Kendati telah berusia ribuan tahun, wayang masih bertransformasi mengikuti dinamika zaman. Itu sebabnya wayang dapat terus relevan dengan kehidupan masa kini.
Oleh
Sekar Gandhawangi
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Anggapan bahwa wayang adalah kebudayaan yang kuno dan kaku tidak tepat. Menurut catatan sejarah, wayang bertransformasi mengikuti dinamika zaman, baik dari segi bahasa lisan maupun media mendalang. Wayang diyakini tetap bisa relevan dengan konteks kehidupan modern.
Hal ini mengemuka pada acara bincang wayang berjudul ”Pesona Indonesia” yang disiarkan Radio Sonora, Jumat (26/11/2021). Acara tersebut merupakan bagian dari rangkaian pameran Wayang Rupa Kita yang digelar di Bentara Budaya Jakarta pada 19 November hingga 4 Desember 2021.
Kurator wayang di pameran tersebut sekaligus dalang, Nanang Hape, mengatakan, anak muda kerap dihakimi sebagai generasi yang berjarak dengan wayang dan tradisi. Padahal, jarak itu ada karena anak muda kerap terkendala bahasa pedalangan, bukan karena tidak tertarik pada wayang.
”Mereka tidak dekat dengan wayang karena tidak paham dengan bahasanya, tidak punya cukup waktu untuk menonton (pertunjukan wayang) semalam suntuk, dan sebagainya,” kata Nanang.
Itu sebabnya, ia berupaya membuat pertunjukan wayang dengan sejumlah penyesuaian, baik dari segi bahasa, durasi, maupun ritme. Ia juga membuat siniar (podcast) di Spotify untuk menyampaikan dongeng wayang. Setidaknya ada 15 judul siniar berdurasi 2-10 menit yang telah diunggah. Siniarnya bertajuk ”Dongeng Wayang”.
Transformasi wayang juga terjadi beberapa abad silam. Nanang mengisahkan, pada masa kerajaan Kediri, wayang masih menggunakan bahasa Jawa Kuna. Bahasanya berubah menjadi bahasa Jawa baru sekitar masa Kerajaan Demak, setelah Majapahit runtuh.
Hal itu menunjukkan fleksibilitas wayang dalam menghadapi perkembangan zaman. Fleksibilitas itu juga membuat wayang dapat bertahan sejak keberadaannya tercatat di abad ke-4 hingga kini di abad ke-21.
”Wayang berkembang dan beradaptasi pada setiap zaman. Yang berubah biasanya adalah media ungkapnya. Sementara teks-teks rujukannya masih bertahan hingga sekarang,” ucap Nanang.
Perkembangan teknologi menjadi tantangan sekaligus peluang. Kisah wayang dapat disampaikan ke publik dengan berbagai cara dan format, tidak melulu dengan pertunjukan semalam suntuk. Wayang dapat disampaikan pula dalam bentuk novel, cerpen, lukisan, tarian, dan musik.
Wayang juga bisa dikembangkan menjadi animasi atau film. Kuncinya, pegiat pewayangan perlu belajar keterampilan-keterampilan baru yang menunjang hal itu.
Saat dihubungi terpisah, budayawan Sudarko Prawiroyudo mengatakan, pergelaran wayang mesti disesuaikan dengan kondisi masa kini. Format pergelaran wayang semalam suntuk dapat disingkat. Bahasa pedalangan pun dapat diubah menjadi bahasa Indonesia.
”Kalau (menggunakan format) masa dulu, ya, tidak cocok karena semua hal berubah. Ceritanya pun dapat diubah sedemikian rupa sehingga kekininan,” kata Sudarko. ”Sebagai contoh, saya pernah membuat pergelaran wayang dengan gamelan, terompet, dan lampu. Itu menyenangkan buat ditonton. Pergelaran itu saya buat bersama Ki Manteb Soedarsono pada 1986,” tambahnya.
”Wayang Rupa Kita”
Adapun publik dapat mengenal wayang melalui pameran ”Wayang Rupa Kita” di Bentara Budaya Jakarta. Sedikitnya ada 120 wayang yang ditampilkan. Wayang-wayang itu terbagi dalam 17 adegan.
Pameran tersebut terbuka untuk umum. Publik dapat mengakses pameran ini secara daring di kanal Youtube Bentara Budaya Jakarta. Pameran ini juga dapat dikunjungi secara langsung setiap hari, kecuali Minggu, pada pukul 11.00-16.00. Namun, pengunjung harus melakukan registrasi di laman Bentara Budaya Jakarta terlebih dulu.
Manajer Bentara Budaya Paulina Dinartisti mengatakan, seni tradisi termasuk wayang kerap dianggap tua oleh generasi muda. Mempresentasikan wayang dalam bentuk digital pun diupayakan untuk mengikis jarak generasi tersebut.
”Kami berharap seni tradisi dapat terus melembaga dan direspons masyarakat luas, khususnya generasi muda. Sebab, siapa lagi yang akan meneruskan tampuk seni tradisi jika bukan generasi muda?” ucap Paulina.