pemahaman keliru akan kebebasan berpendapat makin memperburuk keadaan.
Akhirnya, kemudahan akses ke media, terutama media sosial, menjadikan cakrawala pikiran publik dipenuhi oleh berita-berita yang mengobarkan semangat sektarian. Lagi pula, kebanyakan media itu membentangkan karpet merah baginya.
Tampaknya, kita perlu meredefinisi makna hakiki keberagamaan kita dan pengamalannya serta menggiatkan upaya untuk menghempang (menghadang)perilaku dan tindakan yang menggerusnya. Kita perlu mewujudkan moderasi beragama dalam arti yang sesungguhnya.
Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi daring mendefinisikan agama sebagai (1) ajaran atau sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa dan (2) tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dengan manusia serta dengan lingkungannya.
Definisi yang kedua tersebut mengingatkan saya kepada arti agama yang diajarkan oleh guru agama saya saat sekolah dasar. Kala itu, ketika mengajarkan pelajaran agama, guru agama itu menyatakan bahwa kata agama berasal dari dua suku kata, yaitu a (tidak) dan gama (kacau balau). Oleh karena itu, agama berarti tidak kacau balau.
Tentu saja, agama yang mengatur hubungan antarmanusia haruslah mendatangkan ketenteraman dan kedamaian pada manusia pemeluk agama dan antarpemeluk agama. Dengan demikian, kalau ada persoalan dalam hubungan antarmanusia di negeri ini, misalnya, patut kita duga bahwa ada persoalan dalam hal pemaknaan dan pengamalan keberagamaan kita dalam arti yang luas.
Tentu saja, sinyalemen akan adanya hubungan yang kurang harmonis antarpemeluk agama di Indonesia juga dirasakan oleh pemerintah. Karena itu, untuk menumbuhkembangkan hubungan yang baik di antara pemeluk agama, pemerintah mengeluarkan kebijakan strategis bernama moderasi beragama. Kementerian Agama sebagai leading sector dalam upaya penumbuhkembangan moderasi beragama menuangkannya dalam Rencana Strategis Kementerian Agama Tahun 2020-2024 (Peraturan Menteri Agama Nomor 18 Tahun 2020).
Terkait dengan moderasi beragama, rencana strategis itu menetapkan visi: kualitas pemahaman dan pengamalan ajaran agama yang meningkat dan suasana kerukunan beragama yang harmonis. Misinya adalah meningkatkan pemahaman dan pengamalan ajaran agama dan mengukuhkan suasana kerukunan beragama yang harmonis.
Untuk menindaklanjuti renstra tersebut, Kementerian Agama menerbitkan, antara lain, Keputusan Menteri Agama Nomor 328 Tahun 2020 tentang Kelompok Kerja Penguatan Moderasi Beragama pada Kementerian Agama. Kelompok kerja ini, antara lain, bertugas mengoordinasikan perumusan dan menetapkan pelaksanaan penguatan moderasi beragama dan memberikan arahan serta merancang rencana aksi pelaksanaan program moderasi beragama. Untuk meluaskan upaya moderasi beragama, Kementerian Agama mendorong semua perguruan tinggi di lingkup kementerian agama untuk mendirikan Rumah Moderasi Beragama.
Secara sederhana moderasi beragama bermakna cara pandang beragama secara moderat, yaitu memahami dan mengamalkan ajaran agama dengan baik (tidak ekstrem). Moderasi beragama berbeda dari moderasi agama.
Moderasi beragama lebih ditujukan kepada upaya memilih dan memilah pengamalan ajaran agama untuk diimplementasikan di ruang publik, ruang yang padanya terjadi hubungan antarpemeluk agama yang berbeda. Tujuannya adalah agar tidak terjadi benturan antarpemeluk agama di ruang publik.
Moderasi beragama lebih ditujukan kepada upaya memilih dan memilah pengamalan ajaran agama untuk diimplementasikan di ruang publik, ruang yang padanya terjadi hubungan antarpemeluk agama yang berbeda.
Sementara itu, moderasi agama berarti memoderasikan agama, termasuk ajarannya. Moderasi beragama tidak bermaksud memoderasikan agama. Artinya, agama dan ajarannya tidak boleh mengambil jalan tengah.
Karena implementasi moderasi beragama ditujukan kepada relasi antarmanusia, hal itu harus memberi ruang yang padanya kebaikan amalan setiap agama beririsan. Dengan kata lain, moderasi beragama adalah upaya untuk membangun ruang berbagi (shared-space) yang di dalamnya antarpemeluk agama berbagi kesepahaman (sharing understanding) perihal kemanusiaan.
Oleh karena itu, moderasi beragama adalah wujud komitmen bersama antarpemeluk agama pada kemanusiaan (humanity). Pada tataran global, ruang berbagai itu diwujudkan dengan membangun jembatan dialog dan kerja sama antarpemeluk agama di dunia yang lazim diwakili oleh dunia Timur dan Barat.
Ruang berbagi itu bernama Pancasila
Pada dasarnya, Pancasila sebagai dasar negara dan falsafah hidup bangsa sudah menyediakan lahan yang subur bagi pembangunan ruang berbagi untuk penyamaian benih kemanusiaan. Ketika Pancasila mewajibkan setiap warga negara untuk beragama (sila pertama), pada saat yang sama dia juga mengharuskan setiap warga negara menghormati kemanusiaan (sila kedua). Karena para pendiri bangsa (founding fathers) sangat menyadari bahwa bangsa ini didirikan di atas fondasi keberagaman, maka praktik pengamalan agama di ruang publik (dalam konteks relasi antarpemeluk agama) haruslah menjunjung tinggi kemanusiaan.
Akhir kata, pengamalan agama yang baik di ruang publik melalui moderasi beragama adalah esensi pengamalan Pancasila. Karena itu, untuk mewujudkan moderasi beragama, kita harus menjadikan Pancasila sebagai etos berbangsa dan bernegara. Pancasila haruslah menjadi tuntunan hidup (way of life) berbangsa dan bernegara.
Dengan demikian, hal itu akan menghadirkan ruang publik yang netral, yang padanya relasi antarmanusia yang harmonis tercipta. Dan, kita berharap bahwa The First R20 Interfaith Summit di Bali menjadi tonggak sejarah bagi terwujudnya tatanan Indonesia yang toleran pada khususnya dan dunia pada umumnya.
Albiner Siagian, Rektor Institut Agama Kristen Negeri Tarutung