KH Yahya Cholil Staquf melihat situasi dunia dan kemanusiaan kini mengharuskan keterlibatan agama secara langsung, seperti kerusakan lingkungan, perubahan iklim, kemiskinan dan kesenjangan, perang dan pandemi Covid-19.
Oleh
AHMAD SUAEDY
·6 menit baca
Dalam rangkaian pertemuan jelang KTT G20 di Bali tanggal 15-16 November mendatang; pada 2-3 November akan berlangsung pertemuan para pemimpin agama dan sekte dari seluruh negara anggota G20. Forum para pemimpin agama dunia yang jadi bagian dari G20 atau disebut R20 (Religion of Twenty) ini digagas oleh KH Yahya Cholil Staquf, begitu ia terpilih menjadi ketua umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).
Dalam penyelenggaraan R20 ini PBNU menggandeng Rabithah Alam Islami yang berpusat di Arab Saudi. Namun R20 tidak hanya mengundang para pemimpin agama-agama dan sekte-sekte dari negara-negara G20, melainkan juga para pemimpin dari negara lain yang memiliki potensi untuk menjadi bagian dari gerakan kelanjutan R20. R20 sendiri kini sudah menjadi official engagement G20.
Ada sekitar 100-an pemimpin agama dan sekte dari semua benua dan 200-an dari Indonesia yang akan terlibat dalam sebuah forum yang dirancang secara berbeda dengan forum-forum atau bentuk seminar dan konferensi tingkat dunia yang lainnya.
Forum ini memberikan kesempatan kepada para pemimpin agama dan sekte —yang memiliki jutaan atau puluhan juta umat di belakangnya— untuk melakukan refleksi tentang kekurangan dan kelebihan serta tradisi yang negatif maupun yang positif, untuk kemudian mencari jawaban bersama apa yang bisa dilakukan oleh agama-agama ini untuk memecahkan berbagai masalah kemanusiaan di dunia.
Forum para pemimpin agama dunia yang jadi bagian dari G20 atau disebut R20 (Religion of Twenty) ini digagas oleh KH Yahya Cholil Staquf, begitu ia terpilih menjadi ketua umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).
Sebagian besar dari para peserta, khususnya dari luar negeri, pada dasarnya adalah mereka yang selama ini sudah menjadi jaringan dalam dialog antar agama secara global, yang juga dihadiri oleh KH Yahya Cholil Staquf.
Dengan tagline “Mengungkap dan mengembangkan agama sebagai sumber solusi, gerakan internasional untuk nilai moral dan spiritual bersama”, forum R20 tersebut akan diselenggarakan pada 2-3 November 2022 di Bali.
Kegiatan itu kemudian akan dilanjutkan di Yogyakara 4-6 November, dalam kerangka perumusan langkah-langkah berikutnya bagi anggota inti (core member) dari para anggota jaringan.
Mengapa R20?
Dalam forum ini, agama bukan melegitimasi apa yang telah dirancang di luarnya, melainkan berangkat dari situasi di dalam keagamaan itu sendiri.
Saya ingin menyebut forum R20 ini sebagai menyediakan jalur pacu (runway) untuk keberhasilan presidensi G20 tahun 2022 di Indonesia dengan tagline, “recover together, recover stronger.” Alasannya, problem kemanusiaan, ketegangan, kekerasan dan perang di dunia ini sebagian bersumber dari pra anggapan dalam doktrin agama-agama tentang "yang lain" atau the others.
KH Yahya Cholil Staquf melihat situasi dunia dan kemanusiaan kini mengharuskan keterlibatan agama secara langsung, seperti kerusakan lingkungan dan perubahan iklim, kemiskinan dan kesenjangan, upaya untuk keluar dari trauma dan problem pandemi Covid-19, serta perang Rusia-Ukrania yang kini memicu krisis energi dan pangan global.
Ini bukan karena agama mempunyai jawaban terhadap isu-isu tersebut, tetapi justru ada masalah besar di dalam agama-agama itu sendiri yang selama ini dicoba dihindari untuk dibicarakan dan dicari pemecahannya. Hal ini disebabkan para pemimpin dan agamawan tidak bersedia dan tidak berani untuk terus terang dalam mengungkapkan problem di dalam agama itu sendiri.
Sebaliknya, di dalam sistem dunia yang mapan kini, atau sistem sekuler, problem agama itu disingkirkan dari ranah publik ke ranah privat supaya tidak mengganggu skenario penyelamatan oleh sekularisme tersebut. Agama hanya diminta legitimasinya terhadap skenario penyelamatan itu sejauh mendukung; sementara untuk dimensi yang tidak mendukung, ia akan disingkirkan.
Akibatnya, agama tetap bertahan menjadi potensi dan laten dalam problem kemanusiaan. Dimensi yang dimaksud adalah doktrin yang menjadi akar dari permusuhan, kebencian dan identitas politik yang berlebihan, penghalalan melakukan diskriminasi dan bahkan kekerasan dan pembunuhan terhadap the others.
Ini bukan karena agama mempunyai jawaban terhadap isu-isu tersebut, tetapi justru ada masalah besar di dalam agama-agama itu sendiri yang selama ini dicoba dihindari untuk dibicarakan dan dicari pemecahannya.
Dasar-dasar pengetahuan (fikih dalam konteks Islam) dan kesadaran agama-agama didasarkan pada doktrin demikian. Setiap kali ada ketegangan, kekerasan dan perang, doktrin itu hampir selalu muncul dan memobilisasi kesadaran pemeluk agama, paling tidak sebagian, untuk menyiram permusuhan, kebencian dan kekerasan tersebut.
Para pemimpin agama di dalam forum R20 ini akan membicarakan secara terbuka problem-problem doktriner ini.
Tidak "mainstream"
Langkah yang diinisiasi oleh KH Yahya Cholil Staquf ini memang tidak mainstream. Oleh karena itu, langkah ini berpotensi menimbulkan kontroversi, meskipun sejumlah analisis akademik secara internasional sudah cukup banyak bicara tentang desakan agar agama masuk ke ruang publik — termasuk fenomena post-sekuler— untuk ikut serta dalam memecahkan masalah kemanusiaan; lokal, nasional dan global.
Namun itu belum benar-benar menjadi mainstream di dunia akademik sekalipun. Masih banyak yang skeptis bahwa jika agama masuk ke ruang publik, seolah sudah pasti akan mengulang situasi di abad pertengahan Eropa di mana agama memperkuat kekuasaan untuk penindasan kemanusiaan.
Namun, membiarkan situasi di mana agama tetap menjadi bahaya laten bagi kemanusiaan, adalah sama saja dengan tidak memberikan masa depan yang optimistis. Akan ada banyak tantangan untuk mewujudkan ini.
Ilustrasi
Pertama, dari mereka yang secara mapan memegang agama sebagai jalan keluar secara eksklusif, sehingga akan sulit menerobos doktrin kesetaraan mutlak dan universal bagi semua manusia untuk kemudian menjadikan agama sebagai penjebol batas eksklusivisme.
Kedua, dari mereka yang memegang doktrin sekuler sebagai pilihan mutlak. Mereka ini akan menentang agama masuk ke ruang publik, karena trauma masa lalu yang panjang.
Pengalaman NU
Gagasan KH Yahya Cholil Staquf di atas sesungguhnya tidak lepas dari pengalaman NU sendiri. Yakni sejak menghadapi perubahan peradaban dunia dari sistem sosial paguyuban (gemeinschaft) ke patembayan (gesellschaft), yaitu sistem negara-bangsa yang mengubah nyaris seluruh struktur dasar dan kesadaran masyarakat yang membuat hampir semua elemen masyarakat dan agama mengalami kegamangan.
Dua perubahan radikal dari sistem tersebut adalah bahwa kekuasaan sebuah negara dibatasi oleh batas geografis dengan kesepakatan internasional yang dikontrol oleh PBB. Kedua, kesetaraan manusia dan warga negara yang distandarisasi oleh HAM universal.
Doktrin agama yang terbangun di dalam kesadaran umat dan sistem sosial peguyuban yang mapan, mengharuskan perubahan paradigma dari dalam beragama itu sendiri. Sebagian kelompok memaksakan doktrin agama paguyuban ke dalam sistem baru tersebut, misalnya mengadopsi eksklusivisme agama ke dalam sistem negara bangsa. Atau mereka yang pasrah pada sistem yang diskenariokan oleh sekularisme dan bertahan di ruang privat.
Dengan basis keilmuan dan metodologinya sendiri, Ahlusunnah wal Jamaah an-Nahdliyyah NU telah mencoba keluar dari problem tersebut sejak proses awal menghadapi perubahan peradaban tentang kekuasaan.
Dari penerimaan atas bentuk negara bangsa yang tidak berideologi agama eksklusif —melainkan keberagaman Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika— hingga pelarangan menyebut kafir kepada mereka yang selain Islam dengan kesetaraan sebagai manusia (al-insan) dan warga negara (al-muwathin) sebagaimana telah diputuskan pada Munas di Banjar, Jawa Barat, tahun2019. Keduanya, bagi NU, adalah bagian dari praktik Syariah itu sendiri bukan hanya sebatas taktis politis.
Dari sinilah NU di tangan KH Yahya Cholil Staquf mencoba menjadi bagian dari aktor pengubah peradaban.