Perlawanan Annie Ernoux Berbuah Nobel
Kebiasaan Annie Ernoux menulis buku harian sejak kanak amat membantunya. Buku-buku seperti karya Sartre, Simon de Beauvoir, dan Virginia Woolf kian meneguhkan tekadnya untuk hidup dengan menulis.
Lahir di perdesaan Normandia dari keluarga kelas pekerja, pernah diperkosa, puluhan tahun direndahkan, Annie Ernoux mencapai puncak lebih tinggi lagi. Dia meraih Hadiah Nobel Sastra 2022.
Akademi Nobel Swedia menganugerahinya ”untuk keberanian dan ketajaman klinis yang dengannya ia mengungkap akar, kerenggangan, dan pengekangan kolektif dari ingatan pribadi”.
Ketua Komite Nobel Anders Olsson mengatakan bahwa dalam karya-karyanya, ”Ernaux secara konsisten dan dari sudut yang berbeda, meneliti kehidupan yang ditandai oleh perbedaan yang kuat mengenai jender, bahasa, dan kelas”.
Kehidupan yang diteliti Ernaux adalah kehidupannya. Orangtuanya, buruh kecil yang kemudian membuka toko kelontong di kota kecil Yvetot, berencana memiliki seorang anak saja. Namun, anak mereka meninggal. Ernaux, yang lahir setelahnya, pada 10 September 1940, baru mengetahuinya ketika berusia sepuluh tahun. Ia terus dihantui perasaan bahwa hidupnya adalah karena kakaknya meninggal.
Dan dunia tempat Ernaux hidup adalah bangunan dengan pilar perbedaan kelas. Kelas orangtuanya dan keluarga besarnya kelas bawah. Pilar lainnya adalah patriarki. Bahkan Perancis hari ini masih seperti disampaikan Ernaux kepada Financial Times (27/8/2020), “Di Perancis, sastra adalah dunia laki-laki. Semua hadiah, semuanya dikendalikan oleh laki-laki. Sekarang orang berkata aku memiliki legitimasi, tapi untuk itu aku harus menunggu berusia di atas 50 tahun... Perempuan membutuhkan lebih banyak kekuatan untuk menulis.”
Dengan kesadaran itulah, Ernoux menyuntuki sastra. Memang ayahnya jauh dari buku. Ibunya putus sekolah pada usia dua belas tahun. Ernaux pun melakukannya sambil menjadi guru sekolah menengah. Namun, bapaknya kerap membawanya menonton teater dan pameran seni rupa. Ibunya pembaca yang rakus. Setiap hendak membaca buku, selalu ia mencuci tangan. Dan lingkungan kerja Ernaux sarat ketidakadilan sosial dan ketidakadilan jender. Kenyataan ini menjadikannya kian intensif belajar menulis.
Baca juga: Demokrasi dan Kecerdasan Imajinatif
Kebiasaannya menulis buku harian sejak kanak amat membantunya. Buku-buku seperti karya Sartre, Simon de Beauvoir, dan Virginia Woolf kian meneguhkan tekadnya untuk hidup dengan menulis. Dan percobaan-percobaannya menulis, yang berarti antara lain menghadapi pengalaman-pengalaman traumatis seperti pengalamannya melakukan aborsi jalanan akibat diperkosa di perkemahan musim panas, menjadikan Enroux yakin ”menulis adalah alat untuk menggenggam, memahami, dan menunjukkan kehidupan. Sama sekali bukan untuk membuat buku yang indah, tetapi untuk membuat buku yang adil dan benar.”
Adil dan benar versinya tentu. Dan ini terutama berdasarkan pengalaman hidupnya. Namun, ia memandang pengalamannya bertalian dengan kondisi sosial yang hierarkis, sejarah yang memungkinkannya, dan hal ihwal lainnya, sehingga berbagai masalah sosial, ekonomi, politik, jender, dan sejarah tidaklah menjadi latar belaka. Semua itu berkelindan dengan keberadaan karakter-karakter. Penulisannya lebih merupakan kesetiaan menunjukkan kehidupan. Dengan sendirinya, bentuk karya-karyanya menjadi khas dan segar.
Dengan bahasa Enroux sendiri, ”Ketika memikirkan hidupku, aku melihat ceritaku sejak masa kanak-kanak sampai hari ini, tapi aku tak bisa memisahkannya dari dunia tempatku tinggal; ceritaku bercampur dengan generasiku dan peristiwa yang terjadi pada kami. Dalam tradisi otobiografi kita berbicara tentang diri kita sendiri dan peristiwa adalah latar belakang. Aku membalikkan ini.”
Les armoires vides sudah mempraktikkan itu. Novel pertamanya yang terbit pada 1974 ini otofiksi yang mengungkap renungan seorang perempuan muda perihal transisinya dari lingkungan kelas pekerja ke lingkungan borjuis, berkat sekolah. Renungan ini dipicu pengalaman aborsi jalanan, yang digambarkan dengan detail dan presisi, sehingga bagaimana perempuan muda itu mengalaminya sungguh bikin merinding. Galib jika novel pertama itu dinominasikan hadiah Goncourt.
Baca juga: Chairil Anwar sebagai Kurir Sastra Dunia
Enroux sendiri merasa masih kurang, di antaranya, dalam menggambarkan kelas pekerjanya. Maka novel berikutnya, La Place, yang merupakan potret ayahnya, ditulis dengan tekad lebih kuat untuk seobyektif mungkin. Ernaux menyebutnya menulisnya dengan ”datar”, ”aku menggambarkan kehidupan ayahku, tidak dengan penghinaan, atau dengan belas kasihan, atau sebaliknya dengan mengidealkan. Aku mencoba untuk tetap berada dalam garis fakta sejarah, dokumen. Sebuah tulisan tanpa penilaian, tanpa metafora, tanpa perbandingan romantis, semacam tulisan obyektif yang tidak menghargai atau merendahkan fakta yang diceritakan.”
Justru dengan begitu bobot politik La Place menjadi melonjak. Dan berkatnya, Enroux menerima hadiah Renudot, penghargaan sastra Perancis paling bergengsi setelah Goncourt.
Namun, panggung sastra Perancis belum pula memberinya tempat yang layak. Masih saja ia kerap dirundung. Terlebih menyusul terbitnya Simple Passion, novelnya yang terbuka menggambarkan percintaannya dengan seorang pria beristri yang bekerja di Kedutaan Besar Uni Soviet. Label-label miring terkait kelasnya dan keperempuanannya dilekatkan kepadanya.
Namun, reaksi demikian malah mendorong Ernaux mengeksplorasi lebih jauh lagi biografinya dan perangkat kesastraannya. Lahirlah Les années, novel yang oleh Isabelle Charpentier, seorang profesor di Universitas Amiens, disebut sebagai karya ”oto-sosio-biografi” ini merupakan kisah Ernaux selama enam puluh tahun yang solid menjalin detail pribadi, fakta historis, dan tilikan sosiologis yang tajam.
Selain memungkinkan Enroux mendapat beberapa penghargaan bergengsi, novel yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris tersebut juga terpilih untuk International Man Booker Prize tahun 2019. Enroux pun menjadi salah satu novelis hidup Perancis terbesar.
Namun, Enroux tak menjadi pongah. Perubahan itu hanya menjadikan modal budayanya kian besar. Hadiah Nobel dapat dipastikan akan menambah besar lagi modal budayanya.
Dapat dipastikan pula buku-bukunya, yang hingga sekarang total 22 buah dan sudah diterjemahkan ke dalam 36 bahasa, akan kian laris. Pengaruhnya pun tak mustahil akan kian kuat. Begitulah jika mengingat tak sedikit penulis yang terasuki pengaruhnya. Mathilde Forget misalnya.
Ia bukan saja meletakkan buku-buku Ernaux di depannya ketika ia menulis, tapi pun berkata bahwa Ernaux adalah seorang pelopor. Pelopor yang membuka kemungkinan bagi penulis perempuan untuk menulis ”memakai cerita mereka”, yang memungkinkan datangnya pengakuan bahwa ”pengalaman pribadi dapat menghasilkan pengetahuan universal”.