Sinden sejatinya bukan penyanyi, melainkan musisi karawitan yang menggunakan vokal dalam elaborasi musikalnya. Kedudukannya setara dengan instrumen gamelan. Namun, kini banyak sinden menjadi penyanyi.
Oleh
ARIS SETIAWAN
·4 menit baca
Pada 27 September 2022, Omah Petroek di Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, menggelar acara bertajuk ”Tumaruntun Tembang Raras”. Acara itu digelar sebagai ruang pewarisan tradisi dari sinden senior ke sinden yang lebih yunior. Sinden-sinden yang lebih muda dapat menimba ilmu langsung kepada para maestro sinden yang hadir.
Acara itu menarik, bukan saja dalam konteks sebuah upaya mempertahankan dan melestarikan profesi pesinden, melainkan juga wacana-wacana problematik di baliknya.
Ada pertanyaan sederhana, apakah sinden itu penyanyi dalam karawitan Jawa? Bisa jadi iya karena sinden adalah satu-satunya musisi karawitan yang menggunakan vokal dalam elaborasi musikalnya. Namun, jawaban juga bisa sebaliknya, bagaimana mungkin sinden disebut sebagai penyanyi saat ia sendiri tidak mengerti tentang arti lirik yang dinyanyikannya?
Dalam sebuah kelompok musik, penyanyi adalah pusat perhatian. Karena itu, sering kali penyanyi lebih dikenal publik daripada anggota musisi yang lain. Penyanyi selalu tampil terdepan. Bahkan, ada anekdot sederhana bahwa selain memiliki suara yang bagus, penyanyi idealnya juga memiliki wajah yang cantik atau tampan. Itu semata agar menarik dan lebih digandrungi publik. Modal suara indah saja tidak cukup, kurang menjual, dan tak laku.
Penyanyi memiliki tugas penting, yakni melagukan lirik, agar pesan lirik itu sampai kepada penonton. Apabila lagunya bertema kesedihan, putus asa, dan derita, maka liriknya berkisah tentang hal yang sama. Membuat penonton dapat merasakan dan menghayati tiap-tiap kata yang dinyanyikan itu. Dengan demikian, tugas seorang penyanyi adalah menyampaikan pesan teks (lirik) kepada penonton.
Sinden tidak menjadi pusat perhatian dalam pertunjukan gamelan. Ia tak berdiri, tetapi duduk selayaknya musisi gamelan lainnya. Kedudukannya sama atau seimbang dengan instrumen musik lainnya.
Sementara sinden tidak demikian. Kendatipun ia berada dalam lingkungan kelompok musik (karawitan), tugasnya berbeda dengan penyanyi. Sinden tidak menjadi pusat perhatian dalam pertunjukan gamelan. Ia tak berdiri, tetapi duduk selayaknya musisi gamelan lainnya. Kedudukannya sama atau seimbang dengan instrumen musik lainnya. Ia tidak lebih tinggi ataupun lebih rendah.
Seorang sinden tak harus cantik karena ia tak selalu menjadi fokus sajian (gending), yang dipertimbangkan adalah keterampilannya dalam mengolah alur melodi sindenan. Dan, lebih penting lagi, ia tak memiliki kewajiban dalam menyampaikan pesan lirik sindenannya kepada penonton.
Hal itu terjadi karena teks lirik sindenan menggunakan bahasa Jawa yang kompleks, dengan makna yang berlapis-lapis, penuh dengan aturan-aturan formal (karya sastra; guru lagu, guru wilangan, dan lain sebagainya). Bahkan, sinden sendiri sering kali tidak mengerti arti dan makna yang disenandungkan.
Dengan demikian, tugas sinden adalah menyuarakan teks lirik, bukan menyampaikan. Menyuarakan berarti semata menyenandungkan. Sinden tidak memiliki tanggung jawab lebih apakah pesan dalam teks liriknya itu sampai, diterima, dan dipahami penonton atau tidak.
Sementara jika penyanyi sebaliknya, ada tanggung jawab untuk menyampaikan pesan agar diterima penonton dengan mudah. Tidak jarang kemudian para penyanyi itu mengajak penonton menyanyi bersama-sama. Itu karena penonton mengerti dan memahami bangunan bahasa beserta artinya dalam lirik yang disenandungkan.
Sinden tentu saja tidak dapat melakukan itu. Dengan demikian, sinden sebenarnya adalah ”instrumen musik gamelan” yang cara penyajiannya dengan vokal. Itu setara dengan instrumen kendang ataupun demung yang cara penyajiannya dengan ditabuh.
Menikmati gending gamelan tidak sama seperti menikmati musik pada umumnya. Gending gamelan yang didengarkan adalah keutuhannya atau kebulatannya. Gending tidak dinikmati secara parsial, misal hanya kendangannya saja, atau sindenannya saja, tetapi keseluruhan dari capaian musikal semua instrumennya. Sementara dalam musik umumnya, penonton dapat menikmati sepenggal-sepenggal, seperti fokus pada nyanyiannya, gitarnya, drumnya, dan lain sebagainya.
Karena kedudukan sinden setara dengan instrumen musik gamelan pada umumnya, jika pun sinden tidak ada juga tidak masalah, posisi alur musikalnya dapat digantikan oleh instrumen rebab (melodi, gesek). Bandingkan jika penyanyi tidak ada, maka dapat dipastikan pertunjukan musik itu tidak dapat berlangsung. Sayangnya, beberapa waktu belakangan terdapat upaya untuk mencabut sinden dalam posisinya sebagai ”instrumen musik” sebagai penyanyi.
Sinden yang penyanyi
Jika dahulu kala posisi sinden itu setara dengan para musisi karawitan (disebut pengrawit) lainnya, kini telah berubah. Kedudukannya tidak berbeda jauh dengan penyanyi musik populer. Sinden tidak lagi bersanding bersama pengrawit, tetapi sering kali ditempatkan secara khusus.
Pada pertunjukan wayang kulit, misalnya, para sinden duduk di samping kanan sang dalang. Seolah dipajang dalam etalase. Sinden dapat berdiri, berjoget, menyanyikan lagu-lagu pop dan dangdut, berinteraksi dengan dalang serta penonton, dan dapat disawer. Sinden juga harus dapat berkomunikasi dengan dalang dengan tema-tema yang membuat penonton tertawa terpingkal-pingkal.
Konser-konser karawitan juga demikian. Sinden sering kali menjadi pikat dan daya tarik bagi penonton. Ia duduk paling depan, langsung berhadapan dengan publik. Kita kehilangan sakralitas sinden, dengan wajahnya yang sayu, tak hendak menonjolkan diri, ikhtiarnya semata membangun aspek musikal gending yang indah dan puncak. Suaranya tak keras, apalagi mendistorsi instrumen lainnya. Ia sadar akan posisinya, semata ”instrumen musik” yang tak lebih menonjol dari lainnya.
Sinden-sinden baru terus bermunculan. Mereka dibayar paling mahal dibanding musisi karawitan lainnya. Bahkan, dalam episode yang lebih absurd, banyak pesinden yang memiliki manajemen khusus, ada manajer dan asisten pribadi, setiap saat kehidupan pentas dan pribadinya diabadikan dalam media sosial semacam Youtube. Sinden tidak dapat lagi dihubungi secara personal, harus lewat manajer dan timnya. Sinden itu memiliki ribuan penggemar, harga mereka semakin mahal.
Aris Setiawan, Etnomusikolog; Pengajar di ISI Surakarta