Bahasa dan Kesetaraan
Ikrar memiliki bahasa sendiri adalah wujud kemerdekaan simbolis dan kultural. Momen peringatan Sumpah Pemuda yang bertepatan dengan Bulan Bahasa harus jadi refleksi bahwa bahasa Indonesia adalah modal dan aset bangsa.
Para perumus Sumpah Pemuda tentu tak main-main ketika memasukkan unsur bahasa dalam sumpah mereka, ”Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia”.
Benjamin Franklin dan George Washington bahkan tidak pernah menyinggung soal bahasa Amerika ketika hendak mendirikan ”Negeri Paman Sam”.
Indonesia memiliki sejarah panjang di mana masyarakatnya terbelah-belah karena bahasa. Dahulu di Jawa kuno, meski struktur masyarakatnya hierarkis, tak dikenal stratifikasi bahasa. Belanda kemudian menjadikan penguasa-penguasa Jawa sebagai ”boneka”.
Mereka memanfaatkan hubungan hierarkis antara ningrat dan masyarakat bawah demi kepentingan Belanda. Dalam ”kendali” penjajah, penguasa Jawa mengalami krisis sistem politik, sistem sosial, bahkan krisis manusia.
Kalangan elite kehilangan kewibawaan mereka. Untuk mempertahankan hegemoni atas masyarakat bawah, dibentuklah stratifikasi bahasa halus-kasar atau tinggi-rendah menurut versi keraton.
Tingkatan-tingkatan bahasa ini kian memfosilkan sistem feodal yang ada. Kalangan ningrat diposisikan semakin sakral, sementara rakyat biasa menjadi kawula (hamba). Posisi Belanda yang mengendalikan keraton saat itu pun membuat kelas sosial kian berlapis-lapis.
Tak hanya politisasi bahasa Jawa, Belanda juga menerapkan kebijakan politik bahasa Belanda. Saat itu, bahasa Belanda digunakan untuk menjaga kesetiaan penduduk pribumi kepada pemerintah kolonial.
Baca juga: Menjunjung Bahasa Kesetaraan
Harus diakui penguasaan bahasa Belanda sangat penting saat itu. Ia menjadi gerbang untuk memahami ilmu pengetahuan serta kemajuan-kemajuan di Barat. Namun, pihak kolonial tidak pernah ingin menjadikan bahasa Belanda sebagai bahasa pergaulan umum. Pendidikan bahasa Belanda hanya diperuntukkan bagi penduduk Eropa dan ningrat. Ia diajarkan di sekolah elite yang tidak terjangkau oleh pribumi biasa.
Tulisan Groeneboer di jurnal Wacana, Vol 1, No 1 (1999), menguraikan alasan Belanda enggan melakukan pribumisasi bahasa Belanda. Mereka khawatir pribumi akan menjadi congkak dan menyulitkan pemerintah, tercipta bahasa ”Belanda-Hindia” yang tak diinginkan serta penyebaran pengetahuan yang tak terkontrol dan membahayakan pemerintah kolonial.
Politik bahasa Belanda memang sengaja digunakan untuk memastikan kelas sosial tinggi-rendah tetap ada serta membatasi orang pribumi terhadap akses ilmu pengetahuan. Keduanya bertujuan untuk mempertahankan hegemoni dan melanggengkan penindasan.
Sebuah dialog dalam film Bumi Manusia (2019) menggambarkan situasi diskriminasi bahasa saat itu. Ketika tokoh pribumi mencoba berbicara dengan bahasa Belanda, seorang Belanda berkata, ”Bahasa Belanda bukan untuk monyet!”
Dalam konsep pertarungan kuasa Pierre Bourdieu, Belanda saat itu menggunakan modal budaya berupa bahasa, baik bahasa lokal maupun Belanda, untuk memenangkan pertarungan simbolik. Mereka menancapkan delusi bahwa bangsa Belanda lebih tinggi derajatnya daripada orang pribumi.
Baca juga: Pola Internasionalisasi Bahasa Indonesia Diubah
Ikrar memiliki bahasa sendiri adalah wujud kemerdekaan simbolis dan kultural itu.
Simbolis-kultural
Visi dari penyelenggaraan Kongres Pemuda sejatinya sama dengan visi gerakan-gerakan nasional sebelumnya, yakni menghendaki kemerdekaan dan kedaulatan. Namun, para penggerak kongres menyadari kita tak bisa hanya merdeka secara politik, tetapi juga harus merdeka secara kultural dan simbolis.
Ikrar memiliki bahasa sendiri adalah wujud kemerdekaan simbolis dan kultural itu. Ikrar itu menunjukkan keinginan untuk lepas dari belenggu diskriminasi. Tidak hanya diskriminasi bahasa, Belanda maupun Jawa, tetapi secara umum juga segala belenggu simbol-simbol yang menindas.
Menjatuhkan pilihan pada bahasa Melayu sangatlah rasional. Bahasa Melayu, selain sudah menjadi lingua franca, pun tidak mengenal stratifikasi. Egalitarian dalam bahasa ini menjadi elemen yang penting untuk mewujudkan cita-cita negeri baru yang memberikan kesetaraan dan keadilan bagi semua orang.
Deklarasi bahasa persatuan dalam Kongres Pemuda jadi momentum. Sejak saat itu, bahasa Indonesia seperti mendapat kekuatan politiknya meski dalam praktik belum bisa menggantikan penggunaan bahasa Belanda atau Melayu Riau.
Gerakan memakai bahasa Indonesia baru tampak nyata setelah dilakukan Kongres Bahasa, sepuluh tahun sejak deklarasi Sumpah Pemuda.
Kongres Bahasa ini kian menegaskan bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa persatuan. Dan sejak saat itu, Fraksi Nasional selalu menggunakan bahasa Indonesia dalam rapat Volksraad. Bahkan, publik antusias mengikuti saat tahu bahasa Indonesia digunakan di rapat ini.
Perjuangan mempersatukan bangsa secara simbolis dan budaya dalam bingkai bahasa menemukan titik cerahnya saat Indonesia merdeka tahun 1945.
Setelah itu, bahasa Indonesia ditetapkan sebagai bahasa resmi negara di dalam UU. Secara nasional-formal, tidak ada lagi dominasi kuasa simbolis ataupun budaya yang disebabkan oleh stratifikasi dan eksklusivitas bahasa. Sejak saat itu, kita memiliki bahasa yang menyetarakan semua anak bangsa.
Aset berharga
Usia bahasa Indonesia sudah 94 tahun sejak bahasa Indonesia diikrarkan tahun 1928. Kita patut bersyukur bahasa nasional kita mampu bertahan, mempersatukan dan memberi keadilan bagi semua. Dari menteri, pejabat, pedagang, hingga petani semua bisa menggunakan bahasa Indonesia.
Bahasa Indonesia yang digunakan penduduk adat di pedalaman Baduy adalah bahasa Indonesia yang sama dengan yang digunakan seorang presiden. Bahasa Indonesia yang digunakan seorang karyawan tak akan jauh berbeda saat ia berbicara dengan direktur atau anaknya di rumah.
Meski demikian, diskriminasi di Indonesia memang belum sepenuhnya hilang. Ketidakadilan hukum, ekonomi dan sosial; entah karena faktor status sosial, etnis, agama, bahkan jender, masih saja terjadi.
Namun, perjuangan panjang bangsa kita melawan diskriminasi politik bahasa bisa menjadi contoh bahwa kita bisa mewujudkan keadilan itu.
Momen peringatan Sumpah Pemuda yang bertepatan dengan Bulan Bahasa ini juga harus jadi refleksi bahwa bahasa Indonesia adalah modal dan aset yang sangat berharga bagi bangsa ini.
Pada masa awal, ia adalah simbol kedaulatan bangsa, pemersatu, dan pendobrak diskriminasi. Kita pun boleh yakin ia akan bisa menjadi kendaraan untuk menjadikan bangsa Indonesia lebih beradab, makmur, dan berkontribusi pada peradaban dunia.
Pandu Wijaya Saputra, Peminat Kajian Sosial dan Budaya, Bekerja di Direktorat Jenderal Kebudayaan