Apakah Media Sosial ”Lebih Manis” di Tahun Politik?
Rupanya, cara merusak terus berkembang. Para petualang di dunia politik masih akan memanfaatkan teknologi untuk memecah belah.
Oleh
ANDREAS MARYOTO
·5 menit baca
Situasi politik mulai menghangat. Satu per satu mereka yang merasa layak menjadi calon presiden mulai muncul. Partai pun terdengar mulai bergegas. Grup-grup percakapan yang sebenarnya sudah reda bicara politik usai pemilihan umum tahun 2019 kini mulai dipenuhi dengan unggahan panas. Satu pertanyaan yang tersisa dari pemilihan sebelumnya, apakah media sosial akan lebih baik atau kembali menjadi tempat kebrutalan beredar?
Kecemasan dan ketakutan masih terasa meski pemilu telah dilakukan beberapa tahun lalu. Tahun 2014 ketika media sosial mulai digunakan secara masif memberi luka mendalam bagi sebagian besar warga. Orang terpecah baik di dalam keluarga, lingkungan warga, lingkungan kantor, organisasi, dan lebih besar lagi, yaitu masyarakat kebanyakan karena berbeda pilihan. Kemudian tahun 2019 ketika pemilihan umum kembali dilakukan, perpecahan makin mengeras dan tak selesai hingga sekarang.
Tidak hanya di Indonesia, masalah ini muncul di hampir semua negara. Segregasi begitu kuat sehingga warga terpecah karena perbedaan pilihan politik. Mereka saling ejek melalui media sosial dan juga media lainnya hingga sekarang. Kita masih mempunyai kecemasan yang sama setiap kali menjelang pemilu. Biang kerok yang menjadi tertuduh adalah media sosial. Di Amerika Serikat, pemilu tahun 2016 menjadi peringatan tentang bahaya misinformasi politik di media sosial.
Pertemuan Forum Perdamaian dan Pembangunan Stockholm tahun lalu mengungkap masalah ini. Para peneliti, pembuat kebijakan, perusahaan teknologi, dan organisasi masyarakat sipil mengeksplorasi bagaimana media sosial dapat dimanfaatkan untuk tujuan pembangunan perdamaian dan untuk menguji kebijakan terhadap kampanye disinformasi daring yang berbahaya.
Salah satu yang menjadi pembahasan adalah peran perusahaan teknologi. Mereka harus mendesain ulang perangkat media sosial mereka untuk mencegah fasilitas itu digunakan untuk tujuan politik yang berbahaya. Media sosial harus mencegah dukungan terhadap konflik. Sebaliknya, mereka harus bisa membangun konsensus perdamaian.
Pada tahun 2020, ada bukti manipulasi media sosial di 81 negara. Dalam temuan itu juga terdapat perusahaan yang menawarkan kampanye propaganda komputasional kepada para aktor politik di 48 negara. Meskipun propaganda bukanlah hal baru, Forum Stockholm 2021 menyoroti beberapa alasan mengapa propaganda di media sosial menghadirkan tantangan yang berbeda dibandingkan dengan media tradisional. Media sosial secara tidak sengaja mendorong konflik atau memengaruhi upaya pembangunan perdamaian.
Media sosial harus mencegah dukungan terhadap konflik. Sebaliknya, mereka harus bisa membangun konsensus perdamaian.
Uni Eropa juga melangkah lebih jauh. Maret lalu, Jaringan Dialog Masyarakat Sipil (CSDN) mempertemukan 16 perwakilan masyarakat sipil, 14 pejabat dari Komisi Eropa, Layanan Aksi Eksternal Eropa (EEAS), dan delegasi UE, serta enam perwakilan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Secara keseluruhan, tujuan pertemuan tersebut adalah untuk membahas peran media sosial dalam mencegah kekerasan pemilu dan memberikan rekomendasi kepada UE dan aktor internasional lainnya tentang bagaimana mereka dapat terlibat dan mendukung upaya untuk memanfaatkan potensi dampak positif media sosial sebagai sarana mencegah kekerasan pemilu. Salah satu rekomendasi yang muncul dalam pertemuan itu adalah Uni Eropa harus memberikan lebih banyak tekanan pada perusahaan media sosial untuk mempengaruhi tindakan mereka di luar wilayah Uni Eropa.
Banyak kritik telah dilontarkan ke perusahaan teknologi. Apakah yang sudah dilakukan oleh perusahaan teknologi? Majalah Fast Company dalam sebuah edisi terbaru menyebutkan, dengan dua siklus pemilu di Amerika Serikat yang penuh dengan informasi yang salah, sebenarnya perusahaan media sosial memiliki pengalaman mengidentifikasi dan melawan informasi yang salah.
Namun, sifat ancaman misinformasi terhadap masyarakat terus bergeser dalam bentuk dan sasarannya. Kebohongan besar saat pemilihan presiden 2020 di Amerika Serikat dan komunitas imigran yang semakin menjadi sasaran kampanye disinformasi menjadi bukti pergeseran ancaman itu. Saat itu terlihat upaya yang disengaja untuk menyebarkan informasi yang salah.
Perusahaan media sosial kabarnya telah mengumumkan rencana untuk menangani informasi yang salah dalam pemilihan paruh waktu 2022, tetapi upaya perusahaan tersebut sangat bervariasi dalam pendekatan dan efektivitasnya. Upaya mereka pun dikritik karena tak beda dengan tahun 2020. Fast Company akhirnya meminta para ahli di media sosial untuk menilai seberapa siap Facebook, Tiktok, Twitter, dan Youtube untuk menangani tugas tersebut.
Penilaian terendah terjadi pada Tiktok dan Youtube. Semua ahli menilai Tiktok tidak siap untuk menekan misinformasi. Beberapa di antaranya menyebutkan, upaya Tiktok menangani misinformasi membutuhkan perbaikan besar. Penelusuran untuk topik berita terkemuka pada September 2022 menemukan sekitar 20 persen video buatan pengguna berisi informasi yang salah. Video yang berisi informasi yang salah ini sering kali berada di lima hasil pencarian teratas.
Penilaian terendah terjadi pada Tiktok dan Youtube. Semua ahli menilai Tiktok tidak siap untuk menekan misinformasi.
Ada ahli yang berkomentar, konten video dan audio mungkin lebih sulit dimoderasi daripada konten tekstual. Bahaya pada platform seperti Tiktok adalah setelah video yang menyesatkan dihapus oleh platform, versi yang dimanipulasi dan diterbitkan ulang dapat dengan mudah beredar di platform. Tiktok belum merilis rincian tentang bagaimana mereka akan mengatasi duplikasi informasi yang salah terkait pemilu.
Satu ahli menilai rendah untuk kesiapan Youtube dalam menangani misinformasi. Ia menyebutkan, Google telah mengumumkan langkah-langkah baru untuk menindak informasi yang salah di seluruh platformnya, termasuk Youtube, seperti dengan menyoroti jurnalisme lokal dan regional. Namun, seperti yang kita lihat dalam narasi ”Hentikan Pencurian” dari pemilihan Brasil, sejauh ini informasi yang salah terus berlanjut. mengalir dengan bebas.
Kita sepertinya masih perlu menahan napas untuk berlega melihat kesiapan perusahaan media sosial dalam menangani misinformasi. Mereka belum sepenuhnya bisa diandalkan menangani perusakan dalam pengaliran informasi meski sudah beberapa perbaikan dilakukan. Rupanya, cara merusak pun terus berkembang. Para petualang di dunia politik masih akan memanfaatkan teknologi untuk memecah belah.