Tembang Mijil Gagat Waspa mengalun di depan petilasan Mbok Turah. Para sinden bersimpuh melantunkan doa untuk para arwah maestro seni pewayangan. Di situlah, mereka ngalap berkah.
Oleh
ALOYSIUS BUDI KURNIAWAN, REGINA RUKMORINI
·5 menit baca
Lukisan tokoh-tokoh legendaris pewayangan terpajang di samping patung Mbok Turah, sosok mitologis penunggu Gunung Merapi di Omah Petroek, Karangklethak, Hargobinangun, Pakem, Sleman, Selasa (27/9/2022).
Gambar itu menyuguhkan kolase maestro-maestro pewayangan, mulai dari almarhum Martopangrawit, Ki Gondo Darman, Ki Nartosabdo, Nyi Bei Mardusari, Nyi Painah, Nyi Ngatirah, Ki Manteb Sudharsono, Nyi Maria Magdalena Rubinem, Ki Timbul Hadiprayitno, Nyi Tjondrolukito, Ki Hadi Sugito, hingga Nyi Sri Suwarni.
Kepada para seniman pewayangan yang telah berpulang itu, tiga sinden senior, Nyi Endang Sri Sedep, Nyi Anik Sunyahni, dan Nyi Mugini mengantarkan belasan sinden muda untuk mempersembahkan doa. Dari para pendahulu dan sinden senior itulah, para sinden muda ngalap berkah, menyerap keutamaan-keutamaan para pendahulu.
"Sekarang sinden-sinden pinter karena kebanyakan sekolah dan lulusan jurusan karawitan atau tari. Namun, godaan terbesar mereka sekarang adalah popularitas. Dulu, sinden mesti tajam, fokus pada lakon yang sedang dibawakan dalang, tidak mainan HP (telepon pintar) saat pentas," kata Nyi Sedep.
Semasa muda, Nyi Sedep pernah menjadi sinden dalang kondang Ki Anom Suroto dan almarhum Ki Manteb Sudharsono. Dia juga sering diajak tampil almarhum Ki Gondo Darman dan Ki Hardjo Brahim.
"Ki Brahim adalah ayah kandung dari Ki Manteb Sudharsono," kata pesinden senior Akademi Seni Karawitan Indonesia Surakarta (sekarang Institut Seni Indonesia Surakarta) tersebut.
Nyi Sedep juga sering berkolaborasi dengan komposer gamelan almarhum Martopengrawit. Ia menjadi sinden gawanan gending khas Martopengrawit. Sinden gawanan artinya gending yang ditembangkan seorang sinden sudah punya cengkok pembawaan dari gending karya seorang komposer.
Dalam acara "Temu Sinden Tumaruntun Tambang Raras" memperingati hari lahir Jakob Oetama ke-91 dan 40 tahun Bentara Budaya, pewarisan seni tradisi dari sinden senior kepada sinden yunior disimbolkan dengan penyerahan patung Nyi Tambang Raras dan Wayang Nyi Sagopi. Kisah tentang Tambang Raras muncul dalam Serat Centhini atau Suluk Tambang Raras, sedangkan Nyi Sagopi adalah sinden Keraton Mandura dalam lakon pewayangan.
Dari petilasan Mbok Turah, iring-iringan sinden dan penari menuju Sumur Jakob, sebuah sumur untuk mengenang tokoh pers sekaligus pendiri Bentara Budaya, Jakob Oetama. Air dari sumur dipercikkan kepada para sinden, tanda bahwa mereka akan terus-menerus belajar dan menimba ilmu pewayangan yang tak berkesudahan.
Para sinden kemudian beriringan menuju pelataran Omah Petroek untuk mengikuti umbul donga atau doa bersama. Doa dipimpin oleh penari sekaligus pengajar ISI Surakarta, Wahyu Santosa Prabowo yang berkolaborasi dengan penari-penari senior asal Solo, seperti, Djarot B Darsono, Daryono Darmorejono, Hari Mulyatno, dan Dorothea Quin. Prosesi diakhiri dengan doa di depan Senthong Pasindenan di Kompleks Omah Petroek.
Sosok Jakob turut berperan besar dalam memberi ruang ekspresi para maestro pewayangan. Di Harian Kompas, Jakob memberikan ruang untuk mengupas lebih dalam kiprah budaya beberapa tokoh pewayangan seperti Ki Gondo Darman, Ki Nartosabdo, Nyi Bei Mardusari, Nyi Painah, Nyi Ngatirah, Ki Manteb Sudharsono, Nyi Maria Magdalena Rubinem, Ki Timbul Hadiprayitno, Nyi Tjondrolukito, Ki Hadi Sugito, hingga Nyi Sri Suwarni. Beberapa di antara mereka juga mendapat kesempatan tampil di Bentara Budaya.
Profil tentang Ki Gondo Darman pernah dimuat di halaman 1 Harian Kompas, 9 Oktober 1983. Wartawan Harian Kompas saat itu, Sindhunata menggambarkan Gondo Darman sebagai dalang yang berani, ndableg, serta urakan. Di tangan Darman, tokoh raksasa Cakil menjadi raksasa yang romantis dan kenes.
Permohonannya adalah, di sini mereka (para sinden muda) bisa mendapatkan berkah dari para senior dan pendahulu agar bisa turut serta melestarikan kebudayaan.
Dalam sabetan Darman, Gatotkaca bukan sekedar teladan manusia, tetapi juga pemuda biasa yang bisa bermalas-malasan dan tidur sambil memegangi surat pacar, padahal negaranya sedang mempersiapkan perang. Darman memang ahli melakonkan kesedihan dan keharuan.
"Darman bisa dituduh 'merusak pakem'. Tapi, apa gunanya pakem kalau ia lalu menjadi tradisi mati?," tulis Sindhunata yang kini menjadi Kurator Bentara Budaya sekaligus Pimpinan Omah Petroek.
Menyerap ilmu
Sindhunata mengatakan, melalui prosesi budaya temu sinden ini, diharapkan para sinden muda bisa ngalap berkah atau menyerap ilmu dari pesinden-pesinden senior. Apalagi, tiga pesinden senior yang hadir pernah bersinggungan langsung dengan para maestro pewayangan yang sudah berpulang.
"Permohonannya adalah, di sini mereka (para sinden muda) bisa mendapatkan berkah dari para senior dan pendahulu agar bisa turut serta melestarikan kebudayaan," ujarnya.
Kiprah tiga sinden senior, yaitu Nyi Endang Sri Sedep, Nyi Anik Sunyahni, dan Nyi Mugini tidak diragukan lagi. Nyi Sedep sendiri pernah menjadi sinden dan mendampingi sejumlah dalang terkenal seperti Ki Anom Suroto dan almarhum Ki Manteb Sudharsono.
Sosok pesinden asal Solo, Nyi Sunyahni pernah melambung di jagat hiburan ketika berkolaborasi dengan penyanyi campursari asal Gunung Kidul, almarhum Manthous atau Anto Sugiarto pada akhir 1990an hingga tahun 2000-an. Sementara itu, Nyi Mugini adalah pesinden senior asal Yogyakarta yang pernah tampil malang melintang di acara-acara kebudayaan Radio Republik Indonesia (RRI) Yogyakarta.
Danira (18), sinden belia, siswa kelas 3 Sekolah Menengah Negeri I (SMKI) Bantul turut serta dalam acara temu sinden ini. "Sejak kecil saya gemar menyanyikan lagu-lagu Jawa. Saya senang karawitan dan nyinden," paparnya.
Danira sendiri tidak tahu seberapa bagus prospek menjadi sinden di masa mendatang. Namun, karena ia memang hobi gamelan dan tembang Jawa, maka dia pun berniat memperdalam ilmu dan melanjutkan pendidikan di ISI Yogyakarta jurusan Karawitan.
Kepada para pesinden muda, Nyi Sedep kembali berpesan agar mereka mau hidup prihatin dan tidak sekedar mengejar popularitas instan. "Ojo mung ngejar follower akeh (pengikut banyak). Dulu, para pesinden menjalani tarak brata (jalan spiritual) yang tinggi dengan puasa mutih, ngebleng, kungkum (makan nasi putih, puasa, berendam), dan lain-lain. Karena itulah, meski sudah sepuh, sinden-sinden senior yang menjalani itu masih dikenal, dengungnya masih ada," kata dia.