Moderasi beragama merupakan rencana kebajikan beragama yang mulia. Namun, dalam praktiknya belum berjalan seperti yang diharapkan, terutama terkait solidaritas organik tentang moderasi beragama.
Oleh
ZULY QODIR
·5 menit baca
Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU), dua organisasi Islam terbesar di Indonesia yang menjadi pilar Islam moderat di Indonesia. Dua ormas Islam ini telah sepakat dengan Islam wasatiyah untuk Indonesia. Muhammadiyah dan NU dengan demikian sepakat dengan model beragama yang tidak ekstrem kanan maupun kiri untuk umat Islam Indonesia.
Dampak dari paham moderat dalam beragama dari Muhammadiyah dan NU, keduanya sepakat Pancasila sebagai dasar negara yang telah final untuk Indonesia sebagai kesepakatan bersama para pendiri bangsa. Ada rintangan dari umat Islam, namun bukan mainstream Islam Indonesia. Oleh sebab itu, negara tidak perlu khawatir jika umat Islam Indonesia hendak mendirikan negara di luar dasar Pancasila, sebab umat Islam mainstream telah sepakat dengan bentuk dan dasar negara yang disepakati bersama sejak Indonesia merdeka tahun 1945.
Oligarki moderasi
Siapa tidak kenal proyek moderasi beragama di Indonesia. Semua organisasi keagamaan, Islam maupun di luar Islam, semua memahaminya. Moderasi beragama merupakan rencana kebajikan beragama yang mulia. Namun dalam praktiknnya ternyata compang-camping karena kerakusan kelompok keagamaan tertentu yang merasa paling berhak dengan proyek moderasi beragama. Inilah oligarki proyek yang telah menjelma menjadi dictum sakti dalam kekuasaan keagamaan Indonesia.
Dampak dari oligarki moderasi yang paling jelas terjadinya penumpukan modal ekonomi pada satu kelompok kepentingan, demi mempertahankan oligarki ekonomi. Jefrey Winters menyebut bahwa dalam oligarki akan muncul tiga bentuk, yakni oligarki keturunan alias kesultanan, oligarki ekonomi, dan oligarki politik. Ketiga oligarki itu dapat menjadi satu sehingga semakin kuatlah bangunan oligarki dari satu kelompok untuk mempertahankan tahta, kuasa, dan ekonomi.
Sungguh sangat berbahaya jika oligarki moderasi benar-benar terjadi di Indonesia. Kepercayaan publik akan hancur karena dihancurkan oleh kelompok oligarki yang menikmati tumpahan proyek atas nama warga negara secara keseluruhan.
Padahal, fakta di lapangan proyek moderasi hanyalah dinikmati oleh segelintir orang yang dekat dengan kekuasaan. Apakah kita akan menjadi jongos politik? Tentu tidak demikian, sebab bangsa ini sebenarnya bukan bangsa jongos.
Bukankah Indonesia bukan milik satu golongan tertentu? Dengan demikian, proyek moderasi beragama pun bukan hanya milik satu kelompok keagamaan dengan disebar kepada patron agar dapat mempertahankan dominasi serta kuasanya sebagai hal yang sekarang dikenal dengan oligarki. Jika hal ini yang terjadi, sebenarnya kita sedang melanggengkan bentuk kebejatan politik atas nama moderasi beragama yang telah berlangsung sejak Indonesia merdeka.
Bukankah Indonesia bukan milik satu golongan tertentu? Dengan demikian, proyek moderasi beragama pun bukan hanya milik satu kelompok keagamaan.
Otoritarianisme
Masyarakat akan percaya kepada penyelenggara negara, termasuk kementerian dan penyelenggara program moderasi beragama, jika etika dalam bertindak dan berwacana dapat dihadirkan di tengah masyarakat secara nyata. Masyarakat akan distrust ketika penyelenggara program moderasi beragama ternyata mempraktikkan perilaku otoritarianisme dalam berkolaborasi program. Jika program moderasi seakan-akan hanya menjadi miliki sekelompok organisasi keagamaan yang paling dekat dengan kekuasaan politik.
Kehancuran niat baik akan menjadi kenyataan di lapangan. Hanya saja tidak banyak yang “bersuara” tentang proyek moderasi beragama yang penuh dengan otoritarinisme politik.
Otoritarianisme politik akan menganggap siapa pun organisasi keagamaan yang tidak dekat dan memiliki akses politik pada penguasa, maka tidak diajak menjadi bagian dari pengembangan gagasan moderasi beragama yang menjadi kebutuhan banyak pihak. Bahkan, organisasi keagamaan yang dianggap tidak dekat dengan kekuasaan politik, hanya mendapatkan beban sangat berat ketika bangsa ini hampir bangkrut, maka dihadirkan untuk turut membantu menyelesaikannya.
Sungguh perilaku yang demikian tidak menunjukkan sikap dari wacana dan praktik moderasi beragama yang selama ini diagungkan sebagai program bersama semua warga negara yang beragama. Oleh karena yang sedang terjadi sebenarnya adalah praktik politik moderasi yang otoriter, namun bersandar di atas proyek besar moderasi beragama untuk Indonesia.
Seringkali ketika dunia telah kacau balau, maka hal yang tidak bisa dilupakan adalah etika dan kepercayaan publik kepada lembaga menjadi sangat penting adanya. Inilah yang perlu diperhatikan oleh para penyelenggara negara dan lembaga pendidikan. Apakah bangsa ini akan ditenggelamkan dengan mega proyek moderasi beragama atas nama semua bangsa padahal hanya untuk segelintir orang yang mendapatkan akses karena kedekatan politik?
Gagasan moderasi beragama tentu saja sebuah terobosan besar untuk umat beragama di Indonesia, khususnya dalam Islam. Sebenarnya Islam telah memiliki pedoman yang kuat bahwa dalam beragama umat Islam tidak perlu over dosis dalam segala hal, termasuk ibadah apalagi etika.
Kita umat Islam hanya diminta berada pada keseimbangan dunia dan akhirat. Tidak memberatkan kepada salah satunya karena yang demikian merupakan perbuatan berlebihan dan melanggar perintah Tuhan.
Gagasan moderasi beragama tentu saja sebuah terobosan besar untuk umat beragama di Indonesia, khususnya dalam Islam.
Muhammadiyah misalnya, dalam praktik telah menjadikan lembaga pendidikan tinggi tidak pernah menutup diri hanya menerima mahasiswa dari kalangan Muhammadiyah. Perguruan tinggi Muhammadiyah telah sejak lama dan terbiasa menerima mahasiswa bukan Muslim, bukan hanya bukan Muhammadiyah.
Oleh sebab itu, Muhammadiyah memiliki pengalaman organik tentang praktik moderasi beragama. Tidak perlu diragukan lagi dalam praktiknya. Hanya saja sering mendapatkan stigma jika Muhammadiyah tersebut eksklusif karena tidak bersedia berkompromi dengan hal-hal yang melanggar peraturan negara.
Muhammadiyah dalam prakatik moderasi tidak berkompromi dengan perilaku kebejatan yang melanggar etika dan peraturan pemerintah. Perguruan tinggi Muhammadiyah pun tidak berkompromi dengan berbagai pungutan liar alias dana-dana siluman yang diambil entah darimana datangnya. Bahkan, perguruan tinggi Muhammadiyah tidak serta merta harus mendapatkan proyek moderasi beragama karena tekanan politik atau demi memperkaya pribadi-pribadi dan pimpinan.
Di sinilah kita ketahui Muhammadiyah dan perguruan tinggi Muhammadiyah hingga kini dipercaya masyarakat untuk menyelenggarakan pendidikan karena memberikan hal yang terkait dengan kualitas, pelayanan, serta karakteristik. Perguruan tinggi Muhammadiyah tidak mempergunakan aji mumpung sehingga semua diambil untuk organisasinya demi menyenangkan pimpinan atau bos partai.
Mari kita selamatkan Indonesia agar benar-benar menjadi bangsa yang moderat, bukan menjadikan proyek moderasi beragama dengan mengeliminasi kelompok lain yang dianggap bukan menjadi bagiannya dan mazhab politiknya. Jika ini dilakukan maka tidak akan terjadi solidaritas organik tentang moderasi beragama.
Zuly Qodir, Sosiolog; Dosen Program Doktor Politik Islam Pasca Sarjana UMY